Oleh : Dina TSH
Jatinangor sebagai kawasan pendidikan memiliki berbagai universitas mulai dari Universitas Padjadjaran (UNPAD), Univeritas Winaya Mukti (UNWIM), hingga Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN). Tapi, tahukah Anda dibalik kota pendidikan yang dihiasi pertokoan dan kos-kosan mahasiswa tersebut, masih banyak terdapat petani penggarap yang terhimpit sempitnya lahan pertanian?
Bapak Ade Bisri misalnya. Bapak berumur 59 tahun ini adalah salah satu petani penggarap di Desa Sayang, Jatinangor. Ditemani istrinya, Ibu Entar, ia tengah menyelesaikan tugasnya menanam padi di tengah terik matahari. Saat itu kira-kira pukul 12 ketika ia menceritakan kehidupannya sebagai satu dari banyak buruh tani di Desa Sayang.
Sudah lama ia menjadi buruh tani dengan bermodalkan lahan yang diberi oleh seorang dosen dari Bandung. “Saya tidak diberi upah menggarap. Hanya saja, saya harus membayar pajak setahun sekali ke desa. Tapi tanah ini sendiri sebenarnya akan dijadikan kos-kosan. Jadi saya juga hanya sementara menggarap tanah. Hasilnya hanya cukup digunakan untuk makan sehari-hari,” ujar Pak Ade.
Dengan penghasilan tidak menentu setiap bulan, beliau mengaku menerima Bantuan Langsung Tunai dari pemerintah. “Waktu itu orang Kabupaten datang ke rumah dan melihat barang-barang didalamnya. Di rumah saya mah kosong, nggak ada barang apa-apa jadinya saya terdaftar menerima BLT,” ujarnya seraya menunjukkan rumahnya yang terbuat dari bilik.
Sama halnya dengan Bapak Ade, bapak dua anak ini juga menerima BLT dari pemerintah, ”BLT yang telah saya terima tahun ini Rp 700 ribu. Tahun lalu Rp 1,2 juta setahun. Sebenarnya kepengen saya bukan uang tapi lapangan kerjanya. Pemerintah sekarang jangan ngomong doang. Dibantu rakyat kecil misalnya, satu tahun 1,2 juta, sehari berapa coba. Tapi kalau ada lapangan kerjanya, rakyat bisa dibina. Rakyat kecil jangan dipermainkan terus,” ujar Nana dengan nada tinggi.
Menurut Ahli Ekonomi Pertanian Ronnie S. Natawidjaja, fenomena tersebut terjadi karena terbatasnya lahan yang mengakibatkan tingginya harga tanah di Jatinangor. Tanah yang tadinya merupakan lahan pertanian akhirnya berubah fungsi menjadi tempat bisnis.
Semua bermula pada saat berkembang kampus seperti UNPAD, UNWIM di Jatinangor. Kemudian kampus itu didatangi mahasiswa, regional maupun nasional. Timbul berbagai kebutuhan hidup mahasiswa seperti kebutuhan makan, hiburan, dan sebagainya. Hal itu mendorong perkembangan ekonomi yang mendukung.
“Petani diiming-imingi harga jual tanah yang tinggi. Orang-orang kota dari Bandung berdatangan mengatakan “jual saja ke saya sekian juta”. Si petani terdorong menjual dengan harga sekian. Akibatnya yang punya lahan-lahan sekarang adalah orang-orang kota. Karena belum punya uang untuk membangun kos-kosan, sementara tanah tersebut digarapkan petani yang dulunya adalah pemilik,” ujar Ronnie.
Fenomena seperi itu tidak hanya terjadi di Jatinangor tetapi juga di daerah-daerah yang peralihan dari daerah pertanian dengan daerah pertumbuhan ekonomi. “Sebetulnya penggunaan lahan itu ada aturannya. Hanya saja, peraturan Bappeda belum ketat,” lanjutnya.
Pertanian di Jatinangor hanya dilakukan untuk mengisi waktu. Pemilik tanah belum mau membangun sehingga yang dilakukan oleh para petani gurem sifatnya kontemporer. “Setiap saat, lahan pertanian bisa hilang. Kalau tidak dibangun, ya dijual. Jadi, mereka hidupnya tidak ada kepastian. Dan saya rasa, mereka juga sudah tahu. Salah satu resiko tinggal di perbatasan di daerah pertanian dan pertumbuhan perekonnomian. Mereka memang statusnya kelas masyarakat yang tadinya kelas pertanian, tergeser, karena menjual lahannya kemudian uangnya dibelikan motor dan lain-lain kemudian dijual lagi karena kebuthan hingga akhirnya nggak punya apa-apa,” jelas Ronnie.
Ronnie menjelaskan bahwa petani pun bisa kaya, seperti petani di daerah Pangalengan atau Garut. “Ada petani yang punya Mercy, Jeep Wrangler. Memang, ada stereotype di masyarakat bahwa pertanian itu kumuh. Mereka membayangkan bertani itu bekerja di sawah, pake kerbau. Tapi sebetulnya pertanian itu tidak sekumuh itu.”
Harusnya yang dilakukan pemerintah adalah memberi pilihan dan memberi kepastian pada petani yang tinggal di daerah peralihan. Apabila dirinya masih mau bertani, maka dipindahkan ke daerah yang memang menjadi daerah pertanian. Namun, apabila si petani tidak ingin mejadi petani lagi, hendaknya diberi pelatihan keahlian di sektor lain.
“Di daerah-daerah peralihan si petani itu ditingkatkan keahliannya. Diberi informasi, kalau di kota, cara bertaninya sudah beda. Yakni bisa di dalam pot, media yang digantung atau di green house dengan media terkendali. Kalau rumah bertingkat, lahan bertanian juga bisa bertingkat. Tapi kan petani nggak bisa sendiri. Harus diajari. Tugas pemerintah adalah memberikan training-nya.”
Banyak komoditas-komoditas di daerah perkotaan yang bisa menguntungkan seperti bunga-bungaan dan buah-buahan. Hidroponik bisa dijual dengan harga tinggi. Sehingga meski sedikit kalau harga jualnya tinggi masih tetap bisa memberikan kehidupan. “Kalau yang ditanam kacang-kacang tanah juga ya hasilnya sedikit,” imbuhnya.
Jatinangor sebagai kawasan pendidikan memiliki berbagai universitas mulai dari Universitas Padjadjaran (UNPAD), Univeritas Winaya Mukti (UNWIM), hingga Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN). Tapi, tahukah Anda dibalik kota pendidikan yang dihiasi pertokoan dan kos-kosan mahasiswa tersebut, masih banyak terdapat petani penggarap yang terhimpit sempitnya lahan pertanian?
Bapak Ade Bisri misalnya. Bapak berumur 59 tahun ini adalah salah satu petani penggarap di Desa Sayang, Jatinangor. Ditemani istrinya, Ibu Entar, ia tengah menyelesaikan tugasnya menanam padi di tengah terik matahari. Saat itu kira-kira pukul 12 ketika ia menceritakan kehidupannya sebagai satu dari banyak buruh tani di Desa Sayang.
Sudah lama ia menjadi buruh tani dengan bermodalkan lahan yang diberi oleh seorang dosen dari Bandung. “Saya tidak diberi upah menggarap. Hanya saja, saya harus membayar pajak setahun sekali ke desa. Tapi tanah ini sendiri sebenarnya akan dijadikan kos-kosan. Jadi saya juga hanya sementara menggarap tanah. Hasilnya hanya cukup digunakan untuk makan sehari-hari,” ujar Pak Ade.
Dengan penghasilan tidak menentu setiap bulan, beliau mengaku menerima Bantuan Langsung Tunai dari pemerintah. “Waktu itu orang Kabupaten datang ke rumah dan melihat barang-barang didalamnya. Di rumah saya mah kosong, nggak ada barang apa-apa jadinya saya terdaftar menerima BLT,” ujarnya seraya menunjukkan rumahnya yang terbuat dari bilik.
Rumah dari bilik di atas adalah rumah Bapak Ade Bisri, petani penggarap di Desa Sayang, Jatinangor. Terlihat sang istri sedang beraktivitas di dapur yang terletak di luar rumah pada Selasa (25/11).
Lain halnya dengan Nana Rukmana, pria berusia 46 tahun ini tengah menggarap sawah yang sebenarnya harus dilakukan kakaknya. Namun karena sang kakak sedang ada pekerjaan di bangunan maka ia disuruh menggantikannya dengan upah Rp 15 ribu per hari. Nana tidak memiliki pendapatan tetap. Biasanya ia hanya menunggu apabila ada orang yang memanggilnya untuk bekerja, baik di sawah maupun proyek bangunan. “Kalau musim kemarau kan nggak bisa tani. Ada yang nyuruh ngaduk semen ya saya kerjakan. Kerja apa saja saya kerjakan yang penting halal untuk makan anak-istri,” kata Nana.Sama halnya dengan Bapak Ade, bapak dua anak ini juga menerima BLT dari pemerintah, ”BLT yang telah saya terima tahun ini Rp 700 ribu. Tahun lalu Rp 1,2 juta setahun. Sebenarnya kepengen saya bukan uang tapi lapangan kerjanya. Pemerintah sekarang jangan ngomong doang. Dibantu rakyat kecil misalnya, satu tahun 1,2 juta, sehari berapa coba. Tapi kalau ada lapangan kerjanya, rakyat bisa dibina. Rakyat kecil jangan dipermainkan terus,” ujar Nana dengan nada tinggi.
Nana Rukmana (46), salah satu dari banyak buruh tani Jatinangor yang sedang menggarap sawah pada Selasa (25/11). Sewaktu-waktu lahan yang sedang digarapnya bisa hilang karena dibangun menjadi kos-kosan atau dijual ke tangan pemilik lain dengan harga tinggi.
Begitulah gambaran nasib para petani di Jatinangor. Memang, Jatinangor bukan lagi daerah pertanian. Namun masih banyak tersisa para petani yang dulunya adalah pemilik dari lahan pertaniannya sendiri. Lihat sekarang, tak seorang pun petani yang memiliki lahan pertanian. Mereka ini disebut buruh tani atau petani gurem.Menurut Ahli Ekonomi Pertanian Ronnie S. Natawidjaja, fenomena tersebut terjadi karena terbatasnya lahan yang mengakibatkan tingginya harga tanah di Jatinangor. Tanah yang tadinya merupakan lahan pertanian akhirnya berubah fungsi menjadi tempat bisnis.
Semua bermula pada saat berkembang kampus seperti UNPAD, UNWIM di Jatinangor. Kemudian kampus itu didatangi mahasiswa, regional maupun nasional. Timbul berbagai kebutuhan hidup mahasiswa seperti kebutuhan makan, hiburan, dan sebagainya. Hal itu mendorong perkembangan ekonomi yang mendukung.
“Petani diiming-imingi harga jual tanah yang tinggi. Orang-orang kota dari Bandung berdatangan mengatakan “jual saja ke saya sekian juta”. Si petani terdorong menjual dengan harga sekian. Akibatnya yang punya lahan-lahan sekarang adalah orang-orang kota. Karena belum punya uang untuk membangun kos-kosan, sementara tanah tersebut digarapkan petani yang dulunya adalah pemilik,” ujar Ronnie.
Fenomena seperi itu tidak hanya terjadi di Jatinangor tetapi juga di daerah-daerah yang peralihan dari daerah pertanian dengan daerah pertumbuhan ekonomi. “Sebetulnya penggunaan lahan itu ada aturannya. Hanya saja, peraturan Bappeda belum ketat,” lanjutnya.
Pertanian di Jatinangor hanya dilakukan untuk mengisi waktu. Pemilik tanah belum mau membangun sehingga yang dilakukan oleh para petani gurem sifatnya kontemporer. “Setiap saat, lahan pertanian bisa hilang. Kalau tidak dibangun, ya dijual. Jadi, mereka hidupnya tidak ada kepastian. Dan saya rasa, mereka juga sudah tahu. Salah satu resiko tinggal di perbatasan di daerah pertanian dan pertumbuhan perekonnomian. Mereka memang statusnya kelas masyarakat yang tadinya kelas pertanian, tergeser, karena menjual lahannya kemudian uangnya dibelikan motor dan lain-lain kemudian dijual lagi karena kebuthan hingga akhirnya nggak punya apa-apa,” jelas Ronnie.
Ronnie menjelaskan bahwa petani pun bisa kaya, seperti petani di daerah Pangalengan atau Garut. “Ada petani yang punya Mercy, Jeep Wrangler. Memang, ada stereotype di masyarakat bahwa pertanian itu kumuh. Mereka membayangkan bertani itu bekerja di sawah, pake kerbau. Tapi sebetulnya pertanian itu tidak sekumuh itu.”
Harusnya yang dilakukan pemerintah adalah memberi pilihan dan memberi kepastian pada petani yang tinggal di daerah peralihan. Apabila dirinya masih mau bertani, maka dipindahkan ke daerah yang memang menjadi daerah pertanian. Namun, apabila si petani tidak ingin mejadi petani lagi, hendaknya diberi pelatihan keahlian di sektor lain.
“Di daerah-daerah peralihan si petani itu ditingkatkan keahliannya. Diberi informasi, kalau di kota, cara bertaninya sudah beda. Yakni bisa di dalam pot, media yang digantung atau di green house dengan media terkendali. Kalau rumah bertingkat, lahan bertanian juga bisa bertingkat. Tapi kan petani nggak bisa sendiri. Harus diajari. Tugas pemerintah adalah memberikan training-nya.”
Banyak komoditas-komoditas di daerah perkotaan yang bisa menguntungkan seperti bunga-bungaan dan buah-buahan. Hidroponik bisa dijual dengan harga tinggi. Sehingga meski sedikit kalau harga jualnya tinggi masih tetap bisa memberikan kehidupan. “Kalau yang ditanam kacang-kacang tanah juga ya hasilnya sedikit,” imbuhnya.
No comments:
Post a Comment