daily thoughts and activities

Showing posts with label feature. Show all posts
Showing posts with label feature. Show all posts

Sunday, March 14, 2010

Setiap PL (praktik lapangan) di kelas Penulisan Feature menyimpan kisah menarik tersendiri. Contohnya feature mengenai kemiskinan, saya mengangkat tentang petani gurem Jatinangor yang dalam prosesnya, saya lebih bisa memahami mereka *walau nggak bisa bantu :(

Namun, kisah paling menarik di semester 5 adalah masa-masa PL4 di mana Bapak Sahala (dosen) menugaskan untuk menulis feature yang bersumber dari tesis/disertasi. Beurraattt. Saya selalu bergerak lambat dalam tugas. Teman-teman yang bergerak cepat sudah terlebih dahulu mendapat tesis maupun disertasi alumni UNPAD. Namun, jumlah tesis/disertasi tersebut terbatas karena Pak Sahala memberi batasan kebaruan tesis/disertasi.

Kami yang tidak kedapatan tesis/disertasi UNPAD mencari ke universitas lain di Bandung. Tentu saja, universitas di luar kota Bandung pun boleh, hanya saja akan sulit untuk mewawancarai si pembuat tesis/disertasi karena tempat tinggal mereka tersebar di Nusantara. Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menjadi pilihan pertama saya, mengingat (mungkin) otak saya masih bisa mencerna tema-tema pendidikan. Bapak perpustakaan di UPI sangat baik. Makasih Bapak atas kebaikannya dan membolehkan saya membawa pulang katalog tesis/disertasi. Sayang, ternyata tidak ada tesis/disertasi yang sesuai dengan persyaratan batasan waktu kebaruan sesuai persyaratan dosen saya.

Saya beralih ke ITB. Fakultas Seni Rupa dan Desain, saya mengincar tesis/disertasi alumni mereka mengingat sangat mustahil saya mengkaji Ilmu Alam maupun Teknik mereka. Bisa-bisa mencret nih otak. Terimakasih buat Naila yang telah menemani saya sampai menemukan perpustakaan FSRD. Terima kasih juga buat Sahrul yang memberi bantuan berupa referensi. Berharap ada tesis/disertasi yang sesuai dengan kapabilitas otak maupun minat, akhirnya saya menemukan tesis ANALISIS KONTEN GAMBAR PESERTA DIDIK DALAM MATA PELAJARAN SENI RUPA DI TINGKAT SEKOLAH MENENGAH ATAS karya WAWAN RIDWAN BAIHAKI.

Susah payah saya (akhirnya) mampu menghubungi Pak Wawan. Kami buat janji untuk wawancara, h-1 sebelum pengumpulan tugas. Saya sudah meminta hari lain agar tidak mepet namun Pak Wawan tidak bisa. Saya pun setuju untuk wawancara di hari h-1 deadline. Berhari-hari saya bolak-balik ke ITB untuk mempelajari tesis Pak Wawan (skripsi/tesis/disertasi tidak boleh dipinjamkan keluar perpus maupun difotokopi). Saya juga bertemu Eci yang sering ditemani pacarnya di sana =) Walaupun ngantuk membaca tesis, saya mencatat sana-sini dan membuka lagi buku Komunikasi Visual yang saya miliki sejak semester 2.

Hari untuk wawancara tiba, saya sudah menyiapkan daftar pertanyaan dan mengosongkan jadwal. Pak Wawan menjanjikan wawancara di kantornya, Jl. A. H. Nasution no.27, Ujungberung Bandung. Oke, hal tersebut masih agak kabur untuk mencari alamat. Namun tidak apa-apa yang perlu saya lakukan adalah menelusuri UjungBerung (Jl. A. H. Nasution) dan mencari gedung yang bernomor 27. Kami janjian wawancara sekitar pukul 10.

Pacar saya (waktu itu saya masih punya pacar) mengantarkan saya mencari alamat kantor Pak Wawan. Sempat bingung karena nomor ganjil biasanya berderet di sisi kiri dan alamat nomor genap berjajar di sisi kanan jalan Ujungberung. Oke, kita udah ngelewatin kantor dengan nomor alamat yang disebutkan Pak Wawan. Namun tidak ada gedung di sana dan juga tidak ada rumah dengan nomor 27. Saya bertanya-tanya tentang bentuk kantor Pak Wawan, mungkin saja bentuknya tidak mencolok dan terlewat oleh pandangan mata. Saya dan pacar bolak-balik menyusuri Jl. A.H. Nasution hingga akhirnya logika saya berjalan, Jl. A.H. Nasution nomor 27 itu adalah sebuah sekolah. SMAN 24. Ya, tidak salah lagi, karena samping kiri kanan sekolah itu nomor ganjil sebelum dan sesudah 27.

Entah mengapa, perasaan saya mulai nggak enak mengingat cara pendiskripsian si Pak Wawan yang menyulitkan. Mengapa ia tidak bilang saja bahwa ia bekerja di SMAN 24? Guru? Atau apakah beliau? Mengapa tidak memilih cara yang memudahkan seseorang untuk mencari alamat kantornya? Saya mendatangi petugas keamanan sekolah tersebut, bertanya apakah ada seorang bernama Pak Wawan bekerja di sekolah tersebut. Pak satpam mengiyakan. Pak Wawan adalah guru seni rupa di SMAN 24. Ok. Dia seorang guru.

Saya bertanya, apakah saya bisa bertemu dengannya karena saya ada janji wawancara dengan Pak Wawan. Satpam bilang, Pak Wawan belum datang dan tidak tahu apakan akan datang. Karena guru-guru lain sudah datang dan hanya Pak Wawan yang belum sampai sekolah. Saya menunggu sebentar dan menelepon HP Pak Wawan. Susah sekali tersambung. Hingga akhirnya tersambung dan diangkat seorang gadis kecil di seberang sana. Ia berkata papanya (Pak Wawan) keluar kota untuk beberapa hari, baru saja pagi ini berangkat, dan HPnya ketinggalan di rumah. Saya lemas. Dan lebih buruknya, saya berpraduga jelek.

Aneh sekali Pak Wawan ini, sejak saya mengontak dan berbicara di HPnya, beliau berbicara dengan nada tidak ramah sama sekali, terkesan boring dengan dunia (maaf saya hanya bicara tentang kesan yang saya tangkap). Ia juga mengatakan alamat kantor dengan cara yang menyulitkan, tidak memberi tahu dengan lugas bahwa ia guru di SMAN 24 yang mana akan JAUH memudahkan saya menemukan beliau. Dan di hari kami berjanji bertemu untuk wawancara, tiba-tiba paginya ia ke keluar kota tanpa memberi saya kabar dan seorang gadis kecil yang tidak lain adalah anaknya memberitahu saya bahwa HPNYA KETINGGALAN DI RUMAH. Padahal ia keluar kota untuk beberapa hari dan bukankah HP adalah barang penting untuk orang-orang bepergian tersebut?

Saya tidak bisa menghindari pikiran-pikiran negatif yang merasuki saya. Oke mari berpikir positif, mungkin hari itu adalah hari tersulit buat Pak Wawan sampai-sampai ia tidak punya waktu untuk mengabari saya. Some say, silence is golden. But for me, in some ways, silence means nothing but dullness (hey Dina, kau seperti bicara pada seseorang? Tidak ada, Sobat. Hanya perasaanmu).Saya akan JAUH, JAUH, JAUH, merasa lebih baik apabila Pak Wawan membatalkan wawancara dengan memberi kabar sebelumnya, sekalipun beliau membatalkan hari ini. Saya merasa ditelantarkan, tidak dihargai, dan oh yeah lengkap sudah. Beginikah kelakukan lulusan Institut Terbaik Bangsa????


Bunga yang seperti Bunga

Saya tiba-tiba merasa lelah sekali. Suasana hati sangat kacau. Mengingat betapa saya sudah sangat mempersiapkan hari ini dengan seminggu lebih bolak-balik ke ITB, menghabiskan berjam-jam di perpus ITB untuk mempelajari tesis seseorang yang bahkan tidak punya integritas. Kenyataan yang lebih menyakitkan, yang melakukannya adalah lulusan universitas ternama dan sekarang beliau seorang pengajar. Sungguh ‘teladan yang bagus’.

Saya berkata pada pacar saya, saya hanya ingin pulang dan menghabiskan waktu sendiri hari ini. Entah dengan menangis, berpikir , atau tidur seharian. Ia diam saja. Namun, tak lama setelah mengucapkan itu, terbersit di pikiran saya bahwa hari ini belum berakhir. Saya bisa saja mencari tesis baru, menghubungi si pembuat tesis, dan mewawancaranya hari ini juga. Toh, saya pikir saya sudah mengalami yang terburuk, hal seburuk apapun lagi tak akan terlalu terasa. Ya, baiknya begitu. Semuanya nothing to lose buat saya. Selama hari belum berakhir.

Saya bilang kepada pacar saya, tinggalkan saya di sini. Dia tidak setuju dan ingin mengantar saya. Tidak bisa. Saya sedang kacau dan tidak ingin seorang pun berada di dekat saya. Akhirnya kami bertengkar hebat hingga ia benar meninggalkan saya. Mudah saja membuat orang meninggalkan saya, sakiti saja dengan perkataan yang menyakitkan. Saya sungguh, tidak ingin seorang pun melihat saya dalam keadaan yang kacau makanya saya ingin ia pergi.

Lalu saya naik angkutan umum ke ITB, menuju bagian akademik menanyakan katalog tesis/disertasi yang bisa saya lihat, menelepon orang-orang yang kemungkinan bisa saya wawancara. Banyak yang tidak bisa, sedang ke luar kota, ke luar negeri, hanya ada nomor rumah tidak ada nomor HP, orangnya sudah diwawancara anak Jurnal lain, dan sebagainya. Hingga akhirnya saya bisa menghubungi dan berbicara dengan seorang bernama Bunga.

Bunga Sari Siregar, begitulah namanya. Lulusan s2 desain ITB dan ia setuju untuk saya wawancara hari itu juga. Saya merasa ada harapan, kembali bersemangat. Kami pun membuat janji wawancara malam sekitar pukul 7 atau 8 di restoran yang terkenal dengan menu mi acehnya di Buah Batu. Saya kembali ke perpus FSRD, menanyakan tesis Bunga kepada Bapak Perpus dan mempelajarinya. Tesisnya menarik. Saya menghabiskan waktu di sana hingga perpus tutup, sekitar pukul 5 sore.

Lalu saya bertemu Eby, dia baru saja selesai mewawancarai narasumber dan hendak pulang ke Jatinangor. Saya baru akan mewawancara narasumber saya beberapa jam lagi. Oke. Nggak apa-apa. Oh, crap, tiba-tiba saja semua kendaraan umum di Kota Bandung berdemonstrasi atas kehadiran Trans Metro Bandung. Saya mencari taksi, tapi tampaknya semua taksi mendapat penumpangnya hari itu. Tapi penumpangnya bukan saya.

Hingga akhirnya seorang bapak menawarkan jasa ojek sampai Buah Batu. Saya tiba di restoran mie Aceh itu sekitar magrib. Memesan minum. Menunggu narasumber datang, saya pergi ke toilet dan bercermin. Sungguh tidak mengenakkan untuk dilihat muka saya saat itu. cuci muka pun tidak berpengaruh. Yah, hari yang panjang buat saya. Narasumber saya mengecewakan saya, saya putus sama pacar, dan setelahnya saya langsung menghabiskan waktu dengan membaca tesis 200 halaman.

Bunga datang sekitar pukul setengah 8. Ia cantik dan berdandan rapi. Saya jadi tidak enak karena terlihat sangat kucel di depan narasumber. Cara berpakaiannya unik dan menarik. Ia bekerja di perusahaan tekstil dan datang bersama pacarnya. Ia memesan makanan dan menyuruh saya memesan juga. Kami memulai wawancara sambil menunggu pesanan datang. Recorder saya nyalakan.

Pesanan makanan datang dan kami mem-pause wawancara. Ia bercakap-cakap dengan pacarnya dan bertanya-tanya juga kepada saya. Entah mengapa saya berkata kepadanya hari itu saya baru saja putus dengan pacar. Saya yang salah, saya menyuruhnya pergi, dan ia benar pergi. Bunga men-stabilo ucapan saya kepada pacarnya, “Tuh.. cewek tuh emang begitu. Kalo dia ngomong minta kamu pergi, sebenarnya nggak pengen kamu benar pergi.” Saya tersenyum. Memang benar begitu.

Wawancara kami lanjutkan. Pukul 9 selesai dan Bunga memberi saya print-out tesisnya yang ia print di kantor. “Saya khawatir sedikit lupa, jadi saya print di kantor sebelum ke sini. Buat kamu saja.”, ujarnya. Ia juga mentraktir saya. Saya merasa ia bersikap hangat sekali ketika saya mengalami hari yang dingin.

Seusai wawancara, tantangan berikutnya adalah bagaimana-pulang-ke-jatinangor-dan-mengetik-itu-semua. Ya ya saya ulangi tidak ada kendaraan umum hari itu. Mereka semua mogok kerja. Saya berjalan, entah sejauh apa, dengan hujan rintik-rintik. Hingga akhirnya, lagi-lagi seorang Bapak menghampiri saya menawarkan jasa ojek ke Jatinangor dari Jalan Soekarno Hatta. Tiba-tiba hujan turun deras. Haha keren banget emang. Saya basah kuyup sampai kosan. Waktu menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Tidak ada waktu untuk mandi dan keramas. Saya hanya ganti baju dan mengeringkan rambut.

Mendengarkan recorder, membaca lagi tesis, dan membuat tulisan hingga pagi waktu mengumpulkan tugas tiba. Saya ingin menulis refleksi ini kepada Pak Sahala namun ternyata saya tidak punya waktu untuk menuliskan refleksi supaya terkumpul sesuai jam deadline. Kalau mengingat hari itu, saya suka berkata “Wow” sendiri kepada diri saya. Tulisan saya memang jelek tapi prosesnya tidak begitu jelek. Saya tidak menyerah saat itu.

Terima kasih, untuk Bapak Wawan Ridwan Baihaki yang memberi pelajaran pada saya bahwa tidak ada gunanya menjadi introvert, pentingnya menjadi orang yang bisa menghargai orang lain dan melakukan komunikasi, mengingatkan bahwa waktu buat seseorang relatif harganya, kadang hal yang kamu sepelekan sesungguhnya menentukan hidup matinya seseorang maka dari itu penting sekali mempunyai integritas.

Terima kasih, untuk Bunga Sari Siregar. Kamu narasumber yang paling saya ingat meski banyak orang yang telah saya wawancara.


God, thank you for everything, for all the good news and the bad news..

Saturday, March 13, 2010

Oleh : Dina TSH

Pernah dengar Harajuku Style? Itu lho, sekelompok orang yang menggunakan pakaian aneh meniru gaya jalanan (street style) di Jepang. Di Indonesia sendiri komunitas ini sudah mulai merebak. Event-event yang mempertemukan atau melombakan gaya pakaian Harajuku Style ini diadakan tiap tahunnya.

Bunga Sari Siregar, lulusan S2 Desain Institut Teknologi Bandung (ITB) ini mengangkat Harajuku Style sebagai tesisnya yang berjudul “Kajian Visual Harajuku Style di Indonesia Ditinjau Melalui Pendekatan Unsur – Unsur Fashion”. Gaya Harajuku telah mempengaruhi dunia termasuk Indonesia. Sejauh mana gaya Harajuku tersebut masuk di Indonesia? Bunga mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan tesisnya yang setebal dua ratus lebih halaman.

Harajuku, merupakan salah satu sentral street style di Jepang yang kini sangat menarik minat anak muda dunia, termasuk Indonesia. Gaya, pilihan warna, dan motif pakaian yang dikenakan para kaum muda di seputar Harajuku banyak ditiru oleh kalangan muda di Indonesia. Umumnya, mereka memiliki perhatian khusus pada produk budaya pop Jepang seperti anime, cosplay, komik, makanan, film, majalah, dan juga musik serta bahasa Jepang. Para kaum muda ini hadir membawa produk persilangan budaya baru yang merupakan perpaduan Jepang – Indonesia.

Bunga menjelaskan bahwa Harajuku Style sendiri terbagi menjadi sub-sub gaya, yakni Harajuku Style, Lolita, Visual Kei, Gothic, Cosplay, Ganguro, Gyaru, dan Kogal. Namun sub gaya Harajuku yang masuk di Indonesia antara lain yaitu Harajuku Style, gothic, fruits, visual kei, cosplay, dan Lolita.

“Pada dasarnya fashion Harajuku ini sangat bertolak belakang dengan fashion system masyarakat pada umumnya. Artinya, di Harajuku Style ini kita menemukan fashion system yang baru,” kata Bunga.

Parameter yang digunakan dalam penelitian Harajuku Style ini adalah unsur-unsur fashion, yakni bentuk (silhouette), garis, detail, bahan, tekstur, motif, dan warna. Selain itu digunakan juga prinsip-prinsip fashion meliputi proporsi, keseimbangan, pengulangan, aksentuasi, dan keselarasan.

Harajuku Style mengalami dekonstruksi berbusana, di mana gaya tersebut mengalami pergeseran nilai-nilai, dalam fashion umumnya. “Umumnya baju kan simetri, kalau Harajuku Style itu banyakan asimetri. Antara sebelah kanan dan kiri ukurannya berbeda, sebelah ada tangan, sebelah lagi nggak ada. Kanan pajang, kiri lebih pendek. Sebelah kanan ada kerah, sebelah kiri terbuka,” papar Bunga.

Gaya Harajuku asalnya merupakan pemberontakan dan pelarian, diadopsi menjadi tren yang meriah di sekitar kita. Harajuku, sebuah area di Tokyo, menjadi tempat anak muda berkumpul untuk melepaskan tekanan hidup sehari-hari. Setiap akhir Minggu, mereka berkumpul dan berdandan luar biasa ekstrim. Baju jadi celana, celana jadi baju, sepatu jadi ikat pinggang, baju dari plastik warna-warni, ekspresi gaya Gothic, Lolita, peniruan tokoh-tokoh komik Jepang, manga, dan animasi bertebaran di kawasan ini. Yang penting, mereka menjadi sosok yang berbeda dari kehidupan sehari-hari yang cenderung membosankan.

Tiarma Sirait, fashion artist yang selama tiga tahun menjadi Artist In Residency di Fukuoka Asian Art Museum dalam diskusi Iketaru Harajuku pada 26 September 2006 bertempat di Hall The Japan Foundation Jakarta mengatakan, “fashion cuma alat saja buat mereka untuk melepas stres dan lari dari kepribadian mereka setelah sebelumnya mereka bekerja dengan disiplin.”

Memakai busana ataupun berdandan gaya Harajuku di Indonesia tidak harus merasa memberontak terhadap suatu apapun. Berdasarkan penelitian kepada seratus responden, faktor utama yang memotivasi anak muda Indonesia dalam bergaya Harajuku adalah kebebasan berekspresi. Motivasi lain yakni kreativitas, meningkatkan kepercayaan diri, pemberontakan, dan agar dapat diterima oleh kelompok tertentu.

Visualisasi Harajuku Style Indonesia dalam meniru, mencontoh, dan mengadopsi Harajuku Style tidak bisa sama persis seperti yang di Jepang sana karena ada faktor-faktor tertentu. Faktor yang mempengaruhi totalitas tersebut yakni faktor persediaan barang yang terbatas, faktor ekonomi, faktor agama, iklim, dan lain-lain.

“Kalau di Indonesia, gothic hanya memakai kemeja hitam dan celana hitam. Padahal gothic yang sesungguhnya itu dari atas sampai bawah, mulai dari aksesoris seperti kalung sampai kuteks,” tutur Bunga.

“Saya juga observasi tentang warna. Ternyata bisa diambil kesimpulan bahwa warna Harajuku Style di Jepang lebih bright, lebih panas. Warna-warna panas itu seperti merah, kuning, oranye. Di Indonesia digunakan warna-warna dingin, seperti biru, hijau, putih. Mungkin karena adanya perbedaan iklim,” terangnya. “Dari segi rambut, kalau Harajuku Style di Jepang, mereka mengecat permanen dan mereka sehari-hari seperti itu. Di Indonesia masih temporary, pakai wig atau bahkan rambut biasa aja. Selain itu make-up Harajuku Style Jepang lebih totalitas. Bibir dihitamkan, pakai piercing (tindikan). Kalau di sini anak mudanya nggak berani piercing, karena harus ke sekolah lagi.”

Sub gaya Harajuku Style yang dominan di Indonesia yakni Harajuku Style itu sendiri. Alasannya, konsep lebih bebas, memadu-padankan baju-baju yang sudah ada. Kemudian gothic, nggak hanya di Indonesia, di luar juga sangat suka gothic. Decora/fruits yang lucu. Lolita kayak Pinkan Mambo.

Gaya Harajuku di Indonesia mengalami transformasi. Di mana ketika gaya Harajuku di Jepang merupakan gaya jalanan/street sedangkan di Indonesia gaya tersebut mengalami proses adopsi secara Horizontal-Flow Theory yaitu gaya tersebu diimitasi atau ditiru untuk distribusi massal. Bahkan menjadi Upward-Flow Theory, yaitu gaya tersebut diadopsi oleh kaum muda Indonesia untuk dipakai di acara-acara tertentu saja atau fashion show.

“Gaya Harajuku di Jepang merupakan gaya jalanan. Yang memakai pun bukan kalangan atas seperti buruh, kalangan-kalangan bawah, orang-orang yang tidak berpendidikan. Tapi begitu masuk ke negara-negara lain, seperti Indonesia, hal tersebut malah menjadi panggung massal. Malah jadi tren sehingga sering di-fashion show-kan,” kata Bunga.

Komik dapat dikatakan media awal yang sangat berpengaruh dalam masuknya gaya Jepang dan banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia. Awal 1990-an, PT Elex Media Komputindo meluncurkan komik Jepang, Candy – Candy yang meledak di pasaran. Setelah itu, Elex juga mengeluarkan komik Jepang lain seperti Kungfu Boy, Doraemon. Pengaruh ini semakin merasuk pada dunia remaja ketika didukung oleh filmnya. Kemudian menyusul banyaknya anak muda di Jakarta yang juga demam game online di Jepang seperti Ragnarok, Get Amped, dan Rising Force. Hal ini dibuktikan oleh Andi Suryanto, Executive Editor Lyto, perusahaan pemilik lisensi tiga game asal Jepang tersebut mengatakan bahwa ada empat juta gamer di seluruh Indonesia (Kontan, Rabu 2 Januari 2008, Angga Aliya).

Harajuku Style booming di Indonesia sekitar tahun 2006, yakni ketika Duo Ratu sedang populer di Indonesia. Selain itu ada Agnes Monica, Pinkan Mambo yang bergaya Lolita, dan juga band anak muda J-Rocks. Tidak kalah menarik ternyata tidak hanya publik figur saja yang mengikuti gaya street style ini, tetapi juga kalangan anak muda yang bergabung menjadi suatu komunitas atau dikenal dengan harajuku-ers. “Gaya Harajuku membuat anak muda lebih kreatif dan percaya diri. Tidak peduli terlihat aneh. Yang penting tampil maksimal, unik, dan beda,” ujar Roy, harajuku-ers di Bandung.
Oleh : Dina TSH

Jatinangor sebagai kawasan pendidikan memiliki berbagai universitas mulai dari Universitas Padjadjaran (UNPAD), Univeritas Winaya Mukti (UNWIM), hingga Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN). Tapi, tahukah Anda dibalik kota pendidikan yang dihiasi pertokoan dan kos-kosan mahasiswa tersebut, masih banyak terdapat petani penggarap yang terhimpit sempitnya lahan pertanian?

Bapak Ade Bisri misalnya. Bapak berumur 59 tahun ini adalah salah satu petani penggarap di Desa Sayang, Jatinangor. Ditemani istrinya, Ibu Entar, ia tengah menyelesaikan tugasnya menanam padi di tengah terik matahari. Saat itu kira-kira pukul 12 ketika ia menceritakan kehidupannya sebagai satu dari banyak buruh tani di Desa Sayang.

Sudah lama ia menjadi buruh tani dengan bermodalkan lahan yang diberi oleh seorang dosen dari Bandung. “Saya tidak diberi upah menggarap. Hanya saja, saya harus membayar pajak setahun sekali ke desa. Tapi tanah ini sendiri sebenarnya akan dijadikan kos-kosan. Jadi saya juga hanya sementara menggarap tanah. Hasilnya hanya cukup digunakan untuk makan sehari-hari,” ujar Pak Ade.

Dengan penghasilan tidak menentu setiap bulan, beliau mengaku menerima Bantuan Langsung Tunai dari pemerintah. “Waktu itu orang Kabupaten datang ke rumah dan melihat barang-barang didalamnya. Di rumah saya mah kosong, nggak ada barang apa-apa jadinya saya terdaftar menerima BLT,” ujarnya seraya menunjukkan rumahnya yang terbuat dari bilik.

Rumah dari bilik di atas adalah rumah Bapak Ade Bisri, petani penggarap di Desa Sayang, Jatinangor. Terlihat sang istri sedang beraktivitas di dapur yang terletak di luar rumah pada Selasa (25/11).

Lain halnya dengan Nana Rukmana, pria berusia 46 tahun ini tengah menggarap sawah yang sebenarnya harus dilakukan kakaknya. Namun karena sang kakak sedang ada pekerjaan di bangunan maka ia disuruh menggantikannya dengan upah Rp 15 ribu per hari. Nana tidak memiliki pendapatan tetap. Biasanya ia hanya menunggu apabila ada orang yang memanggilnya untuk bekerja, baik di sawah maupun proyek bangunan. “Kalau musim kemarau kan nggak bisa tani. Ada yang nyuruh ngaduk semen ya saya kerjakan. Kerja apa saja saya kerjakan yang penting halal untuk makan anak-istri,” kata Nana.

Sama halnya dengan Bapak Ade, bapak dua anak ini juga menerima BLT dari pemerintah, ”BLT yang telah saya terima tahun ini Rp 700 ribu. Tahun lalu Rp 1,2 juta setahun. Sebenarnya kepengen saya bukan uang tapi lapangan kerjanya. Pemerintah sekarang jangan ngomong doang. Dibantu rakyat kecil misalnya, satu tahun 1,2 juta, sehari berapa coba. Tapi kalau ada lapangan kerjanya, rakyat bisa dibina. Rakyat kecil jangan dipermainkan terus,” ujar Nana dengan nada tinggi.

Nana Rukmana (46), salah satu dari banyak buruh tani Jatinangor yang sedang menggarap sawah pada Selasa (25/11). Sewaktu-waktu lahan yang sedang digarapnya bisa hilang karena dibangun menjadi kos-kosan atau dijual ke tangan pemilik lain dengan harga tinggi.

Begitulah gambaran nasib para petani di Jatinangor. Memang, Jatinangor bukan lagi daerah pertanian. Namun masih banyak tersisa para petani yang dulunya adalah pemilik dari lahan pertaniannya sendiri. Lihat sekarang, tak seorang pun petani yang memiliki lahan pertanian. Mereka ini disebut buruh tani atau petani gurem.

Menurut Ahli Ekonomi Pertanian Ronnie S. Natawidjaja, fenomena tersebut terjadi karena terbatasnya lahan yang mengakibatkan tingginya harga tanah di Jatinangor. Tanah yang tadinya merupakan lahan pertanian akhirnya berubah fungsi menjadi tempat bisnis.

Semua bermula pada saat berkembang kampus seperti UNPAD, UNWIM di Jatinangor. Kemudian kampus itu didatangi mahasiswa, regional maupun nasional. Timbul berbagai kebutuhan hidup mahasiswa seperti kebutuhan makan, hiburan, dan sebagainya. Hal itu mendorong perkembangan ekonomi yang mendukung.

“Petani diiming-imingi harga jual tanah yang tinggi. Orang-orang kota dari Bandung berdatangan mengatakan “jual saja ke saya sekian juta”. Si petani terdorong menjual dengan harga sekian. Akibatnya yang punya lahan-lahan sekarang adalah orang-orang kota. Karena belum punya uang untuk membangun kos-kosan, sementara tanah tersebut digarapkan petani yang dulunya adalah pemilik,” ujar Ronnie.

Fenomena seperi itu tidak hanya terjadi di Jatinangor tetapi juga di daerah-daerah yang peralihan dari daerah pertanian dengan daerah pertumbuhan ekonomi. “Sebetulnya penggunaan lahan itu ada aturannya. Hanya saja, peraturan Bappeda belum ketat,” lanjutnya.

Pertanian di Jatinangor hanya dilakukan untuk mengisi waktu. Pemilik tanah belum mau membangun sehingga yang dilakukan oleh para petani gurem sifatnya kontemporer. “Setiap saat, lahan pertanian bisa hilang. Kalau tidak dibangun, ya dijual. Jadi, mereka hidupnya tidak ada kepastian. Dan saya rasa, mereka juga sudah tahu. Salah satu resiko tinggal di perbatasan di daerah pertanian dan pertumbuhan perekonnomian. Mereka memang statusnya kelas masyarakat yang tadinya kelas pertanian, tergeser, karena menjual lahannya kemudian uangnya dibelikan motor dan lain-lain kemudian dijual lagi karena kebuthan hingga akhirnya nggak punya apa-apa,” jelas Ronnie.

Ronnie menjelaskan bahwa petani pun bisa kaya, seperti petani di daerah Pangalengan atau Garut. “Ada petani yang punya Mercy, Jeep Wrangler. Memang, ada stereotype di masyarakat bahwa pertanian itu kumuh. Mereka membayangkan bertani itu bekerja di sawah, pake kerbau. Tapi sebetulnya pertanian itu tidak sekumuh itu.”

Harusnya yang dilakukan pemerintah adalah memberi pilihan dan memberi kepastian pada petani yang tinggal di daerah peralihan. Apabila dirinya masih mau bertani, maka dipindahkan ke daerah yang memang menjadi daerah pertanian. Namun, apabila si petani tidak ingin mejadi petani lagi, hendaknya diberi pelatihan keahlian di sektor lain.

“Di daerah-daerah peralihan si petani itu ditingkatkan keahliannya. Diberi informasi, kalau di kota, cara bertaninya sudah beda. Yakni bisa di dalam pot, media yang digantung atau di green house dengan media terkendali. Kalau rumah bertingkat, lahan bertanian juga bisa bertingkat. Tapi kan petani nggak bisa sendiri. Harus diajari. Tugas pemerintah adalah memberikan training-nya.”

Banyak komoditas-komoditas di daerah perkotaan yang bisa menguntungkan seperti bunga-bungaan dan buah-buahan. Hidroponik bisa dijual dengan harga tinggi. Sehingga meski sedikit kalau harga jualnya tinggi masih tetap bisa memberikan kehidupan. “Kalau yang ditanam kacang-kacang tanah juga ya hasilnya sedikit,” imbuhnya.

Friday, October 31, 2008

Oleh: Dina Tri Septianti Harahap

Imagine there's no countries
It isn't hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion too
Imagine all the people
Living life in peace

Penggalan bait dari lagu John Lennon di atas, “Imagine” yang direkam pada tahun 1971 sampai saat ini masih sering dijadikan anthem bagi gerakan anti-agama dan anti-perang. Lagu tersebut muncul dalam film les 24 heures de la television atau 24 Jam TV.

Film yang diputar oleh Centre Culturel Francais (CCF) Bandung menampilkan cuplikan wawancara tokoh-tokoh yang membawa perubahan kebudayaan di Eropa mulai tahun 1948 sampai dengan 2008. Mulai dari band atau musisi yang membawa apa yang dinamakan British Invasion pada masa itu semisal The Beatles, The Rolling Stones, U2, The Clash sampai pelukis Pablo Picasso.

Film Prancis yang berdurasi 45 menit ini didominasi warna hitam putih di mana memang pada masa awal visualisasi televisi belum berwarna seperti sekarang. Sayangnya, teks berbahasa Inggris yang muncul menggunakan warna putih sehingga tidak terlalu jelas dilihat penonton. Meski begitu, unsur humor tidak ketinggalan dimasukkan ke dalam film.

Saat untuk melongok kembali sejarah, banyak terekam momen yang menyentuh, lucu maupun mengejutkan. "Banyak peristiwa penting yang menarik untuk diketahui dan kita juga dapat melihat perkembangan pertelevisian Prancis dari tahun ke tahunnya," jelas Penanggung Jawab Bidang Budaya yang juga menangani media, Windiana Mutiasih, yang akrab dipanggil Windi ketika diwawancara di lobi CCF.

Hari Audio Visual Internasional

Sejak 2007, tanggal 27 Oktober ditetapkan sebagai hari internasional warisan budaya bidang audiovisual. Dalam kesempatan tersebut dan untuk keempat tahun berturut-turut di Bandung, CCF menayangkan arsip audio visual yang diputar dengan beragam kategori acara televisi yakni politik, olahraga, musik, dunia, fiksi dan kemasyarakatan (societe).

Program ini dipersembahkan oleh Institut National de l’audiovisuel (INA)

atau Institut Audiovisual Nasional Prancis. Fim les 24 heures de la television ditayangkan dua kali yakni Sabtu, 25 Oktober dan Senin, 27 Oktober. “Biasanya ditayangkan satu kali saja tapi tahun ini kita tayangkan dua kali,” ujar Windi.

Pada pemutaran film hari pertama dengan segmentasi mahasiswa dan umum, terdapat kuis di akhir film. Sepuluh hadiah menarik juga dimasukkan sebagai bagian dari pancingan agar penonton, siswa CCF khususnya, menikmati film dan mencerna jalan ceritanya dengan baik. “Kalau buat umum kan mereka bisa melihat perkembangan kebudayaan di Eropa. Sedangkan untuk mahasiswa yang sedang belajar bahasa Prancis bisa buat applicate melatih pendengaran, memperdalam percakapan, dan pronounciation bahasa Prancis. Nah yang hari kedua, kita khususkan untuk pelajar SMA yang belajar berbahasa Prancis,” lanjutnya.

Tampaknya tujuan tersebut tercapai. Pukul 14.00 WIB CCF Bandung atau yang terletak di Jalan Purnawarman no. 32 dikunjungi oleh orang-orang yang bermaksud menonton pemutaran film gratis. Auditorium CCF yang berkapasitas 220 orang terisi lebih dari setengahnya. Ruang pertunjukan yang dilengkapi dengan tata suara, proyektor video 16 mm, tata lampu, AC, semi-grand piano Yamaha, dan ruang rias tersebut memang sering digunakan untuk pertunjukan, seminar, dan diskusi.

Misi Budaya

CCF Bandung mempunyai misi kebudayaan yang non-profit. Lebih lanjut Windi menjelaskan CCF berada di dalam naungan Kedutaan Prancis di Indonesia. Dalam menjalankan misi budaya dibutuhkan dana yang besar seperti mendatangkan INA dan mengumpulkan rekaman perkembangan budaya di Prancis.

INA adalah sebuah lembaga di Prancis yang menyimpan atau bank gambar yang merekam semua gambar-gambar yang terjadi di dunia pertelevisian. Penayangan film les 24 heures de la television merupakan komunikasi yang terjadi antara INA, Menteri Luar Negeri Prancis, dan Kedutaan Prancis di Indonesia. CCF sebagai solusi dalam menayangkan film kepada publik.

Dari tahun keempat CCF menayangkan film produksi INA tersebut, tema tiap tahunnya selalu berbeda. Tahun lalu tema film yang diusung mengenai politik di Eropa sedangkan tahun ini khusus mengenai budaya. “Dengan adanya pemutaran film ini, kami ingin meningkatkan dan juga memberikan gambaran mengenai sejarah audio visual di Eropa pada umumnya, Prancis pada khususnya,” tutur Windi.

Salah satu pengunjung, Satrio Rinaldi, yang menyaksikan pemutaran film meninggalkan komentarnya, “Seru juga sih filmnya dari gambar hitam putih di awal jadi berwarna di tengah-tengah. Tapi karena nggak ngerti bahasa Prancis jadinya sempat ngantuk juga. Hehehe”.