daily thoughts and activities

Showing posts with label review. Show all posts
Showing posts with label review. Show all posts

Thursday, March 19, 2020


Kehamilan saya termasuk kehamilan yang sulit di trimester awal. Bulan pertama hingga keempat, saya bahkan tidak sanggup melakukan perjalanan naik mobil. Tapi karena saya ngekos dekat kantor selama hamil, seminggu 2x saya harus menjalaninya dengan penuh penderitaan.

Bulan ke-5 dan ke-6 adalah saat yang sudah lumayan enak. Saya sudah merasa fit dan tidak mual-mual sehingga ketika ada kesempatan dinas dari kantor, saya mengiyakan.

Penerbangan pertama yakni ke Bangka Belitung menggunakan Batik Air. Saya menelepon call center untuk menanyakan informasi perihal persyaratan ibu hamil naik pesawat. Di luar ekspektasi saya, petugas call center maskapai agak gagap mengenai informasi tersebut dan meminta saya untuk menunggunya di telepon untuk mencari informasi persyaratan tersebut. Lama sekali saya menunggu di telepon hingga akhirnya ia kembali dan memberi tahu persyaratan mengenai ibu hamil untuk bisa terbang. Dari informasinya (dan cek internet), untuk kehamilan di bawah 28 minggu saya hanya diminta untuk mengisi Form of Indemnity (FOI) dan tidak dibutuhkan surat keterangan dokter untuk bisa terbang.

Sebenarnya, saya sudah mengantongi surat tersebut sekitar h-7 sebelum saya terbang. Jadi kalau diminta pun saya sudah siap. Hanya ingin memastikan saja.

Di hari keberangkatan, saya datang lebih awal ke bandara untuk jaga-jaga apabila ada pemeriksaan lebih lanjut atau butuh waktu lebih untuk mengisi formulir tertentu (ibu hamil harus check-in melalui counter, tidak bisa check-in online kecuali perut Anda masih kecil dan tidak ketahuan sedang hamil). Petugas counter check-in Batik Air menanyakan usia kehamilan saya, lalu saya jawab sesuai dengan surat keterangan dokter, yakni 21 minggu. Yang lucunya, petugas agak bingung dengan hitungan minggu.. “Err jadi kalo 21 minggu berapa bulan ya?” Terus dia nanya koleganya yang ada di counter sebelah. Lah mbak, kan tinggal dibagi 4 aja toh. 21 minggu dibagi 4 sama dengan sekian bulan -___-

Kemudian ia memberi saya formulir untuk ditandatangani. Secara cepat form tersebut telah ia isi, ceklist bahwa kita tidak akan menuntut maskapai apabila ada resiko kehamilan dan juga kita tidak akan merugikan maskapai dengan kondisi penerbangan penumpang hamil.  Saya diminta memberikan form tersebut ke petugas di gate Batik Air (waktu itu tentu saja saya di Terminal 2 Soetta). Easy.

Pulang dari Bandara Tanjung Pandan beda cerita. Saya bersama teman-teman check-in sebagai group. Tentunya saya standby karena hendak melapor kehamilan saya. Ketika saya tunjukkan surat keterangan dokter tersebut, saya diminta untuk mengecek kesehatan saya di KKP (Kantor Kesehatan Pelabuhan). Saya jadi kurang enak dengan group karena kami datang dengan waktu yang ngepas dan saya harus “diculik” dulu. Agak bingung sih sebenarnya, saya di Babel cuman 5 hari, lalu mengapa prosedur bisa begitu berbeda. Saya utarakan hal tersebut kepada petugas KKP, katanya surat dokter saya hampir berusia 2 minggu jadi sudah kelamaan sehingga harus dicek ulang tensi, suhu tubuh, dsb. Padahal kan kalau lewat 2 minggu pun usia kehamilan saya masih di bawah 28 minggu. Tapi ya sudahlah. 

Usai pemeriksaan kesehatan, saya mendapat form untuk layak terbang. Lalu ketika saya kembali ke counter check-in untuk menyerahkan form tersebut, ternyata teman-teman saya masih menunggu di sana. Waduh, jadi nggak enak. Mereka simpati sama saya hehe.

Penampakan hamil dari belakang di Pantai Tanjung Tinggi, Babel

Pengalaman kedua, saya naik Garuda Indonesia. Saya browsing mengenai aturan ibu hamil terbang di website mereka. Sepertinya easy peasy. Saya tes telepon call center, mereka juga tergagap ketika saya ingin menanyakan usia kehamilan untuk terbang. Lagi-lagi saya ditinggal petugas call center untuk memberi mereka waktu mencari informasi yang saya tanyakan tersebut. Bedanya dengan call center Batik, call center Garuda lugas menjawab tidak membutuhkan surat keterangan dokter (sampai di bawah usia kehamilan 32 minggu kalau tidak salah).

Saya datang ke Terminal 3, lapor di counter check-in lalu diarahkan untuk check-in di counter penumpang dengan kebutuhan khusus. Lalu saya cuma disuruh isi form dengan singkat (tulis data sendiri beserta tanda tangan) lalu langsung boleh masuk gate. Pulangnya juga begitu. Sepertinya kalau petugas lapangannya lebih tanggap dan terbiasa dengan ibu hamil.

Hanya saja, tidak ada perlakuan khusus juga tuh. Saya pikir kalau ibu hamil dan dapat seat di belakang akan dipindah ke agak depan hahahah. Nggak juga. Dan ketika naik Batik Air maupun Garuda sama-sama tidak ada petugas yang inisiatif membantu saya dengan koper cabin saya. Di kedua perjalanan tersebut, saya minta tolong atau inisiatif ditolong oleh penumpang lain yang melihat keadaan saya (kondisi seat mencar-mencar dengan teman kantor).

Oh, pas perjalanan pulang dari Belitung, Mbak Tunjung sempat bilang sih ada pramugari yang memanggil-manggil nama saya, sepertinya ingin membantu barang bawaan saya, tapi saya tidak dengar tuh karena saya duduk di seat yang agak belakang. Jadi tetap saja saya tidak merasa dibantu oleh petugas Batik Air maupun Garuda. Ditambah pengalaman repot saya pas turun dari pesawat, gataunya ga pake garbarata dan petugas cuma senyam-senyum aja lihat saya gotong koper turun tangga dengan perut yang mulai buncit.

Jadi, opsi yang paling baik bagi ibu hamil untuk melakukan perjalanan menggunakan pesawat terbang adalah tetap saja didampingi dengan suami :)

Udah kelihatan buncit hamil belum? 

Sunday, December 03, 2017

Hola!

Mau update blog tapi nggak tahu mau nulis apa. Saking banyaknya kisah yang sudah terlewat lol. Life, work, marriage, relationships, feelings, self-development (ah ya, saya lagi tertarik dengan topik ini). Berhubung lagi bersihin bookmarks Chrome, nemu quote Good Will Hunting. Saya taruh di akhir postingan ini yaa.

Good Will Hunting, lupa lupa inget film tentang apa. Matt Damon yang nulis script sekaligus pemainnya. Duet sama sahabatnya, Ben Affleck. Kalau ga salah, tentang Will, orang jenius yang karena dia hidup sebagai kelas pekerja, orang2 pada awalnya meremehkannya. Hingga akhirnya dia ketemu mentor, seorang professor gitu. Konflik dengan sahabatnya, Ben Affleck and the genk. Dan Will yang socially awkward ini juga punya masalah percintaan. Doi menolak jadi vulnerable because of love. Semacam itu lah.

 “Sometimes I wish I had never met you, because then I could go to sleep at night not knowing there was someone like you out there.” 
― Gus Van SantGood Will Hunting

Saturday, June 21, 2014

Minggu, mama dan papa minta diajak ke tanah abang. Mau beli sarung untuk acara adat di rumah sekaligus cari juga buat THR karyawan. Kami bertiga berencana naik KRL (Kereta Rel Listrik atau yang biasa disebut commuterline). Pukul 10 kami melaju ke stasiun Rawa Buntu, parkir mobil, lalu membeli tiket KRL.

Ini pengalaman pertama mama papa masuk stasiun Rawa Buntu, biasanya mentok nganter saya di parkiran stasiun. Tak lama menunggu, kereta datang. Udah padat manusia, kami pun berdiri. Hehehe kasian juga sih bawa orangtua baru pertama kali naik KRL langsung nyoba situasi berdiri. Yah, tapi memang begitulah keadaannya.

Mama yang kayaknya antara shock sekaligus excited nggak henti-hentinya nanya ini itu ke saya mengenai situasi di dalam KRL. Hingga akhirnya seorang penumpang memberi tempat duduk ke mama saya karena sepertinya ia tahu mama perdana naik KRL. Hehe, thanks mbak.

Sampai di pusat perbelanjaan Tanah Abang, kami menuju basement 1 blok A. Putar-putar sebentar kami pun menawar 2 kodi sarung di sebuah toko yang bisa memberi harga yang paling miring. Nggak miring-miring amat sih, tapi dia kasih harga paling murah lah dibanding kios-kios lain. Nama tokonya Yassir, letak di Blok A Lt. B1 Los B No. 36 Tanah Abang.

Toko Yassir, sedia sarung, sajadah, baju koko, dll

Berhubung 2 kodi kain sarung itu banyak banget, masing-masing dari kita bertiga udah banyak tentengan. Tapi si mamah sempet-sempetnya nanya mamang-mamang sarung di mana tempat belanja nyari bahan. Eh buset, saya dan si papah liat-liatan dan langsung mencerahkan si mamah bahwa BAWAAN KITA UDAH BANYAK BANGET GITU LOH DAN INI NGANGKOT, EH NGRETA. Alhamdulillah, si mamah insyaf dan setuju untuk bergegas pulang.

Kami memutuskan naik bajaj ke stasiun Tanah Abang. Tarifnya 15 ribu (kalo dari pintu yang paling ujung). Cuma muterin satu blok jalan doang sih. Terus naiklah ribuan tangga menuju stasiun Tanah abang. Abis beli tiket buat mama papa yang antriannya puanjang rek, kita buru-buru masuk peron ngejar kereta menuju Serpong. Udah mana banyak banget bawa belanjaan, lari-lari ngejar kereta, eh pas udah tinggal lompat masuk kereta, saya dan mama baru nyadar,si papa dari tadi nggak ngikutin kita di belakang...

Saya langsung taruh belanjaan, buru-buru naik ribuan tangga dan menyapu pandangan ke sudut stasiun. Antara panik tapi geli. Panik karena hadeh bawa aki-aki ke Tanah Abang malah ngilang. Geli karena iya, ini ilangnya di stasiun Tanah Abang yang 2 menit lalu kita lari bertigaan ngejar kereta. Kalo ilang di stasiun Tugu Jogja atau di bandara JFK USA mungkin saya akan pusing setengah mati. Tapi ini di stasiun di daerah Jakarta yang si papah lebih paham Jakarta dibanding saya, Tanah Abang gitu. Hehehe.

Pas saya lagi scanning orang-orang di stasiun terlihatlah si papah datang menghampiri dengan muka tertawa geli. Saya tertawa balik. Kami buru-buru turun dan menghampiri mamah yang jagain belanjaan. Kami akhirnya keburu naik kereta dan tertawa terpingkal-pingkal sambil berdiri di KRL. What a shiny day..


Saturday, May 10, 2014


Hi. Drinking lunch on a school day?  That's a nice surprise.  Are you nervous about tomorrow night?

-- Not really, no.

Well, um, are you going to talk to me or should I get my paper out?

-- No, no, I'm going to talk to you.

Right.  What are you going to talk to me about?

-- I'm going to talk to you about whether or not you want to get married to me.

(laughing)

--I'm serious.

Yes, I know.

-- Well, thanks a freakin' bunch!

I'm sorry, but two days ago you were making tapes for that girl from the Reader.

-- Yeah.

Well forgive me if I don't think of you as the world's safest bet.

-- Would you marry me if I was?

What brought all this on?

-- I don't know.  I'm just sick of thinking about it all the time.

About what?

-- This stuff.  Love and settling down and marriage you know - I wanna think about something else.

I changed my mind.  That's the most romantic thing I've ever heard.  I do.  I will.

-- Just shut up, please, I'm trying to explain, okay?  That other girl, or other women, whatever, I was thinking that they're just fantasies, you know, and they always seem really great because they're never any problems, and if there are they're cute problems like we bought each other the same Christmas present or she wants to go see a movie I've already seen, you know?  And then I come home and you and I have real problems and you don't want to see the movie I wanna see, period.  There's no lingerie...

-- I have lingerie!

Yes you do.  You have great lingerie but you also have cotton underwear that's been washed a thousand times and its hanging on the thing and ... and they have it too just I don't have to see it because it's not the fantasy ... do you understand?  I'm tired of the fantasy because it doesn't really exist and there are never really any surprises and it never really...

-- Delivers?

Delivers.  Right.  And I'm tired of it and I'm tired of everything else for that matter but you'll never see me get tired of you ... so ...

-- I think I know what you mean, but were you really expecting me to say yes?

I don't know.  I didn't think about it, really.  I thought asking was the important part.

-- Well, you asked.  Thank you.

Saturday, August 11, 2012

Nyambung postingan sebelumnya, belum lama ini saya baca buku ini:


Ada hal yang sangat mengganggu yang diutarakan sang pengarang, Dewi Lestari (Dee) dalam sebuah scene penting dalam buku tersebut.

“..angin ajaib tadi telah meniupkan arah matanya untuk tertumbuk pada sebuah jendela. Tepat di seberang rumahnya.
 

Ada seseorang di sana. Seorang perempuan, duduk menekuk, memeluk lutut, setengah menunduk. Cantik. Dengan bingkai malam yang penuh bintang, ia malah kelihatan tidak nyata. Seperti lukisan.... 
.... 
Sampai akhirnya, sang Objek Lukisan sekonyong-konyong mendongakkan kepala. Mungkin ingin menatap langit. Sinar lampu jalan pun mendapati wajah cantik itu tepat di bawah sorotnya. Memberikan kejelasan pada air mata yang mengalir rapi.”

Scene itu ANEH BANGET. Secaraaa Dee bilang di awal, kalau mereka tuh tinggal di real estate mewah. Jarak antar rumah yang berseberangan aja (apalagi di perumahan mewah), sekitar, hmm, plus garasi ada lah  lebih dari 10 meter. Liat-liatan antar jendela dengan fokus mata sampe keliatan air matanya tuh nggak masuk akal. Banget.

Ck, saya sampe kesal kalau mikirin bagian dari buku itu.

Eh ada lagi. Ceritanya kan tokoh utama di sini, Ferre (kesatria), cinta mati sama Rana (Putri). Lalu si ksatria patah hati sama sang puteri dan memutuskan mati. Nggak jadi. Empat hari kemudian, si kesatria udah jatuh hati lagi sama perempuan lain. Gimana siii, katanya cinta matiii? Patah hatinya cetek bener cuma tiga hari.

Eh tapi, si kesatria ini kan udah sempat memutuskan bunuh diri ya pas ditinggal sang puteri. Doi diceritakan udah memasuki kesadaran antara ingin tetap hidup dan menyerah ingin mati. Kesadaran yang cuma dimiliki sama orang yang yang punya pengalaman nyaris bunuh diri. Jadi wajar aja sih, setelah kesadaran ingin hidup itu menang daripada keinginan mati maka dia lahir menjadi manusia baru. Patah hati bukan lagi jadi isu besar bagi orang yang telah menjalani pengalaman eksistensi antara hidup dan mati.

Jadi hal yang non-sense itu cuma satu deng, yang liat-liatan dari jendela padahal rumahnya berseberangan dan tinggal di real estate mewah.

Novel ini tetep dapat rating lumayan dari saya. Dibanding novel macam chicklit teenlit yang a la sinetron itu. Etapi chicklit teenlit ada pun masi alhamdulillah yah. Karena mereka lah anak muda bangsa terus berkeinginan berkarya (hingga suatu hari lahir masterpiece) dan dari mereka lah penerbit-penerbit buku tetap hidup.

Tuesday, August 07, 2012

Saya orang yang jarang membaca. Beruntung, karena sedang skripsi (iya, saya belum lulus), minat baca saya perlahan mulai tumbuh lagi (baca novel tapi, buku-buku yang menunjang kemajuan skipsi saya tidak tersentuh).

Buku yang baru-baru saya baca adalah Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh. Jilid pertama dari tetralogi Supernova karya Dewi Lestari. Membaca buku yang bagus sama seperti ada yang menekan tombol di otak saya. Imajinasi menari dan tak berhenti dalam putaran dansanya. Jadilah saya akan meracau seperti dalam postingan ini.

“Perlahan, Reuben mengangkat kedua tangannya, dan ia pun tercekat. Ternyata, dirinya pun diselimuti kabut itu. Fisiknya adalah gambar proyeksi semata. Dan, apabila ia mampu mengidentifikasi dirinya dengan pixel-pixel itu, bukan tubuh seorang pria bernama Reuben, maka berarti dirinya.. immortal.
 

Tidak ada awal dan akhir. Tidak ada sebab dan akibat. Tidak ada ruang dan waktu. Yang ada hanyalah Ada.”

Kalo mau diperdebatkan line tersebut ya bisa sih. Banyak kemungkinan. Mungkin maksudnya kita itu hakikinya adalah jiwa alias roh. Sedangkan raga itu, cuma, yah.. wujud jasad aja. Objek materiil. Namun kalo “tidak ada awal dan akhir. Tidak ada sebab dan akibat. Tidak ada ruang dan waktu. Yang ada hanyalah Ada” itu seperti... tidak mengenal Tuhan.

Briefly, kasian banget kalo alasan kita hadir di dunia ini hanya karena kita ada. Lalu berhenti sampai situ saja. Tak lagi ada pertanyaan mengapa kita ada. Percaya adanya Tuhan sebenarnya malah bisa menguatkan manusia untuk menghadapi apapun di dunia ini. Yah, karena dia tahu semuanya yang terlihat oleh mata sifatnya hanya materi di sini.

Lalu di manakah tempatnya jiwa/roh dan segala sesuatu yang lebih hakiki? Kalo memang di dunia ini hal-hal tersebut tidak terlihat (physically), bukankah berarti ada tempat lain untuk segala yang kasat mata sekarang?

Tuhan ada dimana-mana
Jaman sekarang, banyak orang berdalih atheis maupun monotheis karena nggak percaya sama konsep agama yang termanifestasi dalam wujud penyembahan alias ibadah. Beberapa percaya Tuhan ada dalam dirinya sendiri. Dalam balutan celana jeans. Makan sushi tei. Dalam bar-bar yang menyediakan minuman beralkohol.

Saya pikir Tuhan tidak berwujud objek saja. Dia semuanya. Dia ada ketika pria dan wanita bisa saling mencintai. Dia ada bagai telapak tangan dan punggungnya, semua yang berpasangan, wanita pria, baik buruk, jelek bagus, kaya miskin, semua itu menunjukkan adanya Tuhan.  Kita sebagai manusia yang cenderung menyukai keindahan menunjukkan adanya Tuhan.

Sedang yang dimaksud Tuhan ada di mana-mana, ya dia memang berada di mana saja. Termasuk di dalam bar-bar yang menyediakan alkohol. Ia ada ketika dalam hati kita ada keraguan untuk menenggak segelas dua gelas yang berujung sebotol dua botol.

Terus pernah nggak sih, kalo mau berbuat jelek/jahat, ada saja hal yang membuat kita enggan untuk melakukannya, semacam sanubari atau kebetulan terjadi di depan mata sehingga ada pertentangan dulu sebelum memutuskan melakukan hal jelek/jahat tersebut. Di sanalah Tuhan campur tangan.

Tuhan nggak peduli kita masuk surga atau tidak, tapi dia juga tidak membiarkan kita masuk neraka.

Saya pikir, Tuhan itu Pencipta paling baik sedunia (akhirat). Jangankan kita yang berbuat baik di dunia, yang terus-terusan berbuat dosa pun masih diurusin sama Tuhan.

“Dia telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah yang nyata” (An-Nahl (yang artinya lebah): 4)

Kalau di kepala saya tuh, bandinginnya kayak di film Lord of the Rings. Si Saruman menciptakan Orcs buat jadi hamba-hambanya, udah mana proses penciptaannya menjijikkan begitu (semacam dari lumpur berlendir, kasi api dikit, terus mereka muncul dari bejana). Kalo penciptaan manusia itu kan indah yah, pake cinta dua orang (yah kalo nggak pake cinta juga, at least proses mengandung 9 bulan dan melahirkan bayi itu sesuatu yang menakjubkan dalam arti positif).

Nah, Orcs ini kerjaan mereka di dunia kan nggak ada yang lain selain jadi pasukan si Saruman. Ngikutin order. Suruh jalan belok kanan, belok kanan (literally yah). Nggak ngapa-ngapain lagi deh.

Kalo kita, hmm yah punya order juga sih. Rukun islam dll. Tapi, di antaranya, boleh punya hobi dan menekuninya, menikahi pria/wanita yang kita suka, disuruh jalan-jalan melihat dunia, boleh memiliki barang apapun, melakukan profesi apapun, dll.

Tuhan yang Esa ini Maha Baik sejagadraya.

Thursday, August 18, 2011

Yang buat he-he-he.


Nikung tingkat dewa.

Sekretaris #1: "Eh, lagu di HP-mu bagus banget deh, mau dong!"
Karyawan: "Oh, boleh... pake bluetooth aja ya..."
Sekretaris #2: "Eh, gua juga mau! Jadi nomer HP kamu berapa?"
Karyawan: "..."
Kantor di Pluit, didengar oleh karyawan lain yang merasa sekretaris #2 cukup agresif.

Mungkin dia berselingkuh?

Ustad: "Jadi ayam itu hebat sekali. Selama mengerami telurnya dia berpuasa, bahkan dengan puasanya itu, dia bisa menetaskan anak itik dari telurnya..."

Senen, didengar oleh seseorang yang merasa ayam itu bagian dari sinetron.

Menggoda juga butuh data akurat.

Bapak: "Waduh, mbaknya cantik sekali ya, soleha seperti Revalina S. Tomat."
Penjaga Pom Bensin berjilbab: "..."
Anak: "Revalina S. Temat, Pa..."
Bapak: "Oh iya, itu. Abis pipinya merah seperti tomat..." (ngeles)
Penjaga Pom Bensin: "Makasih, pak..."
Bapak: "Kapan-kapan daftar aja casting, siapa tau bisa kaya dia di Perempuan Berkalung Korban."
Anak: "Grrrr..."
MT Haryono, didengar oleh si anak yang langsung ingin bersembunyi di dalam truk tangki.

Pasti mbak gak suka deh!

Pengunjung: "Mbak, saya pesen salmon maki-nya satu ya..."
Pelayan: "Iya, tapi itu mentah lho, mbak."
Pengunjung: "Iya, nggak apa-apa, mbak. Saya juga tau kok itu mentah."
Pelayan: "Tapi amis gitu, mbak!"
Pengunjung: "..."

Restoran Sushi di Jakarta, didengar oleh pengunjung yang merasa dia tidak akan dibolehkan makan ikan mentah.

Udah bingung, gak kenyang lagi.

Bapak: "Kenapa kok cemberut?"
Anak SD: "Tadi katanya ada santapan rohani di sekolah. Tapi isinya ceramah, gak ada makan-makannya."
Didengar oleh kakak yang langsung terpingkal-pingkal ngeloyor ke dapur.

101 buat ibu!

Anak: "Arti 'don't mention it' apa ya?"
Ibu: "Itu lho, anjing totol-totol."
Sebuah tempat les bahasa Inggris, didengar oleh ibu lain yang langsung berhenti ngerumpi buat ngakak.

Iya juga sih...

Penjual: "Permen karet, permen kareeeet! Beli permen gratis kaareeeet!"
KRL, didengar oleh penumpang yang ingin menjepret lidah si penjual.

Tapi akan dipikirkan lagi kok.

Polisi: "Siang pak, bapak telah melanggar lampu merah."
Pengendara motor: "Maaf, pak, saya buru-buru. Istri saya mau melahirkan."
Polisi: "Ya sudah, silahkan lanjutkan, semoga istri dan anak bapak selamat."
Pengendara motor: "Terima kasih, pak, saya akan ingat kebaikan bapak. Tapi saya gak janji kasih nama bapak untuk anak saya."
Lampu merah Pondok Bambu, didengar oleh pengendara lain yang ingin menjanjikan nama polisi ke anaknya supaya tidak ditilang.

Cari alasan yang lebih bener kenapa?

Di tempat karaoke,
Cowok: "Jangan gua deh, gua gak apal liriknya!"
Didengar oleh semua teman yang ingin menjejalkan mic ke mulut cowok itu.

Kalau kotor nanti ditilang!

Ibu: "Nak! Pake serbetnya! Itu banyak polisi!"
Dalam sebuah mobil di Sudirman, didengar adik kakak yang berpikir ibunya ingin menyuapi mereka lagi.

Panjang bisnya, panjang bisnya!

Ibu-ibu: "Bang, bisnya rame banget sih!"
Kenek: (muka lempeng) "Iya nih, bu, supirnya lagi ulang tahun."
Kopaja, didengar oleh penumpang lain yang ingin melempari kenek dengan telur mentah.

Apabila film Warkop berasal dari Hollywood.

Cowok #1: "Wah, rambut loe beruban!"
Cowok #2: "Emang, banyak banget! Tapi bulu ketek gua pirang. Mau liat?"

Plaza Senayan, didengar oleh cowok #1 yang ingin mendorong temannya dari eskalator.

Sungguh orang yang tidak beradab!

Cewek: "Aku paling sebel kalau ada orang pup di lift!"
Kedua teman: "Kentut maksud loe kan?"
Restoran di Pacific Place, didengar oleh kedua teman yang langsung guling-guling di bawah meja.

Cukup hebat samarannya.

Cowok: "... setelah tiga tahun, baru ketahuan dia itu perempuan."
Didengar oleh seseorang yang sedang lewat dan tiba-tiba tersandung.

Liat dong Miki dan Mini!

Cewek #1: "Kalau ada musang lewat, kan enak tuh, baunya kaya pandan."
Cewek #2: "Masa, emang musang itu kaya apa sih?"
Cewek #3: "Itu lhooo, moncongnya panjang, kaya tikus..."
Cewek #4: "Ihhh, bukaaan, musang kan kakinya empat!"
Karawaci, didengar oleh cewek #2 yang paling tidak masih tahu tikus berkaki berapa.

Keinginan pribadi paling dalam...

Di sebuah kolam renang,
Anak SMA: (sedang berenang, berteriak) "Papa, papa! Aku kaya anjing laut gak?"
Jakarta, didengar oleh pengunjung lain yang bingung apakah dia masuk ke Seaworld.

Macho dan berlipstik?

Progammer: "Tolong bikinin avatar default dong..."
Illustrator: "Kaya gimana avatarnya?"
Programmer: "Avatar orang gitu. Tapi dibikin bisexual ya..."
Kantor di Jakarta, didengar oleh designer lain yang merasa si programmer baru saja membuat sebuah pengakuan.

Mau ongkos pulang, dek?

Pembeli: "Bakso, mas, dua mangkok."
Penjual: "Iya mas... makan di sini?"
Pembeli: "Iya di sini, rumah gua jauh, mas..."

ITC Cempaka Mas, didengar oleh pelanggan lain yang merasa mendengar curhat.

Supaya tidak bikin penuh.

Petugas pintu TransJakarta: "Ya, yang Buncit, yang Buncit turun, hati-hati..."

Halte Buncit Indah, didengar oleh semua penumpang yang langsung mengecek perut mereka.

Kirain mau pake jengkol...

Pengunjung: "Bu, udah, bu... mau bayar..."
Pemilik warung: (siap mencatat) "Pake apa, mas?"
Pengunjung: "Pake duit, bu..."
Warung Tegal di belakang Mal Ambassador, didengar pengunjung lain yang ingin makan recehan.

Bisa buat TV juga kayanya...

Ibu-ibu: (setengah panik) "Mbaaaak, hape siapa yang ketinggalan iniiii?"
Karyawan: "Bu, itu remote AC, bukan hape..."
BUMN di Rawamangun, didengar karyawan lain yang langsung tiarap sembunyi di balik meja untuk tertawa.

Karena guru kencing... apa hayo?

Cewek: "Temenin gua ke kamar mandi dong... ah, jangan disitu, gua males kalo WC duduk, enakan yang WC berdiri!"
Didengar oleh temannya yang mulai curiga si cewek bukan seperti yang dia kira.

Saturday, August 28, 2010


Truman Capote, penulis Amerika era tahun 40-an merupakan sosok penulis yang istimewa. Selain karyanya, Capote terkenal karena kepribadiannya yang menarik. Kisah hidupnya telah diangkat ke layar lebar dalam film Capote (2005) dan Infamous (2006).

Novel lawas Breakfast at Tiffany’s diterbitkan kembali oleh Serambi. Sebagian besar khalayak mungkin terlebih dahulu mengenal Breakfast at Tiffany’s sebagai sebuah film. Melalui novelnya, penggemar Holly Golightly akan mendapat kisah yang tak kalah intim dan memikat.

Cerita dibuka dengan tokoh aku yang mengungkapkan hasratnya menulis tentang Holly yang sudah lama menghilang. Keinginan ini muncul setelah diceritakan bahwa ada ukiran kepala kayu yang mirip dengan Holly Golightly di Afrika dari sebuah foto.

Tokoh aku yang mengagumi Holly ini merupakan teman seapartemen Holly. Awal pertemuannya dengan Holly yakni ketika Holly yang sering kehilangan kunci membunyikan bel apartemen-apartemen tetangganya untuk dibukakan pintu. Aku yang berprofesi sebagai seorang penulis menuliskan deskripsi Holly Golightly dengan lugas. Diam-diam ia pun mencintai Holly.

Holly Golightly, seorang wanita muda misterius berjiwa bebas yang menjadi pujaan kaum pria kelas atas New York. Orang-orang mengenalnya sebagai ratu pesta, simpanan jutawan, dan sekaligus kaki tangan mafia. Namun, siapakah sesungguhnya dia? Apakah yang dicarinya? Cinta atau harta?


Ternyata sisi lain Holly tidak seglamor kehidupan sehari-harinya. Holly adalah seorang wanita muda yang masa kecilnya tidak bahagia, menikah di usia 14, dan pindah dari Texas ke New York. Hal tersebut terungkap ketika Doc Golightly, suami Holly datang ke New York untuk meminta Holly kembali ke Texas. Namun Holly menolaknya dengan alasan pernikahannya di usia 14 tahun tidaklah sah.

Holly yang naïf akhirnya berurusan dengan polisi karena terlibat dengan mafia narkoba. Tanpa disadarinya, ia menjadi perantara berita antara kepala mafia yang di penjara Sing Sing dengan anak buahnya. Holly mengunjungi mafia tersebut di penjara setiap hari Kamis dengan bayaran seratus dolar tiap kunjungannya. Holly harus melaporkan kunjungannya melalui kode pesan berupa laporan cuaca seperti ‘ada badai di Kuba’ dan ‘salju turun di Palermo’. Holly berpikir hal tersebut benar-benar hanya sebuah pesan. Akibatnya, rencana pernikahan Holly dengan pria terkaya di dunia di Brazil menjadi batal. Calon suaminya sedang memulai karier di bidang politik, dan tidak mau menerima Holly yang sudah memiliki catatan kriminal.

Satu alasan mengapa sosok Holly Golightly begitu banyak menginsipirasi wanita adalah karena inti pada kisah ini terletak pada keinginan Holly Golightly untuk mencari tempat dimana ia merasa aman dan senyaman di toko perhiasan Tiffany.

Penuturan orang ketiga sebagaimana yang dilakukan buku ini dalam menceritakan Holly Golightly terjalin dengan apik. Ia menceritakan karakter Holly dengan lugas. Capote mampu memainkan bahasa dengan berirama sehingga pembaca enak mengikuti jalan cerita sampai selesai. Fakta Holly Golightly diungkap satu demi satu dan pada akhirnya pembaca selalu merasa terkesan dengan sosok Golightly yang eksentrik. Selain itu, tokoh yang dimunculkan dalam novel ini pun tidak banyak. Cerita terfokus pada Holly sehingga seolah-olah Truman sedang bercerita pada kita seorang gadis yang dikenalnya.

Mungkin penggemar film Breakfast at Tiffany’s yang menyukai cerita happy ending di film akan sedikit kecewa dengan akhir cerita asli yang menggantung di novel ini. Happy ending di film yang menginspirasi semua wanita untuk berhujan ria dengan pria tampan bermata biru dan kucing jalanan itu tidak sama adanya dengan yang tertulis di buku.

Tidak bisa tidak, selesai membaca buku ini pun, saya masih sempat memejamkan mata untuk menyelidik kembali Holly Golightly yang tinggi langsing mengenakan gaun hitam dan pipa rokok panjang. Sosok Holly Golightly disebut-sebut sebagai salah satu tokoh fiksi berpengaruh. Sepertinya anggapan itu tidak berlebihan mengingat tokoh Holly Golightly begitu mudah dicintai semua orang, sebuah citra wanita muda yang naïf, berantakan, cerdas sekaligus misterius.

Monday, July 12, 2010


Ryan : Er...Kara mentioned that you were having some thoughts.

Jim : I don't think I'm going to be able to er... to do this.

Ryan : Why would you say that...today?

Jim : Well, last night I was kinda laying in bed and I couldn't get to sleep. So I started thinking about the wedding and the ceremony, and about our buying a house and moving in together. And having a kid, and having another kid and then Christmas and Thanksgiving and spring break. Going to football games, and then all of a sudden they're graduating. They're getting jobs, getting married. And, you know, I'm a grandparent. And then I'm retired. I'm losing my hair, I'm getting fat. And then the next thing you know I'm dead. I'm just, like...I can't stop from thinking, what's the point? I mean, what is the point?

Ryan : The point?

Jim : What am I starting here?

Ryan : Jim, it's...marriage. It's one of the most beautiful things on earth. It's what people aspire to.

Jim : You never got married.

Ryan : That's true.

Jim : I mean, you never even tried.

Ryan : Well, it's hard to define try.

Jim : I don't know, just you seem happier than all my married friends.

Ryan : Look, Jim, I'm not going to lie to you. Marriage can be a pain in the ass. And you're right. This all is just stuff that leads to your eventual demise.

Jim : Yes.

Ryan : And we're all on running clocks. And they can't be slowed down or paused. And...we all end up in the same place.

Jim : yeah.

Ryan : There is no point.

Jim : There is no point. That's what I'm saying.

Ryan : You know, er... I'm not normally the guy you would talk to about stuff like this. If you think about it... your favourite memories, the most important moments in your life. Were you alone?

Jim : No, I guess not.

Ryan : Come to think of it, last night, the night before your wedding when all this shit is swirling around in your head, weren't you guys in separate bedrooms?

Jim : Yeah, Julie went back to the apartment and I was just by myself in the honeymoon suite.

Ryan : Kinda lonely, huh?

Jim : Yes, it was pretty lonely.

Ryan : Life's better with company.

Jim : Yeah...

Ryan : Everybody needs a co-pilot.

Tuesday, March 16, 2010

I wrote this for something.. but something, it never came. Waktu itu Februari yang ribet. Tanggal 15 ngurusin foto, 16 Placebo, 17 packing (ugh!), 18 pindahan, 19 launching kuliah (lagi). Bener-bener deh.. jadinya saya baru bisa nulis setelah tanggal itu. udah telat, tulisan jelek, foto nge-blur.. tapi saya nulis sepenuh hati loh. Menyenangkan rasanya. Anggap saja, ini dari fans untuk fans =)

--

Placebo Sukses Menyihir Penonton


SUPER! Hanya itu komentar saya apabila ditanya teman tentang konser Placebo 16 Februari lalu. Sebagai salah satu dari penggemar Placebo, konser Placebo yang bertempat di Tennis Indoor Senayan lalu merupakan konser yang sudah lama saya nantikan. Saya datang ke venue pukul 5 sore dan antrian mulai terlihat pada pukul setengah enam sore.

Selama mengantri (sendirian) saya mendengar percakapan fans Placebo yang berasal dari Bandung. Hal tersebut dapat saya ketahui dari bahasa Sunda yang mereka gunakan. Yang cukup mengejutkan, ternyata ada juga fans yang berasal dari Surabaya dan menginap semalam di hotel demi melihat konser Placebo. Wah, saat mengantri saja saya jadi begitu bersemangat.

Konser malam itu dibuka dengan penampilan DJ Electronic Groove. DJ tersebut cukup sukses memanaskan penonton selama beberapa menit. Hingga akhirnya penonton terlihat mulai tidak sabar untuk menonton pertunjukan sesungguhnya malam itu. DJ berakhir, kru Placebo yang terdiri dari bule-bule memasuki panggung, menyiapkan set untuk Placebo. Saat itu pukul 20.15, tak lama drummer Steve Forrest, bassis/gitaris Stefan Olsdal, dan vokalis/gitaris Brian Molko satu persatu muncul ke panggung diiringi dengan additional players. Intro For What It’s Worth mengalir. Penonton mulai histeris.

Molko tampil simple dengan busana hitamnya sedangkan Olsdal memakai kemeja hitam dipadukan dengan celana silver ketat. Steve Forrest tampil cuek dengan kaos lengan buntung yang memamerkan tato di tubuhnya. Placebo memakai tiga orang sebagai additional players dan yang paling menonjol adalah seorang wanita cantik multi-instrumentalist yang berbusana putih.

Lagu For What It’s Worth sangat cocok menjadi lagu pertama dalam setlist. Intronya yang menghentak dengan beat yang membuat penonton tidak dapat menahan diri untuk bergoyang. Ya, penonton malam itu begitu ekspresif. Suasana Tennis Indoor yang terisi 80% dari kapasitasnya menjadi meriah. Stefan Olsdal terlihat beberapa kali tersenyum melihat crowd yang bersemangat.

Setelah For What It’s Worth, setlist yang memacu adrenalin penonton pun dimainkan tanpa jeda. Ashtray Heart, Battle For The Sun, Soul Mates, Speak In Tounges, Cops, Every You Every Me, Special Needs, Breath Underwater, Julien, Neverending Why, Come Undone, Devil In The Details, Meds, Song To Say Goodbye, Special K, sampai Bitter End. Dari 21 lagu yang dimainkan terdapat 10 di antaranya berasal dari album teranyar Battle For The Sun. Mungkin fans yang berharap lagu favoritnya dari album Without You I'm Nothing dimainkan, sedikit kecewa dengan setlist malam itu. Tapi semuanya dapat terobati dengan lagu-lagu hits dari album Black Market Music dan Sleeping With Ghosts yang dimainkan dengan bersih dan berenergi .

Satu hal yang sangat menonjol malam itu, selain penampilan Placebo sendiri, adalah kualitas sound-nya. Sangat jempolan. Semua elemen mulai dari gitar, biola, keyboard, drum, bass, hingga vokal terdengar begitu jernih, nyaring tanpa gangguan.

Sebelumnya, promoter Java Musikindo, Adrie Subono, telah mempromosikan kecanggihan konser Placebo melalui jejaring sosial Twitter. Dikatakan bahwa Placebo membawa kargo seberat 7 ton untuk sound system. Memang, Placebo adalah band yang sangat memperhatikan kualitas sound.

Konser Placebo menjadi luar biasa didukung dengan panggung berukuran 18 x 10 m dengan tata lampu yang fenomenal sebesar 250 ribu watt dan sound system sebesar 60 ribu watt. Belum lagi layar besar berisi klip-klip yang menguatkan kesan tiap lagu.

Placebo mempertunjukkan penampilan yang all-out. Molko maupun Olsdal seringkali berganti gitar di tiap lagu. Meski minim interaksi, nyatanya sihir Molko cs. ampuh membius penonton hingga terbawa dalam Placeboworld. Setelah Bitter End selesai dimainkan, anggota Placebo pergi meninggalkan panggung. Trik klasik dalam konser. Penonton pun bersahut-sahutan berteriak “we want more..we want more”.

Molko cs kembali muncul di panggung. Bright Lights menggebrak. Penonton kembali semarak. Molko cs. terlihat lebih rileks. Terdapat 4 buah lagu yang dinyanyikan sebagai encore, yakni Bright Lights, Trigger Happy, Infra-red, dan Taste In Men. Pemilihan lagu Taste In Men sebagai penutup konser benar-benar brilian. Wanita cantik multi-instrumentalist yang menjadi additional player Placebo memainkan alat musik theramin yang benar-benar hanya digunakan untuk lagu Taste In Men. Lagu tersebut melekatkan kesempurnaan konser malam itu sehingga mencapai klimaks.

Molko cs. melakukan penghormatan trakhir kepada penonton yang hadir di Tennis Indoor Senayan malam itu. Steve Forrest membuka dan melemparkan kausnya ke arah penonton. 21 lagu 115 menit. Berakhir sudah malam magis bersama Placebo diiringi dengan tepuk tangan meriah dan wajah puas penonton sekaligus hati yang sedih karena konser spektakuler itu telah berakhir.

Really a great concert this year =)

Wednesday, February 10, 2010

Saya selalu suka majalah. Unsur-unsur yang membentuk majalah mulai dari kertas, konten, grafis, tipografi, layout, foto, kesemuanya menjadi sesuatu yang menarik banget bagi saya. Meskipun belum terbilang magazines-freak, saya ingin membahas majalah-majalah yang beredar di tukang majalah di sekitar kita.

Spot favorit saya untuk berkenalan dan bermesraan dengan majalah-majalah lama maupun baru adalah BSD Plaza. Tepatnya Gunung Agung BSD Plaza. Maklum, dekat dari rumah. Nggak mungkin juga kan saya pergi ke Senayan City cuma buat nyari majalah. Lagian, saya bukan fashionista yang punya hasrat untuk show off dengan pergi ke mall. Hehe.

Di sana biasanya saya memandangi mereka (majalah-majalah itu) satu-persatu. Seperti yang saya lakukan sekitar tiga hari yang lalu. saya kemudian bingung. Tampak muka mereka semua amat menarik. Rasanya saya ingin membawa empat rak majalah tersebut ke kasir, tapi nggak tahu bayarnya pake apa. Akhirnya saya melakukan seleksi ketat. Majalah yang sudah dibuka atau dapat dibuka saya skimming di tempat. Ternyata, banyak yang kontennya tidak semenarik tampak mukanya.

Isinya keliatan banget nyomot internet atau isu-isu yang dibahas sudah basi dan menurut saya nggak penting, misalnya Mary Kate Olsen baru aja beli anjing pudel seharga 10.000 USD hanya itu. Sungguh. Hanya itu. Sisanya foto si Mary Kate yang juga diambil dari internet (tanpa anjing pudelnya) yang lebih besar dari tulisannya. Gubrak.

Saya juga baca, ada majalah baru (lupa judulnya apa), pas saya skimming, ada artikel si majalah anak bawang itu yang membahas “citizen journalism, setuju atau tidak?”. Dalam hati saya, widih, boleh juga nih majalah baru punya semangat menjalankan jurnalisme yang benar. Lalu di halaman selanjutnya ternyata ada artikel mengenai Dewi Lestari, “Luna Bukan Kopaja”. Ada foto Dewi Lestari dengan gaya penulisan yang pribadi seolah-olah Dee menulis untuk majalah tersebut sepanjang dua halaman. Di akhir tulisan, majalah tersebut menulis begini, “sebagian dikutip dari http://dee-idea.blogspot.com”

Apanya yang sebagian dikutip haa??!!! Itu sih 99% emang dari blognya Dewi Lestari. Kebetulan sehari sebelumnya saya membaca tulisan Dewi Lestari di blognya tersebut sehingga masih segar di ingatan saya. Judul maupun isi tulisan di blog maupun di majalah tersebut benar-benar persis sama. Kayaknya pihak si majalah cuma nulis tiga baris sebagai pembuka. Kenapa mereka tidak nulis, “sebagian BESAR dikutip dari http://dee-idea.blogspot.com”, atau nggak langsung aja “sumber: http://dee-idea.blogspot.com”. Ya, ya, baiklah.

Banyak majalah wanita yang isinya 70% tentang fashion, bahkan 65% foto-foto baju dengan dandanan yang match. Sah-sah saja. Saya juga suka kok ngeliatinnya. Bisa jadi inspirasi juga dalam berpakaian. Hanya saja, sayang banget kalo beli majalah yang (paling lama) dalam waktu 15 menit sudah bisa khatam bacanya, mulai dari halaman pertama sampai terakhir. Tipe majalah seperti ini saya baca di tempat saja.

Dulu, saya suka beli majalah Trax karena tertarik dengan gayanya yang minimalis, kontennya pun lumayan. Lama-kelamaan ko artikelnya boring banget yah. Kayak nggak baca apa-apa, nggak ada isinya. Yang masih bagus cuma review albumnya aja, sisanya sampah. Akhirnya saya berhenti membeli majalah tersebut. Ternyata, di edisi terakhir saya beli majalah Trax, ada surat pembacanya yang mengeluhkan hal yang saya rasakan. Majalah Trax sekarang isinya boring nggak kaya dulu. Mengalami penurunan kualitas lah, so sad. Mungkin majalah tersebut sekarang udah bagusan kali yah. Tapi saya telanjur ilfeel meski kovernya sebagus apapun.


The Fabulous Five

Info Serpong (kanan bawah) majalah gratis yang rutin dateng ke rumah

Saya beli lima majalah dua minggu terakhir ini; Hai, Tempo, Concept, Total Film, dan Rolling Stone.

Hai. Saya tertarik dengan cewek cantik yang menjadi kover majalah Hai edisi minggu terakhir Januari. Ya ya selain cowok ganteng jadi kover majalah saya juga suka cewek cantik. Intinya, saya suka keindahan mau itu cowok atau cewek. Terlebih Hai memakai konsep warna-warni yang keluar dari bordernya bahwa Hai itu majalah pria. Wew, menarik. Jaman sudah berubah. Persaingan makin ketat. Industri media makin kreatif dan tidak berpegang pada pakem-pakem tradisional. Secara konten, Hai belum banyak berubah dari jaman saya SMP. Rubrik yang menarik buat saya adalah dear superstar di mana para pembaca bisa mengirim pertanyaan yang akan dijawab oleh artis idolanya. Artis idola biasanya bergantian dan diberi tahu di edisi sebelumnya. Poin menariknya adalah pertanyaan pembaca (yang mana poin-poin yang ingin diketahui pembaca) mengenai artis idolanya sangat tidak biasa. Sedangkan apabila jurnalis beneran yang bertanya pasti akan penuh dengan pertanyaan standar dan klise seperti bagaimana proses bisa jadi terkenal, terpengaruh siapa, harapan ke depannya, blablablabla..

Tempo. Biasanya saya nggak pernah beli majalah ini kecuali karena ada tugas kuliah yang sumbernya dari feature majalah Tempo. Sudah tidak perlu diragukan kapasitas Tempo dalam menyuarakan informasi yang berbobot kepada masyarakat bangsa ini. Sudah berimbangkah? Kalo itu nggak ngerti hehe. Oh ya, majalah Tempo juga nyetak English version-nya. Baguslah, kali aja bisa bikin franchise di luar negeri. Bosen majalah franchise luar mulu yang masuk dalam negri. Saya beli majalah Tempo edisi Februari hanya karena ada isu pemenang foto berita terbaik. Bagus-bagus deh. Dan feature yang saya baca hanya sepak terjang Baekuni alias Babe. Itu loh, Robot Gedek versi 2. Sisanya.. I don’t give a damn about politics.

Concept. ini majalah desain grafis. Saya tuh nggak ngerti sama sekali sama dunia grafis. Dan juga bukan orang yang artsy. Ini kenapa beli majalah ini alasannya simpel, penasaran. Bahan kertas untuk kovernya sungguh nggak biasa. Dan make konsep silver gitu, saya jadi ingin melihat lebih dari sekedar luarnya. Saya belilah dan setelah saya buka dalamnya, tetap aja nggak ngerti. Penuh gambar-gambar keren. Tapi tetap aja, saya nggak ngerti. Bukan duniaku jadinya sampe sekarang belum dibaca deh.

Total Film. ini majalah franchise yang baru masuk Indonesia. Masih harga promosi (itu juga yang menjadi alasan saya untuk membelinya hehe). Tadinya bingung antara Cinemagz atau Total Film. Ah tapi kalo Cinemagz udah pernah tau, Total Film belum. Ternyata isinya padat banget. Hanya saja, saya merasa nuansa franchise magz-nya terlalu terasa. Tahu kan kalau kita nonton film luar lalu kita baca subtitle-nya kadang dialog film tersebut jadi aneh. Nah, begitulah Total Film. Mungkin masih banyak bagian yang harus dilokalkan. Persentasi penggunaan bahasa inggris di majalah ini masih banyak, sekitar 20%. Tapi saya nggak merasa rugi kok beli majalah ini ;) bahan kertas untuk kover depan maupun back cover juga ciamik. Wow, keren abis!

Rolling Stone. Majalah dewa. Hehehe. RS benar-benar majalah yang mempertahankan kelanggengan konsepnya yang klasik. Perhatiin deh, dari jaman band Rolling Stones atau Axl Rose masih berjaya tampak muka majalah ini tidak banyak berubah. Begtu pula tampilan dalamnya. Kayak produk Yakult yang nggak pernah ganti kemasan tapi tetap dicari orang. wow keren banget. Tanya kenapa?

RS menjual eksklusivitas. Ya, benar. Sesuatu yang mahal banget. Eksklusivitas berarti tidak ditemukan di tempat lain. Hal itu yang menjadi daya jual majalah RS sejak dulu hingga kini. Semua artikel mereka merupakan liputan lapangan. Awal membaca majalah ini, saya agak bingung dengan penulisan mereka yang seringkali terdapat kata tempat seperti, “Sheila malam itu sangat gelisah dan terus terjaga hingga pukul 5 dini hari di kamar hotel”. Lha, ini emangnya fiksi yah.. ko doi ada di kamar hotel si artis tengah malam.

Setelah nonton film Almost Famous, barulah saya mengerti bahwa kinerja majalah RS memang seperti itu. Mereka sebelum menulis feature tentang si artis/band, akan mengikuti si artis/band tersebut beberapa hari atau minggu bahkan berbulan-bulan. Itulah mengapa jawaban-jawaban si narasumber begitu intim. Bahkan setelah tulisan si wartawan jadi, masih ada tim pemeriksa fakta yang akan mengecek kebenaran tulisan si wartawan dengan menelepon si artis/band tersebut. Menanyakan apakah benar kejadian tersebut terjadi di sana, apa kutipan-kutipan tersebut benar adanya, dan sebagainya. Tidak heran dengan profesionalitas setinggi itu, si artis yang terpilih menjadi bahan tulisan RS merasa mendapat penghargaan/kehormatan lebih dibanding masuk media manapun.

RS Indonesia pun di mata saya masih menjadi majalah musik paling prestisius di banding yang lain. Oh ya, sudah agak lama ini RS Indonesia juga menambahkan rubrik politik “National Affairs” yang bisa ditebak siapa arsiteknya, Andy F. Noya. Ia kayaknya ada bagian megang saham RS (atau owner mungkin, ah entahlah). Tidak disangka rubrik politik ini banyak juga yang suka hehe.

Ada seorang wartawan RS Indonesia, namanya Soleh Solihun, yang ternyata merupakan alumni Jurnalistik Universitas Padjadjaran. Ia selalu menulis feature dengan gaya yang berbeda dibanding jurnalis lain. Kekuatan tulisannya terletak dari judul dan penulisan lead yang menohok. Pernah saya mencoba menebak tulisan-siapa-ini dengan membaca judulnya saja mulai dari halaman awal hingga akhir majalah RS tanpa liat kredit penulisnya. Ternyata saya bisa menebak tulisan Soleh hanya dengan melihat judulnya. Ya, karena hanya ia yang menulis judul dengan gaya yang menyentil. Denger-denger sih, kuliah jurnalistiknya lama banged, sampe tujuh tahun hehe.

Well, segitu aja yang saya mau bagi kali ini. Mohon maaf kalo banyak yang salah dan banyak yang harus dikoreksi. Kritikan saya terhadap majalah-majalah yang beredar di Indonesia bukan bermaksud negatif. Saya tidak lebih pintar dari mereka dan sedikit tahu bagaimana cara kerja jurnalis. Sebenarnya copy-paste internet itu terjadi hanya karena satu alasan; malas. Mungkin ada yang menyanggahnya dengan kata deadline. Well, waktu sesempit apapun pasti bisa dipergunakan untuk mengolah isi otak menjadi bentuk tulisan. Saya juga masih banyak banget malasnya. Mungkin suatu saat saya akan menulis tentang kemalasan saya supaya lebih malu sama diri sendiri. Hehe.

Friday, December 11, 2009

Siapa sih orang Indonesia yang gak tahu Pertamina? Pertamina sebagai satu-satunya BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang menguasai sektor migas sebagai kebutuhan energi bangsa ini tercatat telah memiliki sekitar 4465 SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum). Selain BBM, Pertamina juga mengeluarkan berbagai produk bahan bakar lain seperti LPG (Liqueified Petroleum Gas), Bahan Bakar Khusus (BBK), maupun produk pelumas yang sudah mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia.

Perjalanan panjang selama setengah abad lebih atau tepatnya 52 tahun telah dilewati Pertamina untuk menjadi sebesar sekarang. Merupakan hasil merger dari PN Pertamin dan PN Permina tahun 1968, masalah yang dihadapi Pertamina kian kompleks mengikuti perkembangan jaman dan gejolak tanah air yang tidak pernah berhenti. Ya, masih ada perjalanan panjang di depan mata yang harus dilewati. Untuk memulainya, tentu harus dengan langkah pertama.

“Pasti Pas”?
Meski diisukan pernah menjadi perusahaan negara yang kontoversi dengan politisasi elit, Pertamina yang telah bertransformasi menjadi perusahaan perseroan tahun 2006 kemarin, berusaha untuk melangkah menjadi perusahaan yang dapat dibanggakan oleh bangsa Indonesia. Langkah pertama yang dilakukan Pertamina dalam transformasinya adalah menciptakan slogan/logo SPBU Pertamina “Pasti Pas”.

Dengan slogan/logo tersebut, Pertamina menjamin tidak ada kecurangan dalam takaran pengisian bahan bakar kendaraan (pas). Slogan “Pasti Pas” juga dapat mengandung arti bahwa produk Pertamina lah yang paling pas untuk para konsumennya. Sayangnya, belum semua SPBU Pertamina berlogo “Pasti Pas”. Dan SPBU yang berlogo “Pasti Pas” pun ternyata belum pasti pas. Mungkin tidak diragukan lagi ke-“pas”-an SPBU yang berada di kota-kota besar dan mudah dilakukan pengawasannya oleh pusat. Namun, beda halnya dengan SPBU “Pasti Pas” yang lokasinya jauh dari pengawasan pusat dan kebanyakan berada di daerah-daerah.

Saya memiliki pengalaman pribadi akan hal tersebut. Saya dan keluarga yang gemar melakukan traveling di kala liburan panjang, sering melakukan perjalanan luar kota bahkan luar pulau Jawa. Di saat itulah, keberadaan SPBU Pertamina terasa bagai kebutuhan pokok bagi kami. Kami sering menemukan SPBU yang tidak berlogo “Pasti Pas”. Jangankan berlogo “Pasti Pas”, fasilitas umum seperti mushola saja tidak ada atau kalaupun ada, keadaannya sangat tidak terawat.

Ketika melakukan road trip tahun 2008, pernah juga kami kesulitan menemukan SPBU di daerah Majenang sampai Wangon, yakni arah menuju Purwokerto, Jawa Tengah. Setelah cemas puluhan kilometer karena ketiadaan pom bensin, akhirnya kami menemukan SPBU Pertamina. Namun, ternyata tidak ada premium sama sekali. Habis. Padahal saat itu masih siang. Petugasnya berkata bahwa pasokan BBM belum sampai.

Kami yang meninggalkan SPBU tersebut dengan rasa kecewa, akhirnya membeli bensin eceran di warga sekitar. Hal ini tentu masih menjadi PR (Pekerjaan Rumah) untuk Pertamina, yakni masalah pendistribusian, sebagaimana masih sering menjadi berita-berita hangat di televisi hingga sekarang. Keadaan SPBU di daerah-daerah pun terkesan kurang terawat, tidak semegah yang biasanya saya temukan di kota-kota besar dan juga tidak ada slogan “Pasti Pas” di SPBU-SPBU tersebut. Bukankah seseorang maupun instansi yang profesional akan bersikap profesional di mana pun ia berada, sekalipun dalam situasi yang kurang menguntungkan?

Kerja Keras Adalah Energi Kita
Di luar kekurangannya, Pertamina juga telah mengukir berbagai prestasi. Seperti konversi minyak tanah menjadi LPG yang banyak menuai pro dan kontra. Secara pribadi, saya sangat mendukung program ini, terlebih apabila tidak dibarengi dengan kelangkaan LPG itu sendiri. Pertamina juga telah mengeluarkan produk Bio Solar dan Bio Pertamax yang ramah lingkungan. Saya harap akan menyusul produk-produk ramah lingkungan yang lain, terutama untuk bensin ramah lingkungan dengan harga yang terjangkau.

Visi Pertamina “to be a world class national oil company” menunjukkan kemauan Pertamina untuk maju ke arah positif. Memang, tidak akan mudah dalam mencapai visi tersebut. Dilihat dari kualitas produknya, produk Pertamina tidak kalah dengan produk-produk asing yang telah berlaga dalam kancah internasional. Kabar baik juga sudah terhembus dengan mengantongi sertifikasi internasional dari American Petroleum Institute (API), Japanese Automobile Standard Organization (JASO), dan sebagainya.

Namun, mungkin dalam manajemennya, masih banyak yang perlu dibenahi. Pertamina harus banyak belajar terhadap perusahaan-perusahaan migas asing yang telah mempunyai nama dan dikenal masyarakat dunia. Hingga pada akhirnya pengelolaan Pertamina bisa sepenuhnya dipegang oleh anak bangsa. Begitu banyak orang cerdas di negeri ini hingga kita tidak perlu merasa kurang percaya diri dalam mengelola aset negeri sendiri.

Jangan pernah terlalu lelah untuk berbenah diri menjadi lebih baik. Kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia pun harus terus memberi dukungan, use local products. Hingga selain menjadi tuan di negeri sendiri, Pertamina juga dapat mengharumkan nama bangsa. Semakin tinggi mimpi maka usaha yang dibutuhkan harus lebih tinggi dari mimpi tersebut. Oleh karenanya, kerja keraslah yang menjadi energi untuk menggapai itu semua. Maju terus Pertamina!

Wednesday, November 18, 2009

Setelah panik dan muncul pikiran-pikiran negatif sama si canon hingga terpikir untuk beralih ke brand lain. Saya dikasih pencerahan sama si Koh Morce kalo semua brand pasti ada penyakitnya. Mau itu canon, Nikon, sony, dan sebagainya. Sama saja.

Canon error 99, bagi canonian yang pernah/sedang mengalaminya, nih ada info. Kalo kata saya sih, cukup melegakan secara sebelumnya info-info yang saya dapat dari googling banyak ngga benernya. Yea. Banyak orang sok tahu di luar sana.

Emang. Ni artikel panjang banget tapi si penulisnya punya gaya menulis yang cukup asik, imho. Mencret, mencret deh loe.

Canon's Error 99: the Man, the Myth

Posted 2008.12.31
NOTE: This article was updated in April of 09 after Mark at Precision Camera, our favorite repair shop, provided us with some additional information.
This is probably the most boring article I’ve written for LensRentals. (Personally, I like Smashed Front Element the best.) But, I love a good mystery, and I love debunking DSLR “urban legends”. Every so often I run across an online forum where someone makes broad statements about Error 99 which I know are incorrect or at least incomplete. As is my practice, I’ve boldly charged into these online gunfights devoid of intellectual ammunition (i.e. facts). And predictably, the intellectual level of the discussions quickly spirals down from “Is not”, “Is so” into the traditional online-forum sign-offs of “You get Err99 because you’re a bad photographer” and “if you’ve never gotten Err99 you’re obviously not taking many pictures”.
Because Canon Corporate apparently believes that releasing no information about a problem makes it go away, there is little factual information to debunk the online myths regarding Err99 unless you really do a lot of digging. Googling Err99, Canon EOS error codes, etc. brings up several dozen pages of links most of which are the above mentioned “discussions”. There are a few nuggets of truth out there, though. The most complete of these is a multi-year 2,300 post discussion of Err99 problems at Richard’s Notes. There are also a few thoughtful and factual discussions that have taken place in some of the better forums online. After spending far more hours than I intended looking through these sources to settle an online debate, I thought I’d write a summary of what I found and what we’ve experienced here— LensRentals has over 700 Canon lenses and over 50 Canon bodies, so we have a bit of Err99 experience.

The Myths

Some of the most common Err99 myths are listed below. Strictly speaking, they are not myths; almost every one is true. The myth part comes from thinking that any one of them is actually the cause of Err99. So:
  • Err99 results from an electronic communication problem between the lens and the camera.
  • Err99 results from using third-party (i.e. Sigma, Tamron, Tokina) lenses.
  • Err99 means that electronic circuitry in the lens has failed.
  • Err99 means that electronic circuitry in the camera has failed.
  • Err99 results from using third party batteries.
  • Err99 is a firmware issue, and can be fixed by upgrading to the latest firmware.
  • Err99 started with Canon XT and 20D cameras.
There are a lot more. Almost all of them are true for at least some cases of Err99. The best myth, though, is that Canon purposely created error 99 to prevent the use of third party lenses. As best I can tell, that one isn’t really true, but it does make fun speculation. And, of course, Canon’s nearly total silence on error 99 and other problems certainly helps feed the conspiracy theorists among us.

A Brief History of Error 99

Canon no longer officially comments on Err codes, but if we go back to the golden days when they did, we can unravel a lot of the Err99 mystery almost immediately. Back in 2000 Canon released its first mainstream DSLR, the 3.1 megapixel D30. The manual contained a helpful list of the camera’s built in error codes:
  • ERR 09: System Error. This error occurs when the EOS D30’s self-checking system processing time has exceeded the specified limit.
  • ERR 22: CF DRIVER. Data cannot be written to the CF card for some reason or another.
  • ERR 23: NO SPACE LEFT ON THE CF CARD. Space remaining is smaller than needed to complete the write operation.
  • ERR 50: CF FORMAT. The CF card cannot be formatted in the camera.
  • ERR 51: PLAY MODE. The CF card cannot be played back in the camera.
  • ERR 80: SHUTTER. The shutter operation sequence has not been completed correctly.
  • ERR 81: MIRROR. Mirror up/down status cannot be detected during shutter release.
  • ERR 82: STROBE. The built-in flash cannot be charged.
  • ERR 83: POP UP. The built-in flash’s pop-up operation cannot be detected.
  • ERR 84: LENS COMMMUNICATION. Electronic communication with the lens cannot be established, or the aperture diaphragm cannot be controlled.
In 2002, the D60 was released. It had a reduced set of error codes:
  • ERR 01: LENS COMMMUNICATION. Electronic communication with the lens cannot be established, or the aperture diaphragm cannot be controlled.
  • ERR 02: CF DRIVER. Data cannot be written to the CF card.
  • ERR 04: NO SPACE LEFT ON THE CF CARD. Space remaining is smaller than needed to complete the write operation.
  • ERR 05: POP UP. The built-in flash’s pop-up operation cannot be detected.
  • ERR 99: SYSTEM ERROR. There is an internal malfunction detected during the camera’s self-checking procedure which is executed before every attempted exposure.
Key point: Error 99 is a catch-all which can mean almost anything went wrong.
As far as we can tell, the Canon error codes have remained the same through the 50D and 5DMkII camera bodies, at least nominally. The more recent bodies have added an Err 06 code for ‘sensor cleaning unit malfunction’, and there are now ERR 10, 20, 30, 40 . . . 80 codes on 5D Mk II cameras (with the useful message ‘Shooting is not possible’. Duh!). Also some more recent manuals now define ERR99 as “an error other than one of the above (ERR1-ERR06)” has occurred. The only semi-official statement from Canon in recent years is one from Chuck Westfall in TheDigitalJournalist saying “[ERR99] is a non-specific error code which can be caused by a wide range of malfunctions. … a variety of problems can be caused by the use of non-Canon accessories such as lenses, memory cards, battery packs, electronic flash units, etc.”

Now, Let’s Speculate

We know from the above that the ERR99 code has existed since the D60, but most of the current ERR99 online discussion and speculation started around 2003-2004. A large part of this is for obvious reasons: the number of Canon SLRs in service exploded around 2003 and 2004 with the introduction of the Digital Rebel and the 20D cameras. There are some other factors that may have contributed to the marked increase in ERR99 reports around this time. Several changes that occurred, but probably did not have much to do with the ERR99 increase include:
  • The EF-S lens mount was introduced in 2003 with the Digital Rebel.
  • Canon flash systems changed to E-TTL II in 2004. E-TTL-II largely incorporates a change in the flash calculations done in the camera body and communicated to the flash unit through the hot shoe. (Some people state ERR99 problems involving flashes have only occurred since this change, but these are rare at any rate.)
  • In 2003 Canon increased the number of autofocus points in prosumer cameras from 3 to 7 (10D) and again to 9 in 2004 (20D).
  • The Digic image processing chip was introduced in prosumer cameras in 2003, and the more powerful Digic II in 2004 with the 20D and Rebel XT.
There are a few changes, however, that logic suggests might have had some causative effect on ERR 99 messages.

Lens-to-Camera Electronic Communication

Although Canon hasn’t said so specifically, pretty strong circumstantial evidence indicates that the electronic connections between lens and camera were changed at least once and probably twice since 1998. The first change is probably better documented and seems to have occurred first with the EOS 3 and EOS 1V film cameras, which introduced the 45-point autofocus system later used on the 1D series digital SLRs. A number of third party lenses (mostly Sigma) would not communicate autofocus information with these cameras, and required re-chipping by the manufacturer to regain compatibility. The same problem occurred with the introduction of the 10D digital camera, which increased prosumer autofocus points from 3 to 7 and introduced the Digic processor. Of note, those incompatible third party lenses gave an ERR99 message, not ERR01, when used with the 10D. As best I can find, the first widespread ERR99 reports occurred when third party lenses couldn’t communicate electronically with the new 10D camera, and the soon-to-follow Rebel and 20D. This is the source of many people’s partially incorrect belief that ERR99 always means a miscommunication between camera and lens.

Lens Current Draw

The second change is less clearly established. Some sources state that lenses with IS systems have higher electric current transmitted from the camera than other lenses do, which makes sense, considering that they have more work to do. In-lens image stabilization first appeared in 1995 with slight improvements in 1997 and 1999. A major improvement was made in 2001 with the faster IS system used in the 70-200 f/2.8L IS and again in 2006 with the new four-stop system in the 70-200 f/4L IS. The newest IS systems are more powerful and stabilize more quickly (0.5 seconds as opposed to 1 second with older systems), so it’s logical to assume they draw more current across the connections, although this is not documented anywhere that I can find.
Several lenses with newer IS, including the 70-300mm f/4-5.6 IS (2005), EF-S 17-55mm f/2.8 IS (2006), and 70-200mm f/4L IS (2006) became very popular with photographers shooting EF-S mount cameras. We know that malfunctions in some of these lenses, most commonly reported with the 17-55 f/2.8 IS, cause ERR99 (and not ERR01) on EF-S mount cameras. Cleaning the electronic contacts on the camera and lens will often fix, or at least improve the problem. There are a few reports that the problem is more common with original Digital Rebel and 20D cameras, and less common with newer cameras; our data supports this too. Some knowledgeable people have speculated that there was a change in contact alloy, a thinner layer of gold plating, or other electrical contact issues with the XT and 20D cameras that make it more difficult for these cameras to deliver the required current to the newer IS lenses. On the other hand, the problem may simply be more common with older cameras because the lens contacts are more likely to be worn.

In-Camera Voltage Drops

Another theory that has some factual basis was reported several years ago on DPReview. A tester found that Canon 20D cameras would display ERR99 if the camera voltage fell below 7.3 volts. The BP511 battery used in all prosumer cameras prior to the 5DMkII should deliver a bit over 8 volts in fully charged state, but will fail to deliver sufficient voltage in certain conditions: dirty contacts, failure of a cell within the battery, age, rapid power consumption, or some combination of the above. This certainly would explain the ERR99 problems occurring with bad batteries or bad battery contacts. Again, just speculating, but I would suggest that a fall in voltage across just part of the camera circuitry would also cause ERR99— for example, across dirty or corroded electrical contacts, across a cracked ribbon cable, or perhaps a slightly corroded circuit board connector. I’ll come back to this idea later.

Common Causes of ERR 99

I’m listing these in my own perceived order of frequency, combining our experience at LensRentals with reading countless online ERR 99 reports. The list has been revised after further information from Precision Camera about actual causes they see during repair. One important thing they reminded me of: when we see ERR99 on the screen, the camera actually has more information about the cause of the error internally. A repair shop can read this information from the camera and often determine the cause with complete accuracy.
  • Lens/camera electrical contact failure
  • Lens circuit (AF or IS) failure
  • Camera electronic circuit failure (see below)
  • Battery or Grip problems
  • Broken or stuck lens aperture diaphragm – Note: this most often happens only when the lens is completely stopped down. If you have questions about the lens, shoot it both wide open and stopped down. If ERR99 appears when stopped down, its an aperture issue.
  • Older third-party lens with incompatible electronics
  • Jammed or damaged camera shutter curtain
  • Mis-formatted or damaged card
  • Damaged or corroded cell within camera battery
  • Failure of the sequence motor—according to precision this is unusual, but does occur, especially in older cameras that have been through a shutter replacement.
  • Corroded battery or camera contacts
  • Incorrectly mounted battery grip, particularly if it’s too loose
  • Camera/hot shoe electrical contact failure
  • Moisture condensation within camera or lens (or corrosion occurring days or weeks after moisture exposure)
Most of us cannot define in-camera circuitry failure more specifically than “it went to Canon for repair”, but a few skillful individuals have disassembled their ERR99 frozen cameras and reported things like loosened solder splats that were causing shorts, ribbon cables not firmly seated in their connectors, loose metal shields in the camera that could move enough to short or ground an electrical part, etc. If you’ve never seen the insides of a digital SLR, there are an amazing amount of electronic connections packed into basically no space in there.

Experience at LensRentals.com

There are a number of “what to do when ERR 99 occurs” lists that I’ve summarized below. Before we jump to them, though, I think its important to try to narrow down the ERR 99’s cause, rather than to go through the list and hope everything is better. I realize “finding the problem” sounds remarkably obvious, but bear with me for a second. With hundreds of lenses mounted to hundreds of different cameras at any one time, we deal with a lot of ERR 99 problems. Some ERR 99 issues are specific and immediate: suddenly the camera starts giving ERR99 with almost every shot. Resetting the electronics helps for a few shots— or doesn’t— but the problem recurs and the camera is basically useless. These “catastrophic” ERR 99 episodes usually means there’s been a major injury in the camera or lens: shutter failure, circuitry burnout, etc. Sometimes the fix is easy— new battery, smoothing a jammed shutter curtain, changing lenses, etc.— but most often a trip back to the mothership for either the camera or the lens is in order.
Other ERR 99 problems are more subtle: ERR 99 shows up after a lens change, lets say. Cleaning the contacts makes it go away, but it comes back a week later, getting more frequent over time. It may just be with one lens at first, but may start occurring with other lenses. In these cases I think it important to remember the point about electrical voltage made above: if voltage drops below 7.3V in the camera’s circuitry, ERR 99 is likely to occur. Voltage drops across different connectors are cumulative, and batteries produce less voltage as current increases. What may seem a case of dirty contacts may really be a narrow power margin, due to oil on the lens contacts, an old battery that’s not producing its rated voltage when fully charged, a lens that’s sucking down power to run the IS servos, which finally drops below the lower operating threshold when autofocus is activated. Cleaning the lens contacts might help, but that doesn’t make it “the problem”. So, be careful when diagnosing an intermittent problem. Its also important to do everything you can to narrow down the problem. Sending the camera to Canon for “intermittent ERR99” without more information is likely to lead to “can’t reproduce problem” at the Canon Service Center.
For example, once or twice a month we’ll have a customer tell us “the lens is causing ERR 99 on my camera, none of my other lenses do that”, so we send them a replacement. We have the luxury most individuals don’t get in that situation: the ability to test that lens on multiple cameras, plus the customer will try another copy of the same lens on their camera. In some cases, the customer will tell us the second lens is the same as the first on their camera; meanwhile, the first lens seems fine when tested on other bodies. Here, the problem is a weakness in the customer’s camera body that became apparent only when a lens with heavier power requirements was used. In other cases, the second lens works fine for the customer and the first lens, when returned, gives ERR 99 on other bodies. Again, problem obvious, the lens had internal damage to the electronics or aperture system.
In a lot of cases though, the problem is less obvious. The new lens works fine for the customer, the old one seems to work well on other bodies. At first, we just shrugged our shoulders and said “one of those things” but over time, as we track the problems that occur with various copies of lenses and cameras, something became apparent to us. Unless we found the specific cause of ERR 99 and corrected it then the problem, while intermittent, would recur. We’ve worked on developing an ERR 99 stress test for lenses that only show the problem intermittently: we use an older camera body, halfway charged battery, and take up to several hundred shots being sure to change the aperture, zoom, and focal distance frequently. Doing this we’re sometimes able to reproduce the problem in a lens that otherwise seems to have just had some isolated ERR 99 reports.
That being said, there are also circumstances where ERR 99 has occurred and then never, ever happened again:
  • Using older battery (solved after replacing battery)
  • Bad CF card (solved after replacing card)
  • After marked temperature change (solved after letting the camera sit for a day or so, probably condensation)
  • After mounting battery grip (solved after remounting the battery grip)
  • With single lens only, all other lenses fine (solved by repairing the lens)
  • Early copies of 50D (solved after firmware update)
  • Camera used with third party shoe mounted flash (solved after flash removed)
  • Dirty contacts (solved by cleaning, sometimes that is the only problem)
  • For no apparent reason, it went away for good after doing the routine ERR 99 protocol. This part reminds me of “any sufficiently advanced technology is indistinguishable from magic”…

The LensRentals Error 99 Process

This is based on Canon’s technical support suggestions, with a couple of additions we’ve made as we gained experience.
First, we pull a “tech support” reboot.
  1. Turn camera off.
  2. Remove battery.
  3. Replace battery.
  4. Turn camera on.
  5. Try a shot.
Sometimes that works. If not then a full reboot:
  1. Turn off the camera.
  2. Remove the lens, battery, date-time battery (see below), and CF card.
  3. Allow the camera to sit without power for approximately 20 minutes with the power switch “on”. Recharge the battery during this time. (Full disclosure here: somebody once suggested the 20 minutes and power switch on part, we want to top off the battery anyway, and we’ve generally got other stuff to do so we do it this way. Waiting 30 seconds and using a different, fully charged battery would probably be just as good, but this is what we do.)
  4. Turn off the camera, replace the backup battery, insert the fully charged battery, turn on the camera.

  5. Press the shutter button to check for ERR 99.
  6. If ERR 99 occurs, remove the battery, examine and clean the battery and camera connections. If at all possible, try a different battery.
  7. If ERR 99 still occurs, use the manual sensor cleaning function to raise the mirror and open the shutter. If the shutter does not completely open, it is the source of the problem. If a leaf is out of alignment, some people have reported using a soft brush to move the shutter leaf back into place. Personally, I’d send it in for service.
  8. If ERR 99 still occurs, the camera almost certainly needs service. You might try reinstalling firmware, but it’s unlikely to work.
If there’s no ERR 99 after the above, the next step is to check the storage system:
  1. Insert and format CF card, then press the shutter button as you would to take a picture.
  2. If ERR 99 try a different brand and size of card. If no ERR 99, the problem was the card and you should be done.
  3. If ERR 99 still occurs with a different card, the problem is with the camera’s card connections, and repair will be necessary.
Finally, check the lens:
  1. Turn the camera back off.
  2. Gently clean the contacts on both the lens and the camera (see Note #2 below)
  3. Remount the problem lens, set to manual focus, IS off, widest aperture and take a picture.
  4. If no ERR 99 with everything off, activate autofocus, then IS, then stop the aperture down, taking a picture to confirm no ERR 99 after each step.
  5. If ERR 99 occurs, try a different lens. If only one lens is a problem, that lens needs servicing. You’ll get better service results when you can be specific: i.e. “ERR 99 only when IS activated, etc.” in your service request.
  6. If ERR 99 occurs with more than one lens, and no other cause is apparent, the camera needs to head to Canon for repair.
Note #1: Some ERR 99 problems occur only with the camera in certain settings: i.e only in Av mode, or only in AI servo. In these cases, repair is almost certainly needed.
Note #2: I know first-hand that Canon Service Techs use the “gently rubbing a clean pencil eraser” technique of cleaning the electrical contacts. I also know that knowledgeable electronic engineers state this is a bad idea, that the friction could wear out the gold plating on the electronic connections, leading to corrosion. Radio shack and other electronics stores sell electrical contact cleaning solution that can be used with a Q-tip or soft cloth to clean the contacts as an alternative. I’m still using the eraser; I figure if rubbing metal contacts across each other every time I change a lens isn’t wearing out the coating, the pencil eraser sure isn’t.

End Game

I know this has been an overly long and probably not-very-useful essay, but it’s a topic I really got into. I certainly will have made some omissions or mistakes in something this long and complex. I welcome corrections and suggestions from any of you with different experience in this area and plan on updating and upgrading this piece as I get more input.
Roger Cicala
LensRentals.com