Saya selalu suka majalah. Unsur-unsur yang membentuk majalah mulai dari kertas, konten, grafis, tipografi, layout, foto, kesemuanya menjadi sesuatu yang menarik banget bagi saya. Meskipun belum terbilang magazines-freak, saya ingin membahas majalah-majalah yang beredar di tukang majalah di sekitar kita.
Spot favorit saya untuk berkenalan dan bermesraan dengan majalah-majalah lama maupun baru adalah BSD Plaza. Tepatnya Gunung Agung BSD Plaza. Maklum, dekat dari rumah. Nggak mungkin juga kan saya pergi ke Senayan City cuma buat nyari majalah. Lagian, saya bukan fashionista yang punya hasrat untuk show off dengan pergi ke mall. Hehe.
Di sana biasanya saya memandangi mereka (majalah-majalah itu) satu-persatu. Seperti yang saya lakukan sekitar tiga hari yang lalu. saya kemudian bingung. Tampak muka mereka semua amat menarik. Rasanya saya ingin membawa empat rak majalah tersebut ke kasir, tapi nggak tahu bayarnya pake apa. Akhirnya saya melakukan seleksi ketat. Majalah yang sudah dibuka atau dapat dibuka saya skimming di tempat. Ternyata, banyak yang kontennya tidak semenarik tampak mukanya.
Isinya keliatan banget nyomot internet atau isu-isu yang dibahas sudah basi dan menurut saya nggak penting, misalnya Mary Kate Olsen baru aja beli anjing pudel seharga 10.000 USD hanya itu. Sungguh. Hanya itu. Sisanya foto si Mary Kate yang juga diambil dari internet (tanpa anjing pudelnya) yang lebih besar dari tulisannya. Gubrak.
Saya juga baca, ada majalah baru (lupa judulnya apa), pas saya skimming, ada artikel si majalah anak bawang itu yang membahas “citizen journalism, setuju atau tidak?”. Dalam hati saya, widih, boleh juga nih majalah baru punya semangat menjalankan jurnalisme yang benar. Lalu di halaman selanjutnya ternyata ada artikel mengenai Dewi Lestari, “Luna Bukan Kopaja”. Ada foto Dewi Lestari dengan gaya penulisan yang pribadi seolah-olah Dee menulis untuk majalah tersebut sepanjang dua halaman. Di akhir tulisan, majalah tersebut menulis begini, “sebagian dikutip dari http://dee-idea.blogspot.com”
Apanya yang sebagian dikutip haa??!!! Itu sih 99% emang dari blognya Dewi Lestari. Kebetulan sehari sebelumnya saya membaca tulisan Dewi Lestari di blognya tersebut sehingga masih segar di ingatan saya. Judul maupun isi tulisan di blog maupun di majalah tersebut benar-benar persis sama. Kayaknya pihak si majalah cuma nulis tiga baris sebagai pembuka. Kenapa mereka tidak nulis, “sebagian BESAR dikutip dari http://dee-idea.blogspot.com”, atau nggak langsung aja “sumber: http://dee-idea.blogspot.com”. Ya, ya, baiklah.
Banyak majalah wanita yang isinya 70% tentang fashion, bahkan 65% foto-foto baju dengan dandanan yang match. Sah-sah saja. Saya juga suka kok ngeliatinnya. Bisa jadi inspirasi juga dalam berpakaian. Hanya saja, sayang banget kalo beli majalah yang (paling lama) dalam waktu 15 menit sudah bisa khatam bacanya, mulai dari halaman pertama sampai terakhir. Tipe majalah seperti ini saya baca di tempat saja.
Dulu, saya suka beli majalah Trax karena tertarik dengan gayanya yang minimalis, kontennya pun lumayan. Lama-kelamaan ko artikelnya boring banget yah. Kayak nggak baca apa-apa, nggak ada isinya. Yang masih bagus cuma review albumnya aja, sisanya sampah. Akhirnya saya berhenti membeli majalah tersebut. Ternyata, di edisi terakhir saya beli majalah Trax, ada surat pembacanya yang mengeluhkan hal yang saya rasakan. Majalah Trax sekarang isinya boring nggak kaya dulu. Mengalami penurunan kualitas lah, so sad. Mungkin majalah tersebut sekarang udah bagusan kali yah. Tapi saya telanjur ilfeel meski kovernya sebagus apapun.
The Fabulous Five
Saya beli lima majalah dua minggu terakhir ini; Hai, Tempo, Concept, Total Film, dan Rolling Stone.
Hai. Saya tertarik dengan cewek cantik yang menjadi kover majalah Hai edisi minggu terakhir Januari. Ya ya selain cowok ganteng jadi kover majalah saya juga suka cewek cantik. Intinya, saya suka keindahan mau itu cowok atau cewek. Terlebih Hai memakai konsep warna-warni yang keluar dari bordernya bahwa Hai itu majalah pria. Wew, menarik. Jaman sudah berubah. Persaingan makin ketat. Industri media makin kreatif dan tidak berpegang pada pakem-pakem tradisional. Secara konten, Hai belum banyak berubah dari jaman saya SMP. Rubrik yang menarik buat saya adalah dear superstar di mana para pembaca bisa mengirim pertanyaan yang akan dijawab oleh artis idolanya. Artis idola biasanya bergantian dan diberi tahu di edisi sebelumnya. Poin menariknya adalah pertanyaan pembaca (yang mana poin-poin yang ingin diketahui pembaca) mengenai artis idolanya sangat tidak biasa. Sedangkan apabila jurnalis beneran yang bertanya pasti akan penuh dengan pertanyaan standar dan klise seperti bagaimana proses bisa jadi terkenal, terpengaruh siapa, harapan ke depannya, blablablabla..
Tempo. Biasanya saya nggak pernah beli majalah ini kecuali karena ada tugas kuliah yang sumbernya dari feature majalah Tempo. Sudah tidak perlu diragukan kapasitas Tempo dalam menyuarakan informasi yang berbobot kepada masyarakat bangsa ini. Sudah berimbangkah? Kalo itu nggak ngerti hehe. Oh ya, majalah Tempo juga nyetak English version-nya. Baguslah, kali aja bisa bikin franchise di luar negeri. Bosen majalah franchise luar mulu yang masuk dalam negri. Saya beli majalah Tempo edisi Februari hanya karena ada isu pemenang foto berita terbaik. Bagus-bagus deh. Dan feature yang saya baca hanya sepak terjang Baekuni alias Babe. Itu loh, Robot Gedek versi 2. Sisanya.. I don’t give a damn about politics.
Concept. ini majalah desain grafis. Saya tuh nggak ngerti sama sekali sama dunia grafis. Dan juga bukan orang yang artsy. Ini kenapa beli majalah ini alasannya simpel, penasaran. Bahan kertas untuk kovernya sungguh nggak biasa. Dan make konsep silver gitu, saya jadi ingin melihat lebih dari sekedar luarnya. Saya belilah dan setelah saya buka dalamnya, tetap aja nggak ngerti. Penuh gambar-gambar keren. Tapi tetap aja, saya nggak ngerti. Bukan duniaku jadinya sampe sekarang belum dibaca deh.
Total Film. ini majalah franchise yang baru masuk Indonesia. Masih harga promosi (itu juga yang menjadi alasan saya untuk membelinya hehe). Tadinya bingung antara Cinemagz atau Total Film. Ah tapi kalo Cinemagz udah pernah tau, Total Film belum. Ternyata isinya padat banget. Hanya saja, saya merasa nuansa franchise magz-nya terlalu terasa. Tahu kan kalau kita nonton film luar lalu kita baca subtitle-nya kadang dialog film tersebut jadi aneh. Nah, begitulah Total Film. Mungkin masih banyak bagian yang harus dilokalkan. Persentasi penggunaan bahasa inggris di majalah ini masih banyak, sekitar 20%. Tapi saya nggak merasa rugi kok beli majalah ini ;) bahan kertas untuk kover depan maupun back cover juga ciamik. Wow, keren abis!
Rolling Stone. Majalah dewa. Hehehe. RS benar-benar majalah yang mempertahankan kelanggengan konsepnya yang klasik. Perhatiin deh, dari jaman band Rolling Stones atau Axl Rose masih berjaya tampak muka majalah ini tidak banyak berubah. Begtu pula tampilan dalamnya. Kayak produk Yakult yang nggak pernah ganti kemasan tapi tetap dicari orang. wow keren banget. Tanya kenapa?
RS menjual eksklusivitas. Ya, benar. Sesuatu yang mahal banget. Eksklusivitas berarti tidak ditemukan di tempat lain. Hal itu yang menjadi daya jual majalah RS sejak dulu hingga kini. Semua artikel mereka merupakan liputan lapangan. Awal membaca majalah ini, saya agak bingung dengan penulisan mereka yang seringkali terdapat kata tempat seperti, “Sheila malam itu sangat gelisah dan terus terjaga hingga pukul 5 dini hari di kamar hotel”. Lha, ini emangnya fiksi yah.. ko doi ada di kamar hotel si artis tengah malam.
Setelah nonton film Almost Famous, barulah saya mengerti bahwa kinerja majalah RS memang seperti itu. Mereka sebelum menulis feature tentang si artis/band, akan mengikuti si artis/band tersebut beberapa hari atau minggu bahkan berbulan-bulan. Itulah mengapa jawaban-jawaban si narasumber begitu intim. Bahkan setelah tulisan si wartawan jadi, masih ada tim pemeriksa fakta yang akan mengecek kebenaran tulisan si wartawan dengan menelepon si artis/band tersebut. Menanyakan apakah benar kejadian tersebut terjadi di sana, apa kutipan-kutipan tersebut benar adanya, dan sebagainya. Tidak heran dengan profesionalitas setinggi itu, si artis yang terpilih menjadi bahan tulisan RS merasa mendapat penghargaan/kehormatan lebih dibanding masuk media manapun.
RS Indonesia pun di mata saya masih menjadi majalah musik paling prestisius di banding yang lain. Oh ya, sudah agak lama ini RS Indonesia juga menambahkan rubrik politik “National Affairs” yang bisa ditebak siapa arsiteknya, Andy F. Noya. Ia kayaknya ada bagian megang saham RS (atau owner mungkin, ah entahlah). Tidak disangka rubrik politik ini banyak juga yang suka hehe.
Ada seorang wartawan RS Indonesia, namanya Soleh Solihun, yang ternyata merupakan alumni Jurnalistik Universitas Padjadjaran. Ia selalu menulis feature dengan gaya yang berbeda dibanding jurnalis lain. Kekuatan tulisannya terletak dari judul dan penulisan lead yang menohok. Pernah saya mencoba menebak tulisan-siapa-ini dengan membaca judulnya saja mulai dari halaman awal hingga akhir majalah RS tanpa liat kredit penulisnya. Ternyata saya bisa menebak tulisan Soleh hanya dengan melihat judulnya. Ya, karena hanya ia yang menulis judul dengan gaya yang menyentil. Denger-denger sih, kuliah jurnalistiknya lama banged, sampe tujuh tahun hehe.
Well, segitu aja yang saya mau bagi kali ini. Mohon maaf kalo banyak yang salah dan banyak yang harus dikoreksi. Kritikan saya terhadap majalah-majalah yang beredar di Indonesia bukan bermaksud negatif. Saya tidak lebih pintar dari mereka dan sedikit tahu bagaimana cara kerja jurnalis. Sebenarnya copy-paste internet itu terjadi hanya karena satu alasan; malas. Mungkin ada yang menyanggahnya dengan kata deadline. Well, waktu sesempit apapun pasti bisa dipergunakan untuk mengolah isi otak menjadi bentuk tulisan. Saya juga masih banyak banget malasnya. Mungkin suatu saat saya akan menulis tentang kemalasan saya supaya lebih malu sama diri sendiri. Hehe.
Spot favorit saya untuk berkenalan dan bermesraan dengan majalah-majalah lama maupun baru adalah BSD Plaza. Tepatnya Gunung Agung BSD Plaza. Maklum, dekat dari rumah. Nggak mungkin juga kan saya pergi ke Senayan City cuma buat nyari majalah. Lagian, saya bukan fashionista yang punya hasrat untuk show off dengan pergi ke mall. Hehe.
Di sana biasanya saya memandangi mereka (majalah-majalah itu) satu-persatu. Seperti yang saya lakukan sekitar tiga hari yang lalu. saya kemudian bingung. Tampak muka mereka semua amat menarik. Rasanya saya ingin membawa empat rak majalah tersebut ke kasir, tapi nggak tahu bayarnya pake apa. Akhirnya saya melakukan seleksi ketat. Majalah yang sudah dibuka atau dapat dibuka saya skimming di tempat. Ternyata, banyak yang kontennya tidak semenarik tampak mukanya.
Isinya keliatan banget nyomot internet atau isu-isu yang dibahas sudah basi dan menurut saya nggak penting, misalnya Mary Kate Olsen baru aja beli anjing pudel seharga 10.000 USD hanya itu. Sungguh. Hanya itu. Sisanya foto si Mary Kate yang juga diambil dari internet (tanpa anjing pudelnya) yang lebih besar dari tulisannya. Gubrak.
Saya juga baca, ada majalah baru (lupa judulnya apa), pas saya skimming, ada artikel si majalah anak bawang itu yang membahas “citizen journalism, setuju atau tidak?”. Dalam hati saya, widih, boleh juga nih majalah baru punya semangat menjalankan jurnalisme yang benar. Lalu di halaman selanjutnya ternyata ada artikel mengenai Dewi Lestari, “Luna Bukan Kopaja”. Ada foto Dewi Lestari dengan gaya penulisan yang pribadi seolah-olah Dee menulis untuk majalah tersebut sepanjang dua halaman. Di akhir tulisan, majalah tersebut menulis begini, “sebagian dikutip dari http://dee-idea.blogspot.com”
Apanya yang sebagian dikutip haa??!!! Itu sih 99% emang dari blognya Dewi Lestari. Kebetulan sehari sebelumnya saya membaca tulisan Dewi Lestari di blognya tersebut sehingga masih segar di ingatan saya. Judul maupun isi tulisan di blog maupun di majalah tersebut benar-benar persis sama. Kayaknya pihak si majalah cuma nulis tiga baris sebagai pembuka. Kenapa mereka tidak nulis, “sebagian BESAR dikutip dari http://dee-idea.blogspot.com”, atau nggak langsung aja “sumber: http://dee-idea.blogspot.com”. Ya, ya, baiklah.
Banyak majalah wanita yang isinya 70% tentang fashion, bahkan 65% foto-foto baju dengan dandanan yang match. Sah-sah saja. Saya juga suka kok ngeliatinnya. Bisa jadi inspirasi juga dalam berpakaian. Hanya saja, sayang banget kalo beli majalah yang (paling lama) dalam waktu 15 menit sudah bisa khatam bacanya, mulai dari halaman pertama sampai terakhir. Tipe majalah seperti ini saya baca di tempat saja.
Dulu, saya suka beli majalah Trax karena tertarik dengan gayanya yang minimalis, kontennya pun lumayan. Lama-kelamaan ko artikelnya boring banget yah. Kayak nggak baca apa-apa, nggak ada isinya. Yang masih bagus cuma review albumnya aja, sisanya sampah. Akhirnya saya berhenti membeli majalah tersebut. Ternyata, di edisi terakhir saya beli majalah Trax, ada surat pembacanya yang mengeluhkan hal yang saya rasakan. Majalah Trax sekarang isinya boring nggak kaya dulu. Mengalami penurunan kualitas lah, so sad. Mungkin majalah tersebut sekarang udah bagusan kali yah. Tapi saya telanjur ilfeel meski kovernya sebagus apapun.
The Fabulous Five
Saya beli lima majalah dua minggu terakhir ini; Hai, Tempo, Concept, Total Film, dan Rolling Stone.
Hai. Saya tertarik dengan cewek cantik yang menjadi kover majalah Hai edisi minggu terakhir Januari. Ya ya selain cowok ganteng jadi kover majalah saya juga suka cewek cantik. Intinya, saya suka keindahan mau itu cowok atau cewek. Terlebih Hai memakai konsep warna-warni yang keluar dari bordernya bahwa Hai itu majalah pria. Wew, menarik. Jaman sudah berubah. Persaingan makin ketat. Industri media makin kreatif dan tidak berpegang pada pakem-pakem tradisional. Secara konten, Hai belum banyak berubah dari jaman saya SMP. Rubrik yang menarik buat saya adalah dear superstar di mana para pembaca bisa mengirim pertanyaan yang akan dijawab oleh artis idolanya. Artis idola biasanya bergantian dan diberi tahu di edisi sebelumnya. Poin menariknya adalah pertanyaan pembaca (yang mana poin-poin yang ingin diketahui pembaca) mengenai artis idolanya sangat tidak biasa. Sedangkan apabila jurnalis beneran yang bertanya pasti akan penuh dengan pertanyaan standar dan klise seperti bagaimana proses bisa jadi terkenal, terpengaruh siapa, harapan ke depannya, blablablabla..
Tempo. Biasanya saya nggak pernah beli majalah ini kecuali karena ada tugas kuliah yang sumbernya dari feature majalah Tempo. Sudah tidak perlu diragukan kapasitas Tempo dalam menyuarakan informasi yang berbobot kepada masyarakat bangsa ini. Sudah berimbangkah? Kalo itu nggak ngerti hehe. Oh ya, majalah Tempo juga nyetak English version-nya. Baguslah, kali aja bisa bikin franchise di luar negeri. Bosen majalah franchise luar mulu yang masuk dalam negri. Saya beli majalah Tempo edisi Februari hanya karena ada isu pemenang foto berita terbaik. Bagus-bagus deh. Dan feature yang saya baca hanya sepak terjang Baekuni alias Babe. Itu loh, Robot Gedek versi 2. Sisanya.. I don’t give a damn about politics.
Concept. ini majalah desain grafis. Saya tuh nggak ngerti sama sekali sama dunia grafis. Dan juga bukan orang yang artsy. Ini kenapa beli majalah ini alasannya simpel, penasaran. Bahan kertas untuk kovernya sungguh nggak biasa. Dan make konsep silver gitu, saya jadi ingin melihat lebih dari sekedar luarnya. Saya belilah dan setelah saya buka dalamnya, tetap aja nggak ngerti. Penuh gambar-gambar keren. Tapi tetap aja, saya nggak ngerti. Bukan duniaku jadinya sampe sekarang belum dibaca deh.
Total Film. ini majalah franchise yang baru masuk Indonesia. Masih harga promosi (itu juga yang menjadi alasan saya untuk membelinya hehe). Tadinya bingung antara Cinemagz atau Total Film. Ah tapi kalo Cinemagz udah pernah tau, Total Film belum. Ternyata isinya padat banget. Hanya saja, saya merasa nuansa franchise magz-nya terlalu terasa. Tahu kan kalau kita nonton film luar lalu kita baca subtitle-nya kadang dialog film tersebut jadi aneh. Nah, begitulah Total Film. Mungkin masih banyak bagian yang harus dilokalkan. Persentasi penggunaan bahasa inggris di majalah ini masih banyak, sekitar 20%. Tapi saya nggak merasa rugi kok beli majalah ini ;) bahan kertas untuk kover depan maupun back cover juga ciamik. Wow, keren abis!
Rolling Stone. Majalah dewa. Hehehe. RS benar-benar majalah yang mempertahankan kelanggengan konsepnya yang klasik. Perhatiin deh, dari jaman band Rolling Stones atau Axl Rose masih berjaya tampak muka majalah ini tidak banyak berubah. Begtu pula tampilan dalamnya. Kayak produk Yakult yang nggak pernah ganti kemasan tapi tetap dicari orang. wow keren banget. Tanya kenapa?
RS menjual eksklusivitas. Ya, benar. Sesuatu yang mahal banget. Eksklusivitas berarti tidak ditemukan di tempat lain. Hal itu yang menjadi daya jual majalah RS sejak dulu hingga kini. Semua artikel mereka merupakan liputan lapangan. Awal membaca majalah ini, saya agak bingung dengan penulisan mereka yang seringkali terdapat kata tempat seperti, “Sheila malam itu sangat gelisah dan terus terjaga hingga pukul 5 dini hari di kamar hotel”. Lha, ini emangnya fiksi yah.. ko doi ada di kamar hotel si artis tengah malam.
Setelah nonton film Almost Famous, barulah saya mengerti bahwa kinerja majalah RS memang seperti itu. Mereka sebelum menulis feature tentang si artis/band, akan mengikuti si artis/band tersebut beberapa hari atau minggu bahkan berbulan-bulan. Itulah mengapa jawaban-jawaban si narasumber begitu intim. Bahkan setelah tulisan si wartawan jadi, masih ada tim pemeriksa fakta yang akan mengecek kebenaran tulisan si wartawan dengan menelepon si artis/band tersebut. Menanyakan apakah benar kejadian tersebut terjadi di sana, apa kutipan-kutipan tersebut benar adanya, dan sebagainya. Tidak heran dengan profesionalitas setinggi itu, si artis yang terpilih menjadi bahan tulisan RS merasa mendapat penghargaan/kehormatan lebih dibanding masuk media manapun.
RS Indonesia pun di mata saya masih menjadi majalah musik paling prestisius di banding yang lain. Oh ya, sudah agak lama ini RS Indonesia juga menambahkan rubrik politik “National Affairs” yang bisa ditebak siapa arsiteknya, Andy F. Noya. Ia kayaknya ada bagian megang saham RS (atau owner mungkin, ah entahlah). Tidak disangka rubrik politik ini banyak juga yang suka hehe.
Ada seorang wartawan RS Indonesia, namanya Soleh Solihun, yang ternyata merupakan alumni Jurnalistik Universitas Padjadjaran. Ia selalu menulis feature dengan gaya yang berbeda dibanding jurnalis lain. Kekuatan tulisannya terletak dari judul dan penulisan lead yang menohok. Pernah saya mencoba menebak tulisan-siapa-ini dengan membaca judulnya saja mulai dari halaman awal hingga akhir majalah RS tanpa liat kredit penulisnya. Ternyata saya bisa menebak tulisan Soleh hanya dengan melihat judulnya. Ya, karena hanya ia yang menulis judul dengan gaya yang menyentil. Denger-denger sih, kuliah jurnalistiknya lama banged, sampe tujuh tahun hehe.
Well, segitu aja yang saya mau bagi kali ini. Mohon maaf kalo banyak yang salah dan banyak yang harus dikoreksi. Kritikan saya terhadap majalah-majalah yang beredar di Indonesia bukan bermaksud negatif. Saya tidak lebih pintar dari mereka dan sedikit tahu bagaimana cara kerja jurnalis. Sebenarnya copy-paste internet itu terjadi hanya karena satu alasan; malas. Mungkin ada yang menyanggahnya dengan kata deadline. Well, waktu sesempit apapun pasti bisa dipergunakan untuk mengolah isi otak menjadi bentuk tulisan. Saya juga masih banyak banget malasnya. Mungkin suatu saat saya akan menulis tentang kemalasan saya supaya lebih malu sama diri sendiri. Hehe.
No comments:
Post a Comment