Setiap PL (praktik lapangan) di kelas Penulisan Feature menyimpan kisah menarik tersendiri. Contohnya feature mengenai kemiskinan, saya mengangkat tentang petani gurem Jatinangor yang dalam prosesnya, saya lebih bisa memahami mereka *walau nggak bisa bantu :(
Namun, kisah paling menarik di semester 5 adalah masa-masa PL4 di mana Bapak Sahala (dosen) menugaskan untuk menulis feature yang bersumber dari tesis/disertasi. Beurraattt. Saya selalu bergerak lambat dalam tugas. Teman-teman yang bergerak cepat sudah terlebih dahulu mendapat tesis maupun disertasi alumni UNPAD. Namun, jumlah tesis/disertasi tersebut terbatas karena Pak Sahala memberi batasan kebaruan tesis/disertasi.
Kami yang tidak kedapatan tesis/disertasi UNPAD mencari ke universitas lain di Bandung. Tentu saja, universitas di luar kota Bandung pun boleh, hanya saja akan sulit untuk mewawancarai si pembuat tesis/disertasi karena tempat tinggal mereka tersebar di Nusantara. Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menjadi pilihan pertama saya, mengingat (mungkin) otak saya masih bisa mencerna tema-tema pendidikan. Bapak perpustakaan di UPI sangat baik. Makasih Bapak atas kebaikannya dan membolehkan saya membawa pulang katalog tesis/disertasi. Sayang, ternyata tidak ada tesis/disertasi yang sesuai dengan persyaratan batasan waktu kebaruan sesuai persyaratan dosen saya.
Saya beralih ke ITB. Fakultas Seni Rupa dan Desain, saya mengincar tesis/disertasi alumni mereka mengingat sangat mustahil saya mengkaji Ilmu Alam maupun Teknik mereka. Bisa-bisa mencret nih otak. Terimakasih buat Naila yang telah menemani saya sampai menemukan perpustakaan FSRD. Terima kasih juga buat Sahrul yang memberi bantuan berupa referensi. Berharap ada tesis/disertasi yang sesuai dengan kapabilitas otak maupun minat, akhirnya saya menemukan tesis ANALISIS KONTEN GAMBAR PESERTA DIDIK DALAM MATA PELAJARAN SENI RUPA DI TINGKAT SEKOLAH MENENGAH ATAS karya WAWAN RIDWAN BAIHAKI.
Susah payah saya (akhirnya) mampu menghubungi Pak Wawan. Kami buat janji untuk wawancara, h-1 sebelum pengumpulan tugas. Saya sudah meminta hari lain agar tidak mepet namun Pak Wawan tidak bisa. Saya pun setuju untuk wawancara di hari h-1 deadline. Berhari-hari saya bolak-balik ke ITB untuk mempelajari tesis Pak Wawan (skripsi/tesis/disertasi tidak boleh dipinjamkan keluar perpus maupun difotokopi). Saya juga bertemu Eci yang sering ditemani pacarnya di sana =) Walaupun ngantuk membaca tesis, saya mencatat sana-sini dan membuka lagi buku Komunikasi Visual yang saya miliki sejak semester 2.
Hari untuk wawancara tiba, saya sudah menyiapkan daftar pertanyaan dan mengosongkan jadwal. Pak Wawan menjanjikan wawancara di kantornya, Jl. A. H. Nasution no.27, Ujungberung Bandung. Oke, hal tersebut masih agak kabur untuk mencari alamat. Namun tidak apa-apa yang perlu saya lakukan adalah menelusuri UjungBerung (Jl. A. H. Nasution) dan mencari gedung yang bernomor 27. Kami janjian wawancara sekitar pukul 10.
Pacar saya (waktu itu saya masih punya pacar) mengantarkan saya mencari alamat kantor Pak Wawan. Sempat bingung karena nomor ganjil biasanya berderet di sisi kiri dan alamat nomor genap berjajar di sisi kanan jalan Ujungberung. Oke, kita udah ngelewatin kantor dengan nomor alamat yang disebutkan Pak Wawan. Namun tidak ada gedung di sana dan juga tidak ada rumah dengan nomor 27. Saya bertanya-tanya tentang bentuk kantor Pak Wawan, mungkin saja bentuknya tidak mencolok dan terlewat oleh pandangan mata. Saya dan pacar bolak-balik menyusuri Jl. A.H. Nasution hingga akhirnya logika saya berjalan, Jl. A.H. Nasution nomor 27 itu adalah sebuah sekolah. SMAN 24. Ya, tidak salah lagi, karena samping kiri kanan sekolah itu nomor ganjil sebelum dan sesudah 27.
Entah mengapa, perasaan saya mulai nggak enak mengingat cara pendiskripsian si Pak Wawan yang menyulitkan. Mengapa ia tidak bilang saja bahwa ia bekerja di SMAN 24? Guru? Atau apakah beliau? Mengapa tidak memilih cara yang memudahkan seseorang untuk mencari alamat kantornya? Saya mendatangi petugas keamanan sekolah tersebut, bertanya apakah ada seorang bernama Pak Wawan bekerja di sekolah tersebut. Pak satpam mengiyakan. Pak Wawan adalah guru seni rupa di SMAN 24. Ok. Dia seorang guru.
Saya bertanya, apakah saya bisa bertemu dengannya karena saya ada janji wawancara dengan Pak Wawan. Satpam bilang, Pak Wawan belum datang dan tidak tahu apakan akan datang. Karena guru-guru lain sudah datang dan hanya Pak Wawan yang belum sampai sekolah. Saya menunggu sebentar dan menelepon HP Pak Wawan. Susah sekali tersambung. Hingga akhirnya tersambung dan diangkat seorang gadis kecil di seberang sana. Ia berkata papanya (Pak Wawan) keluar kota untuk beberapa hari, baru saja pagi ini berangkat, dan HPnya ketinggalan di rumah. Saya lemas. Dan lebih buruknya, saya berpraduga jelek.
Aneh sekali Pak Wawan ini, sejak saya mengontak dan berbicara di HPnya, beliau berbicara dengan nada tidak ramah sama sekali, terkesan boring dengan dunia (maaf saya hanya bicara tentang kesan yang saya tangkap). Ia juga mengatakan alamat kantor dengan cara yang menyulitkan, tidak memberi tahu dengan lugas bahwa ia guru di SMAN 24 yang mana akan JAUH memudahkan saya menemukan beliau. Dan di hari kami berjanji bertemu untuk wawancara, tiba-tiba paginya ia ke keluar kota tanpa memberi saya kabar dan seorang gadis kecil yang tidak lain adalah anaknya memberitahu saya bahwa HPNYA KETINGGALAN DI RUMAH. Padahal ia keluar kota untuk beberapa hari dan bukankah HP adalah barang penting untuk orang-orang bepergian tersebut?
Saya tidak bisa menghindari pikiran-pikiran negatif yang merasuki saya. Oke mari berpikir positif, mungkin hari itu adalah hari tersulit buat Pak Wawan sampai-sampai ia tidak punya waktu untuk mengabari saya. Some say, silence is golden. But for me, in some ways, silence means nothing but dullness (hey Dina, kau seperti bicara pada seseorang? Tidak ada, Sobat. Hanya perasaanmu).Saya akan JAUH, JAUH, JAUH, merasa lebih baik apabila Pak Wawan membatalkan wawancara dengan memberi kabar sebelumnya, sekalipun beliau membatalkan hari ini. Saya merasa ditelantarkan, tidak dihargai, dan oh yeah lengkap sudah. Beginikah kelakukan lulusan Institut Terbaik Bangsa????
Bunga yang seperti Bunga
Saya tiba-tiba merasa lelah sekali. Suasana hati sangat kacau. Mengingat betapa saya sudah sangat mempersiapkan hari ini dengan seminggu lebih bolak-balik ke ITB, menghabiskan berjam-jam di perpus ITB untuk mempelajari tesis seseorang yang bahkan tidak punya integritas. Kenyataan yang lebih menyakitkan, yang melakukannya adalah lulusan universitas ternama dan sekarang beliau seorang pengajar. Sungguh ‘teladan yang bagus’.
Saya berkata pada pacar saya, saya hanya ingin pulang dan menghabiskan waktu sendiri hari ini. Entah dengan menangis, berpikir , atau tidur seharian. Ia diam saja. Namun, tak lama setelah mengucapkan itu, terbersit di pikiran saya bahwa hari ini belum berakhir. Saya bisa saja mencari tesis baru, menghubungi si pembuat tesis, dan mewawancaranya hari ini juga. Toh, saya pikir saya sudah mengalami yang terburuk, hal seburuk apapun lagi tak akan terlalu terasa. Ya, baiknya begitu. Semuanya nothing to lose buat saya. Selama hari belum berakhir.
Saya bilang kepada pacar saya, tinggalkan saya di sini. Dia tidak setuju dan ingin mengantar saya. Tidak bisa. Saya sedang kacau dan tidak ingin seorang pun berada di dekat saya. Akhirnya kami bertengkar hebat hingga ia benar meninggalkan saya. Mudah saja membuat orang meninggalkan saya, sakiti saja dengan perkataan yang menyakitkan. Saya sungguh, tidak ingin seorang pun melihat saya dalam keadaan yang kacau makanya saya ingin ia pergi.
Lalu saya naik angkutan umum ke ITB, menuju bagian akademik menanyakan katalog tesis/disertasi yang bisa saya lihat, menelepon orang-orang yang kemungkinan bisa saya wawancara. Banyak yang tidak bisa, sedang ke luar kota, ke luar negeri, hanya ada nomor rumah tidak ada nomor HP, orangnya sudah diwawancara anak Jurnal lain, dan sebagainya. Hingga akhirnya saya bisa menghubungi dan berbicara dengan seorang bernama Bunga.
Bunga Sari Siregar, begitulah namanya. Lulusan s2 desain ITB dan ia setuju untuk saya wawancara hari itu juga. Saya merasa ada harapan, kembali bersemangat. Kami pun membuat janji wawancara malam sekitar pukul 7 atau 8 di restoran yang terkenal dengan menu mi acehnya di Buah Batu. Saya kembali ke perpus FSRD, menanyakan tesis Bunga kepada Bapak Perpus dan mempelajarinya. Tesisnya menarik. Saya menghabiskan waktu di sana hingga perpus tutup, sekitar pukul 5 sore.
Lalu saya bertemu Eby, dia baru saja selesai mewawancarai narasumber dan hendak pulang ke Jatinangor. Saya baru akan mewawancara narasumber saya beberapa jam lagi. Oke. Nggak apa-apa. Oh, crap, tiba-tiba saja semua kendaraan umum di Kota Bandung berdemonstrasi atas kehadiran Trans Metro Bandung. Saya mencari taksi, tapi tampaknya semua taksi mendapat penumpangnya hari itu. Tapi penumpangnya bukan saya.
Hingga akhirnya seorang bapak menawarkan jasa ojek sampai Buah Batu. Saya tiba di restoran mie Aceh itu sekitar magrib. Memesan minum. Menunggu narasumber datang, saya pergi ke toilet dan bercermin. Sungguh tidak mengenakkan untuk dilihat muka saya saat itu. cuci muka pun tidak berpengaruh. Yah, hari yang panjang buat saya. Narasumber saya mengecewakan saya, saya putus sama pacar, dan setelahnya saya langsung menghabiskan waktu dengan membaca tesis 200 halaman.
Bunga datang sekitar pukul setengah 8. Ia cantik dan berdandan rapi. Saya jadi tidak enak karena terlihat sangat kucel di depan narasumber. Cara berpakaiannya unik dan menarik. Ia bekerja di perusahaan tekstil dan datang bersama pacarnya. Ia memesan makanan dan menyuruh saya memesan juga. Kami memulai wawancara sambil menunggu pesanan datang. Recorder saya nyalakan.
Pesanan makanan datang dan kami mem-pause wawancara. Ia bercakap-cakap dengan pacarnya dan bertanya-tanya juga kepada saya. Entah mengapa saya berkata kepadanya hari itu saya baru saja putus dengan pacar. Saya yang salah, saya menyuruhnya pergi, dan ia benar pergi. Bunga men-stabilo ucapan saya kepada pacarnya, “Tuh.. cewek tuh emang begitu. Kalo dia ngomong minta kamu pergi, sebenarnya nggak pengen kamu benar pergi.” Saya tersenyum. Memang benar begitu.
Wawancara kami lanjutkan. Pukul 9 selesai dan Bunga memberi saya print-out tesisnya yang ia print di kantor. “Saya khawatir sedikit lupa, jadi saya print di kantor sebelum ke sini. Buat kamu saja.”, ujarnya. Ia juga mentraktir saya. Saya merasa ia bersikap hangat sekali ketika saya mengalami hari yang dingin.
Seusai wawancara, tantangan berikutnya adalah bagaimana-pulang-ke-jatinangor-dan-mengetik-itu-semua. Ya ya saya ulangi tidak ada kendaraan umum hari itu. Mereka semua mogok kerja. Saya berjalan, entah sejauh apa, dengan hujan rintik-rintik. Hingga akhirnya, lagi-lagi seorang Bapak menghampiri saya menawarkan jasa ojek ke Jatinangor dari Jalan Soekarno Hatta. Tiba-tiba hujan turun deras. Haha keren banget emang. Saya basah kuyup sampai kosan. Waktu menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Tidak ada waktu untuk mandi dan keramas. Saya hanya ganti baju dan mengeringkan rambut.
Mendengarkan recorder, membaca lagi tesis, dan membuat tulisan hingga pagi waktu mengumpulkan tugas tiba. Saya ingin menulis refleksi ini kepada Pak Sahala namun ternyata saya tidak punya waktu untuk menuliskan refleksi supaya terkumpul sesuai jam deadline. Kalau mengingat hari itu, saya suka berkata “Wow” sendiri kepada diri saya. Tulisan saya memang jelek tapi prosesnya tidak begitu jelek. Saya tidak menyerah saat itu.
Terima kasih, untuk Bapak Wawan Ridwan Baihaki yang memberi pelajaran pada saya bahwa tidak ada gunanya menjadi introvert, pentingnya menjadi orang yang bisa menghargai orang lain dan melakukan komunikasi, mengingatkan bahwa waktu buat seseorang relatif harganya, kadang hal yang kamu sepelekan sesungguhnya menentukan hidup matinya seseorang maka dari itu penting sekali mempunyai integritas.
Terima kasih, untuk Bunga Sari Siregar. Kamu narasumber yang paling saya ingat meski banyak orang yang telah saya wawancara.
God, thank you for everything, for all the good news and the bad news..
Namun, kisah paling menarik di semester 5 adalah masa-masa PL4 di mana Bapak Sahala (dosen) menugaskan untuk menulis feature yang bersumber dari tesis/disertasi. Beurraattt. Saya selalu bergerak lambat dalam tugas. Teman-teman yang bergerak cepat sudah terlebih dahulu mendapat tesis maupun disertasi alumni UNPAD. Namun, jumlah tesis/disertasi tersebut terbatas karena Pak Sahala memberi batasan kebaruan tesis/disertasi.
Kami yang tidak kedapatan tesis/disertasi UNPAD mencari ke universitas lain di Bandung. Tentu saja, universitas di luar kota Bandung pun boleh, hanya saja akan sulit untuk mewawancarai si pembuat tesis/disertasi karena tempat tinggal mereka tersebar di Nusantara. Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menjadi pilihan pertama saya, mengingat (mungkin) otak saya masih bisa mencerna tema-tema pendidikan. Bapak perpustakaan di UPI sangat baik. Makasih Bapak atas kebaikannya dan membolehkan saya membawa pulang katalog tesis/disertasi. Sayang, ternyata tidak ada tesis/disertasi yang sesuai dengan persyaratan batasan waktu kebaruan sesuai persyaratan dosen saya.
Saya beralih ke ITB. Fakultas Seni Rupa dan Desain, saya mengincar tesis/disertasi alumni mereka mengingat sangat mustahil saya mengkaji Ilmu Alam maupun Teknik mereka. Bisa-bisa mencret nih otak. Terimakasih buat Naila yang telah menemani saya sampai menemukan perpustakaan FSRD. Terima kasih juga buat Sahrul yang memberi bantuan berupa referensi. Berharap ada tesis/disertasi yang sesuai dengan kapabilitas otak maupun minat, akhirnya saya menemukan tesis ANALISIS KONTEN GAMBAR PESERTA DIDIK DALAM MATA PELAJARAN SENI RUPA DI TINGKAT SEKOLAH MENENGAH ATAS karya WAWAN RIDWAN BAIHAKI.
Susah payah saya (akhirnya) mampu menghubungi Pak Wawan. Kami buat janji untuk wawancara, h-1 sebelum pengumpulan tugas. Saya sudah meminta hari lain agar tidak mepet namun Pak Wawan tidak bisa. Saya pun setuju untuk wawancara di hari h-1 deadline. Berhari-hari saya bolak-balik ke ITB untuk mempelajari tesis Pak Wawan (skripsi/tesis/disertasi tidak boleh dipinjamkan keluar perpus maupun difotokopi). Saya juga bertemu Eci yang sering ditemani pacarnya di sana =) Walaupun ngantuk membaca tesis, saya mencatat sana-sini dan membuka lagi buku Komunikasi Visual yang saya miliki sejak semester 2.
Hari untuk wawancara tiba, saya sudah menyiapkan daftar pertanyaan dan mengosongkan jadwal. Pak Wawan menjanjikan wawancara di kantornya, Jl. A. H. Nasution no.27, Ujungberung Bandung. Oke, hal tersebut masih agak kabur untuk mencari alamat. Namun tidak apa-apa yang perlu saya lakukan adalah menelusuri UjungBerung (Jl. A. H. Nasution) dan mencari gedung yang bernomor 27. Kami janjian wawancara sekitar pukul 10.
Pacar saya (waktu itu saya masih punya pacar) mengantarkan saya mencari alamat kantor Pak Wawan. Sempat bingung karena nomor ganjil biasanya berderet di sisi kiri dan alamat nomor genap berjajar di sisi kanan jalan Ujungberung. Oke, kita udah ngelewatin kantor dengan nomor alamat yang disebutkan Pak Wawan. Namun tidak ada gedung di sana dan juga tidak ada rumah dengan nomor 27. Saya bertanya-tanya tentang bentuk kantor Pak Wawan, mungkin saja bentuknya tidak mencolok dan terlewat oleh pandangan mata. Saya dan pacar bolak-balik menyusuri Jl. A.H. Nasution hingga akhirnya logika saya berjalan, Jl. A.H. Nasution nomor 27 itu adalah sebuah sekolah. SMAN 24. Ya, tidak salah lagi, karena samping kiri kanan sekolah itu nomor ganjil sebelum dan sesudah 27.
Entah mengapa, perasaan saya mulai nggak enak mengingat cara pendiskripsian si Pak Wawan yang menyulitkan. Mengapa ia tidak bilang saja bahwa ia bekerja di SMAN 24? Guru? Atau apakah beliau? Mengapa tidak memilih cara yang memudahkan seseorang untuk mencari alamat kantornya? Saya mendatangi petugas keamanan sekolah tersebut, bertanya apakah ada seorang bernama Pak Wawan bekerja di sekolah tersebut. Pak satpam mengiyakan. Pak Wawan adalah guru seni rupa di SMAN 24. Ok. Dia seorang guru.
Saya bertanya, apakah saya bisa bertemu dengannya karena saya ada janji wawancara dengan Pak Wawan. Satpam bilang, Pak Wawan belum datang dan tidak tahu apakan akan datang. Karena guru-guru lain sudah datang dan hanya Pak Wawan yang belum sampai sekolah. Saya menunggu sebentar dan menelepon HP Pak Wawan. Susah sekali tersambung. Hingga akhirnya tersambung dan diangkat seorang gadis kecil di seberang sana. Ia berkata papanya (Pak Wawan) keluar kota untuk beberapa hari, baru saja pagi ini berangkat, dan HPnya ketinggalan di rumah. Saya lemas. Dan lebih buruknya, saya berpraduga jelek.
Aneh sekali Pak Wawan ini, sejak saya mengontak dan berbicara di HPnya, beliau berbicara dengan nada tidak ramah sama sekali, terkesan boring dengan dunia (maaf saya hanya bicara tentang kesan yang saya tangkap). Ia juga mengatakan alamat kantor dengan cara yang menyulitkan, tidak memberi tahu dengan lugas bahwa ia guru di SMAN 24 yang mana akan JAUH memudahkan saya menemukan beliau. Dan di hari kami berjanji bertemu untuk wawancara, tiba-tiba paginya ia ke keluar kota tanpa memberi saya kabar dan seorang gadis kecil yang tidak lain adalah anaknya memberitahu saya bahwa HPNYA KETINGGALAN DI RUMAH. Padahal ia keluar kota untuk beberapa hari dan bukankah HP adalah barang penting untuk orang-orang bepergian tersebut?
Saya tidak bisa menghindari pikiran-pikiran negatif yang merasuki saya. Oke mari berpikir positif, mungkin hari itu adalah hari tersulit buat Pak Wawan sampai-sampai ia tidak punya waktu untuk mengabari saya. Some say, silence is golden. But for me, in some ways, silence means nothing but dullness (hey Dina, kau seperti bicara pada seseorang? Tidak ada, Sobat. Hanya perasaanmu).Saya akan JAUH, JAUH, JAUH, merasa lebih baik apabila Pak Wawan membatalkan wawancara dengan memberi kabar sebelumnya, sekalipun beliau membatalkan hari ini. Saya merasa ditelantarkan, tidak dihargai, dan oh yeah lengkap sudah. Beginikah kelakukan lulusan Institut Terbaik Bangsa????
Bunga yang seperti Bunga
Saya tiba-tiba merasa lelah sekali. Suasana hati sangat kacau. Mengingat betapa saya sudah sangat mempersiapkan hari ini dengan seminggu lebih bolak-balik ke ITB, menghabiskan berjam-jam di perpus ITB untuk mempelajari tesis seseorang yang bahkan tidak punya integritas. Kenyataan yang lebih menyakitkan, yang melakukannya adalah lulusan universitas ternama dan sekarang beliau seorang pengajar. Sungguh ‘teladan yang bagus’.
Saya berkata pada pacar saya, saya hanya ingin pulang dan menghabiskan waktu sendiri hari ini. Entah dengan menangis, berpikir , atau tidur seharian. Ia diam saja. Namun, tak lama setelah mengucapkan itu, terbersit di pikiran saya bahwa hari ini belum berakhir. Saya bisa saja mencari tesis baru, menghubungi si pembuat tesis, dan mewawancaranya hari ini juga. Toh, saya pikir saya sudah mengalami yang terburuk, hal seburuk apapun lagi tak akan terlalu terasa. Ya, baiknya begitu. Semuanya nothing to lose buat saya. Selama hari belum berakhir.
Saya bilang kepada pacar saya, tinggalkan saya di sini. Dia tidak setuju dan ingin mengantar saya. Tidak bisa. Saya sedang kacau dan tidak ingin seorang pun berada di dekat saya. Akhirnya kami bertengkar hebat hingga ia benar meninggalkan saya. Mudah saja membuat orang meninggalkan saya, sakiti saja dengan perkataan yang menyakitkan. Saya sungguh, tidak ingin seorang pun melihat saya dalam keadaan yang kacau makanya saya ingin ia pergi.
Lalu saya naik angkutan umum ke ITB, menuju bagian akademik menanyakan katalog tesis/disertasi yang bisa saya lihat, menelepon orang-orang yang kemungkinan bisa saya wawancara. Banyak yang tidak bisa, sedang ke luar kota, ke luar negeri, hanya ada nomor rumah tidak ada nomor HP, orangnya sudah diwawancara anak Jurnal lain, dan sebagainya. Hingga akhirnya saya bisa menghubungi dan berbicara dengan seorang bernama Bunga.
Bunga Sari Siregar, begitulah namanya. Lulusan s2 desain ITB dan ia setuju untuk saya wawancara hari itu juga. Saya merasa ada harapan, kembali bersemangat. Kami pun membuat janji wawancara malam sekitar pukul 7 atau 8 di restoran yang terkenal dengan menu mi acehnya di Buah Batu. Saya kembali ke perpus FSRD, menanyakan tesis Bunga kepada Bapak Perpus dan mempelajarinya. Tesisnya menarik. Saya menghabiskan waktu di sana hingga perpus tutup, sekitar pukul 5 sore.
Lalu saya bertemu Eby, dia baru saja selesai mewawancarai narasumber dan hendak pulang ke Jatinangor. Saya baru akan mewawancara narasumber saya beberapa jam lagi. Oke. Nggak apa-apa. Oh, crap, tiba-tiba saja semua kendaraan umum di Kota Bandung berdemonstrasi atas kehadiran Trans Metro Bandung. Saya mencari taksi, tapi tampaknya semua taksi mendapat penumpangnya hari itu. Tapi penumpangnya bukan saya.
Hingga akhirnya seorang bapak menawarkan jasa ojek sampai Buah Batu. Saya tiba di restoran mie Aceh itu sekitar magrib. Memesan minum. Menunggu narasumber datang, saya pergi ke toilet dan bercermin. Sungguh tidak mengenakkan untuk dilihat muka saya saat itu. cuci muka pun tidak berpengaruh. Yah, hari yang panjang buat saya. Narasumber saya mengecewakan saya, saya putus sama pacar, dan setelahnya saya langsung menghabiskan waktu dengan membaca tesis 200 halaman.
Bunga datang sekitar pukul setengah 8. Ia cantik dan berdandan rapi. Saya jadi tidak enak karena terlihat sangat kucel di depan narasumber. Cara berpakaiannya unik dan menarik. Ia bekerja di perusahaan tekstil dan datang bersama pacarnya. Ia memesan makanan dan menyuruh saya memesan juga. Kami memulai wawancara sambil menunggu pesanan datang. Recorder saya nyalakan.
Pesanan makanan datang dan kami mem-pause wawancara. Ia bercakap-cakap dengan pacarnya dan bertanya-tanya juga kepada saya. Entah mengapa saya berkata kepadanya hari itu saya baru saja putus dengan pacar. Saya yang salah, saya menyuruhnya pergi, dan ia benar pergi. Bunga men-stabilo ucapan saya kepada pacarnya, “Tuh.. cewek tuh emang begitu. Kalo dia ngomong minta kamu pergi, sebenarnya nggak pengen kamu benar pergi.” Saya tersenyum. Memang benar begitu.
Wawancara kami lanjutkan. Pukul 9 selesai dan Bunga memberi saya print-out tesisnya yang ia print di kantor. “Saya khawatir sedikit lupa, jadi saya print di kantor sebelum ke sini. Buat kamu saja.”, ujarnya. Ia juga mentraktir saya. Saya merasa ia bersikap hangat sekali ketika saya mengalami hari yang dingin.
Seusai wawancara, tantangan berikutnya adalah bagaimana-pulang-ke-jatinangor-dan-mengetik-itu-semua. Ya ya saya ulangi tidak ada kendaraan umum hari itu. Mereka semua mogok kerja. Saya berjalan, entah sejauh apa, dengan hujan rintik-rintik. Hingga akhirnya, lagi-lagi seorang Bapak menghampiri saya menawarkan jasa ojek ke Jatinangor dari Jalan Soekarno Hatta. Tiba-tiba hujan turun deras. Haha keren banget emang. Saya basah kuyup sampai kosan. Waktu menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Tidak ada waktu untuk mandi dan keramas. Saya hanya ganti baju dan mengeringkan rambut.
Mendengarkan recorder, membaca lagi tesis, dan membuat tulisan hingga pagi waktu mengumpulkan tugas tiba. Saya ingin menulis refleksi ini kepada Pak Sahala namun ternyata saya tidak punya waktu untuk menuliskan refleksi supaya terkumpul sesuai jam deadline. Kalau mengingat hari itu, saya suka berkata “Wow” sendiri kepada diri saya. Tulisan saya memang jelek tapi prosesnya tidak begitu jelek. Saya tidak menyerah saat itu.
Terima kasih, untuk Bapak Wawan Ridwan Baihaki yang memberi pelajaran pada saya bahwa tidak ada gunanya menjadi introvert, pentingnya menjadi orang yang bisa menghargai orang lain dan melakukan komunikasi, mengingatkan bahwa waktu buat seseorang relatif harganya, kadang hal yang kamu sepelekan sesungguhnya menentukan hidup matinya seseorang maka dari itu penting sekali mempunyai integritas.
Terima kasih, untuk Bunga Sari Siregar. Kamu narasumber yang paling saya ingat meski banyak orang yang telah saya wawancara.
God, thank you for everything, for all the good news and the bad news..
2 comments:
semangat yang luar biasa...
semoga sukses ya..?
Sabar aja sama pak wawan mah, emang gitu ��������
Post a Comment