daily thoughts and activities

Sunday, March 21, 2010

“(Semua) manusia tuh kotor ya, penuh lumpur”, ujar saya kepada seorang teman beberapa hari yang lalu.

Tapi postingan ini bukan tentang hal-hal kotor maupun penuh kebencian. Bukan tentang kepura-puraan yang buat kita muak dengan orang lain maupun dengan diri sendiri. Postingan ini ingin bicara tentang hal indah –walau si penulis tidak tahu bagaimana membuat kata-kata supaya terdengar indah :b

Manusia memang kotor. Tapi kita selalu bisa membersihkan diri kalau kita mau. Salah satunya dengan maaf. Tidak perlu menunggu lebaran datang untuk saling memaafkan. Tapi juga jangan berharap maaf dari seseorang bisa datang dengan instan.

Tidak ada yang instan di dunia ini (kecuali pop mie mungkin. Tinggal seduh, jadi! Haha). Jangan pernah pesimis dengan kata “maaf”. Tapi juga jangan terlalu mengobral kata tersebut. Maaf yang tulus tidak sekedar di mulut saja, atau satu kata yang terkirim melalui sms, email, maupun yahoo messenger.

Maaf juga bukan tentang kamu bersujud di depan orang yang kamu mohon-mohon supaya dirimu dimaafkan. Maaf bukan menyesali kejadian yang telah lewat. Maaf bukan menyalahkan diri sendiri. Maaf bukan tentang itu, tidak hanya tentang itu, dan lebih dari itu. Ya, kata maaf saja memang tidak cukup.

Maaf. Dan saya akan memperbaiki diri.

Tuesday, March 16, 2010

I wrote this for something.. but something, it never came. Waktu itu Februari yang ribet. Tanggal 15 ngurusin foto, 16 Placebo, 17 packing (ugh!), 18 pindahan, 19 launching kuliah (lagi). Bener-bener deh.. jadinya saya baru bisa nulis setelah tanggal itu. udah telat, tulisan jelek, foto nge-blur.. tapi saya nulis sepenuh hati loh. Menyenangkan rasanya. Anggap saja, ini dari fans untuk fans =)

--

Placebo Sukses Menyihir Penonton


SUPER! Hanya itu komentar saya apabila ditanya teman tentang konser Placebo 16 Februari lalu. Sebagai salah satu dari penggemar Placebo, konser Placebo yang bertempat di Tennis Indoor Senayan lalu merupakan konser yang sudah lama saya nantikan. Saya datang ke venue pukul 5 sore dan antrian mulai terlihat pada pukul setengah enam sore.

Selama mengantri (sendirian) saya mendengar percakapan fans Placebo yang berasal dari Bandung. Hal tersebut dapat saya ketahui dari bahasa Sunda yang mereka gunakan. Yang cukup mengejutkan, ternyata ada juga fans yang berasal dari Surabaya dan menginap semalam di hotel demi melihat konser Placebo. Wah, saat mengantri saja saya jadi begitu bersemangat.

Konser malam itu dibuka dengan penampilan DJ Electronic Groove. DJ tersebut cukup sukses memanaskan penonton selama beberapa menit. Hingga akhirnya penonton terlihat mulai tidak sabar untuk menonton pertunjukan sesungguhnya malam itu. DJ berakhir, kru Placebo yang terdiri dari bule-bule memasuki panggung, menyiapkan set untuk Placebo. Saat itu pukul 20.15, tak lama drummer Steve Forrest, bassis/gitaris Stefan Olsdal, dan vokalis/gitaris Brian Molko satu persatu muncul ke panggung diiringi dengan additional players. Intro For What It’s Worth mengalir. Penonton mulai histeris.

Molko tampil simple dengan busana hitamnya sedangkan Olsdal memakai kemeja hitam dipadukan dengan celana silver ketat. Steve Forrest tampil cuek dengan kaos lengan buntung yang memamerkan tato di tubuhnya. Placebo memakai tiga orang sebagai additional players dan yang paling menonjol adalah seorang wanita cantik multi-instrumentalist yang berbusana putih.

Lagu For What It’s Worth sangat cocok menjadi lagu pertama dalam setlist. Intronya yang menghentak dengan beat yang membuat penonton tidak dapat menahan diri untuk bergoyang. Ya, penonton malam itu begitu ekspresif. Suasana Tennis Indoor yang terisi 80% dari kapasitasnya menjadi meriah. Stefan Olsdal terlihat beberapa kali tersenyum melihat crowd yang bersemangat.

Setelah For What It’s Worth, setlist yang memacu adrenalin penonton pun dimainkan tanpa jeda. Ashtray Heart, Battle For The Sun, Soul Mates, Speak In Tounges, Cops, Every You Every Me, Special Needs, Breath Underwater, Julien, Neverending Why, Come Undone, Devil In The Details, Meds, Song To Say Goodbye, Special K, sampai Bitter End. Dari 21 lagu yang dimainkan terdapat 10 di antaranya berasal dari album teranyar Battle For The Sun. Mungkin fans yang berharap lagu favoritnya dari album Without You I'm Nothing dimainkan, sedikit kecewa dengan setlist malam itu. Tapi semuanya dapat terobati dengan lagu-lagu hits dari album Black Market Music dan Sleeping With Ghosts yang dimainkan dengan bersih dan berenergi .

Satu hal yang sangat menonjol malam itu, selain penampilan Placebo sendiri, adalah kualitas sound-nya. Sangat jempolan. Semua elemen mulai dari gitar, biola, keyboard, drum, bass, hingga vokal terdengar begitu jernih, nyaring tanpa gangguan.

Sebelumnya, promoter Java Musikindo, Adrie Subono, telah mempromosikan kecanggihan konser Placebo melalui jejaring sosial Twitter. Dikatakan bahwa Placebo membawa kargo seberat 7 ton untuk sound system. Memang, Placebo adalah band yang sangat memperhatikan kualitas sound.

Konser Placebo menjadi luar biasa didukung dengan panggung berukuran 18 x 10 m dengan tata lampu yang fenomenal sebesar 250 ribu watt dan sound system sebesar 60 ribu watt. Belum lagi layar besar berisi klip-klip yang menguatkan kesan tiap lagu.

Placebo mempertunjukkan penampilan yang all-out. Molko maupun Olsdal seringkali berganti gitar di tiap lagu. Meski minim interaksi, nyatanya sihir Molko cs. ampuh membius penonton hingga terbawa dalam Placeboworld. Setelah Bitter End selesai dimainkan, anggota Placebo pergi meninggalkan panggung. Trik klasik dalam konser. Penonton pun bersahut-sahutan berteriak “we want more..we want more”.

Molko cs kembali muncul di panggung. Bright Lights menggebrak. Penonton kembali semarak. Molko cs. terlihat lebih rileks. Terdapat 4 buah lagu yang dinyanyikan sebagai encore, yakni Bright Lights, Trigger Happy, Infra-red, dan Taste In Men. Pemilihan lagu Taste In Men sebagai penutup konser benar-benar brilian. Wanita cantik multi-instrumentalist yang menjadi additional player Placebo memainkan alat musik theramin yang benar-benar hanya digunakan untuk lagu Taste In Men. Lagu tersebut melekatkan kesempurnaan konser malam itu sehingga mencapai klimaks.

Molko cs. melakukan penghormatan trakhir kepada penonton yang hadir di Tennis Indoor Senayan malam itu. Steve Forrest membuka dan melemparkan kausnya ke arah penonton. 21 lagu 115 menit. Berakhir sudah malam magis bersama Placebo diiringi dengan tepuk tangan meriah dan wajah puas penonton sekaligus hati yang sedih karena konser spektakuler itu telah berakhir.

Really a great concert this year =)

Sunday, March 14, 2010

Setiap PL (praktik lapangan) di kelas Penulisan Feature menyimpan kisah menarik tersendiri. Contohnya feature mengenai kemiskinan, saya mengangkat tentang petani gurem Jatinangor yang dalam prosesnya, saya lebih bisa memahami mereka *walau nggak bisa bantu :(

Namun, kisah paling menarik di semester 5 adalah masa-masa PL4 di mana Bapak Sahala (dosen) menugaskan untuk menulis feature yang bersumber dari tesis/disertasi. Beurraattt. Saya selalu bergerak lambat dalam tugas. Teman-teman yang bergerak cepat sudah terlebih dahulu mendapat tesis maupun disertasi alumni UNPAD. Namun, jumlah tesis/disertasi tersebut terbatas karena Pak Sahala memberi batasan kebaruan tesis/disertasi.

Kami yang tidak kedapatan tesis/disertasi UNPAD mencari ke universitas lain di Bandung. Tentu saja, universitas di luar kota Bandung pun boleh, hanya saja akan sulit untuk mewawancarai si pembuat tesis/disertasi karena tempat tinggal mereka tersebar di Nusantara. Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menjadi pilihan pertama saya, mengingat (mungkin) otak saya masih bisa mencerna tema-tema pendidikan. Bapak perpustakaan di UPI sangat baik. Makasih Bapak atas kebaikannya dan membolehkan saya membawa pulang katalog tesis/disertasi. Sayang, ternyata tidak ada tesis/disertasi yang sesuai dengan persyaratan batasan waktu kebaruan sesuai persyaratan dosen saya.

Saya beralih ke ITB. Fakultas Seni Rupa dan Desain, saya mengincar tesis/disertasi alumni mereka mengingat sangat mustahil saya mengkaji Ilmu Alam maupun Teknik mereka. Bisa-bisa mencret nih otak. Terimakasih buat Naila yang telah menemani saya sampai menemukan perpustakaan FSRD. Terima kasih juga buat Sahrul yang memberi bantuan berupa referensi. Berharap ada tesis/disertasi yang sesuai dengan kapabilitas otak maupun minat, akhirnya saya menemukan tesis ANALISIS KONTEN GAMBAR PESERTA DIDIK DALAM MATA PELAJARAN SENI RUPA DI TINGKAT SEKOLAH MENENGAH ATAS karya WAWAN RIDWAN BAIHAKI.

Susah payah saya (akhirnya) mampu menghubungi Pak Wawan. Kami buat janji untuk wawancara, h-1 sebelum pengumpulan tugas. Saya sudah meminta hari lain agar tidak mepet namun Pak Wawan tidak bisa. Saya pun setuju untuk wawancara di hari h-1 deadline. Berhari-hari saya bolak-balik ke ITB untuk mempelajari tesis Pak Wawan (skripsi/tesis/disertasi tidak boleh dipinjamkan keluar perpus maupun difotokopi). Saya juga bertemu Eci yang sering ditemani pacarnya di sana =) Walaupun ngantuk membaca tesis, saya mencatat sana-sini dan membuka lagi buku Komunikasi Visual yang saya miliki sejak semester 2.

Hari untuk wawancara tiba, saya sudah menyiapkan daftar pertanyaan dan mengosongkan jadwal. Pak Wawan menjanjikan wawancara di kantornya, Jl. A. H. Nasution no.27, Ujungberung Bandung. Oke, hal tersebut masih agak kabur untuk mencari alamat. Namun tidak apa-apa yang perlu saya lakukan adalah menelusuri UjungBerung (Jl. A. H. Nasution) dan mencari gedung yang bernomor 27. Kami janjian wawancara sekitar pukul 10.

Pacar saya (waktu itu saya masih punya pacar) mengantarkan saya mencari alamat kantor Pak Wawan. Sempat bingung karena nomor ganjil biasanya berderet di sisi kiri dan alamat nomor genap berjajar di sisi kanan jalan Ujungberung. Oke, kita udah ngelewatin kantor dengan nomor alamat yang disebutkan Pak Wawan. Namun tidak ada gedung di sana dan juga tidak ada rumah dengan nomor 27. Saya bertanya-tanya tentang bentuk kantor Pak Wawan, mungkin saja bentuknya tidak mencolok dan terlewat oleh pandangan mata. Saya dan pacar bolak-balik menyusuri Jl. A.H. Nasution hingga akhirnya logika saya berjalan, Jl. A.H. Nasution nomor 27 itu adalah sebuah sekolah. SMAN 24. Ya, tidak salah lagi, karena samping kiri kanan sekolah itu nomor ganjil sebelum dan sesudah 27.

Entah mengapa, perasaan saya mulai nggak enak mengingat cara pendiskripsian si Pak Wawan yang menyulitkan. Mengapa ia tidak bilang saja bahwa ia bekerja di SMAN 24? Guru? Atau apakah beliau? Mengapa tidak memilih cara yang memudahkan seseorang untuk mencari alamat kantornya? Saya mendatangi petugas keamanan sekolah tersebut, bertanya apakah ada seorang bernama Pak Wawan bekerja di sekolah tersebut. Pak satpam mengiyakan. Pak Wawan adalah guru seni rupa di SMAN 24. Ok. Dia seorang guru.

Saya bertanya, apakah saya bisa bertemu dengannya karena saya ada janji wawancara dengan Pak Wawan. Satpam bilang, Pak Wawan belum datang dan tidak tahu apakan akan datang. Karena guru-guru lain sudah datang dan hanya Pak Wawan yang belum sampai sekolah. Saya menunggu sebentar dan menelepon HP Pak Wawan. Susah sekali tersambung. Hingga akhirnya tersambung dan diangkat seorang gadis kecil di seberang sana. Ia berkata papanya (Pak Wawan) keluar kota untuk beberapa hari, baru saja pagi ini berangkat, dan HPnya ketinggalan di rumah. Saya lemas. Dan lebih buruknya, saya berpraduga jelek.

Aneh sekali Pak Wawan ini, sejak saya mengontak dan berbicara di HPnya, beliau berbicara dengan nada tidak ramah sama sekali, terkesan boring dengan dunia (maaf saya hanya bicara tentang kesan yang saya tangkap). Ia juga mengatakan alamat kantor dengan cara yang menyulitkan, tidak memberi tahu dengan lugas bahwa ia guru di SMAN 24 yang mana akan JAUH memudahkan saya menemukan beliau. Dan di hari kami berjanji bertemu untuk wawancara, tiba-tiba paginya ia ke keluar kota tanpa memberi saya kabar dan seorang gadis kecil yang tidak lain adalah anaknya memberitahu saya bahwa HPNYA KETINGGALAN DI RUMAH. Padahal ia keluar kota untuk beberapa hari dan bukankah HP adalah barang penting untuk orang-orang bepergian tersebut?

Saya tidak bisa menghindari pikiran-pikiran negatif yang merasuki saya. Oke mari berpikir positif, mungkin hari itu adalah hari tersulit buat Pak Wawan sampai-sampai ia tidak punya waktu untuk mengabari saya. Some say, silence is golden. But for me, in some ways, silence means nothing but dullness (hey Dina, kau seperti bicara pada seseorang? Tidak ada, Sobat. Hanya perasaanmu).Saya akan JAUH, JAUH, JAUH, merasa lebih baik apabila Pak Wawan membatalkan wawancara dengan memberi kabar sebelumnya, sekalipun beliau membatalkan hari ini. Saya merasa ditelantarkan, tidak dihargai, dan oh yeah lengkap sudah. Beginikah kelakukan lulusan Institut Terbaik Bangsa????


Bunga yang seperti Bunga

Saya tiba-tiba merasa lelah sekali. Suasana hati sangat kacau. Mengingat betapa saya sudah sangat mempersiapkan hari ini dengan seminggu lebih bolak-balik ke ITB, menghabiskan berjam-jam di perpus ITB untuk mempelajari tesis seseorang yang bahkan tidak punya integritas. Kenyataan yang lebih menyakitkan, yang melakukannya adalah lulusan universitas ternama dan sekarang beliau seorang pengajar. Sungguh ‘teladan yang bagus’.

Saya berkata pada pacar saya, saya hanya ingin pulang dan menghabiskan waktu sendiri hari ini. Entah dengan menangis, berpikir , atau tidur seharian. Ia diam saja. Namun, tak lama setelah mengucapkan itu, terbersit di pikiran saya bahwa hari ini belum berakhir. Saya bisa saja mencari tesis baru, menghubungi si pembuat tesis, dan mewawancaranya hari ini juga. Toh, saya pikir saya sudah mengalami yang terburuk, hal seburuk apapun lagi tak akan terlalu terasa. Ya, baiknya begitu. Semuanya nothing to lose buat saya. Selama hari belum berakhir.

Saya bilang kepada pacar saya, tinggalkan saya di sini. Dia tidak setuju dan ingin mengantar saya. Tidak bisa. Saya sedang kacau dan tidak ingin seorang pun berada di dekat saya. Akhirnya kami bertengkar hebat hingga ia benar meninggalkan saya. Mudah saja membuat orang meninggalkan saya, sakiti saja dengan perkataan yang menyakitkan. Saya sungguh, tidak ingin seorang pun melihat saya dalam keadaan yang kacau makanya saya ingin ia pergi.

Lalu saya naik angkutan umum ke ITB, menuju bagian akademik menanyakan katalog tesis/disertasi yang bisa saya lihat, menelepon orang-orang yang kemungkinan bisa saya wawancara. Banyak yang tidak bisa, sedang ke luar kota, ke luar negeri, hanya ada nomor rumah tidak ada nomor HP, orangnya sudah diwawancara anak Jurnal lain, dan sebagainya. Hingga akhirnya saya bisa menghubungi dan berbicara dengan seorang bernama Bunga.

Bunga Sari Siregar, begitulah namanya. Lulusan s2 desain ITB dan ia setuju untuk saya wawancara hari itu juga. Saya merasa ada harapan, kembali bersemangat. Kami pun membuat janji wawancara malam sekitar pukul 7 atau 8 di restoran yang terkenal dengan menu mi acehnya di Buah Batu. Saya kembali ke perpus FSRD, menanyakan tesis Bunga kepada Bapak Perpus dan mempelajarinya. Tesisnya menarik. Saya menghabiskan waktu di sana hingga perpus tutup, sekitar pukul 5 sore.

Lalu saya bertemu Eby, dia baru saja selesai mewawancarai narasumber dan hendak pulang ke Jatinangor. Saya baru akan mewawancara narasumber saya beberapa jam lagi. Oke. Nggak apa-apa. Oh, crap, tiba-tiba saja semua kendaraan umum di Kota Bandung berdemonstrasi atas kehadiran Trans Metro Bandung. Saya mencari taksi, tapi tampaknya semua taksi mendapat penumpangnya hari itu. Tapi penumpangnya bukan saya.

Hingga akhirnya seorang bapak menawarkan jasa ojek sampai Buah Batu. Saya tiba di restoran mie Aceh itu sekitar magrib. Memesan minum. Menunggu narasumber datang, saya pergi ke toilet dan bercermin. Sungguh tidak mengenakkan untuk dilihat muka saya saat itu. cuci muka pun tidak berpengaruh. Yah, hari yang panjang buat saya. Narasumber saya mengecewakan saya, saya putus sama pacar, dan setelahnya saya langsung menghabiskan waktu dengan membaca tesis 200 halaman.

Bunga datang sekitar pukul setengah 8. Ia cantik dan berdandan rapi. Saya jadi tidak enak karena terlihat sangat kucel di depan narasumber. Cara berpakaiannya unik dan menarik. Ia bekerja di perusahaan tekstil dan datang bersama pacarnya. Ia memesan makanan dan menyuruh saya memesan juga. Kami memulai wawancara sambil menunggu pesanan datang. Recorder saya nyalakan.

Pesanan makanan datang dan kami mem-pause wawancara. Ia bercakap-cakap dengan pacarnya dan bertanya-tanya juga kepada saya. Entah mengapa saya berkata kepadanya hari itu saya baru saja putus dengan pacar. Saya yang salah, saya menyuruhnya pergi, dan ia benar pergi. Bunga men-stabilo ucapan saya kepada pacarnya, “Tuh.. cewek tuh emang begitu. Kalo dia ngomong minta kamu pergi, sebenarnya nggak pengen kamu benar pergi.” Saya tersenyum. Memang benar begitu.

Wawancara kami lanjutkan. Pukul 9 selesai dan Bunga memberi saya print-out tesisnya yang ia print di kantor. “Saya khawatir sedikit lupa, jadi saya print di kantor sebelum ke sini. Buat kamu saja.”, ujarnya. Ia juga mentraktir saya. Saya merasa ia bersikap hangat sekali ketika saya mengalami hari yang dingin.

Seusai wawancara, tantangan berikutnya adalah bagaimana-pulang-ke-jatinangor-dan-mengetik-itu-semua. Ya ya saya ulangi tidak ada kendaraan umum hari itu. Mereka semua mogok kerja. Saya berjalan, entah sejauh apa, dengan hujan rintik-rintik. Hingga akhirnya, lagi-lagi seorang Bapak menghampiri saya menawarkan jasa ojek ke Jatinangor dari Jalan Soekarno Hatta. Tiba-tiba hujan turun deras. Haha keren banget emang. Saya basah kuyup sampai kosan. Waktu menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Tidak ada waktu untuk mandi dan keramas. Saya hanya ganti baju dan mengeringkan rambut.

Mendengarkan recorder, membaca lagi tesis, dan membuat tulisan hingga pagi waktu mengumpulkan tugas tiba. Saya ingin menulis refleksi ini kepada Pak Sahala namun ternyata saya tidak punya waktu untuk menuliskan refleksi supaya terkumpul sesuai jam deadline. Kalau mengingat hari itu, saya suka berkata “Wow” sendiri kepada diri saya. Tulisan saya memang jelek tapi prosesnya tidak begitu jelek. Saya tidak menyerah saat itu.

Terima kasih, untuk Bapak Wawan Ridwan Baihaki yang memberi pelajaran pada saya bahwa tidak ada gunanya menjadi introvert, pentingnya menjadi orang yang bisa menghargai orang lain dan melakukan komunikasi, mengingatkan bahwa waktu buat seseorang relatif harganya, kadang hal yang kamu sepelekan sesungguhnya menentukan hidup matinya seseorang maka dari itu penting sekali mempunyai integritas.

Terima kasih, untuk Bunga Sari Siregar. Kamu narasumber yang paling saya ingat meski banyak orang yang telah saya wawancara.


God, thank you for everything, for all the good news and the bad news..

Saturday, March 13, 2010

Oleh : Dina TSH

Pernah dengar Harajuku Style? Itu lho, sekelompok orang yang menggunakan pakaian aneh meniru gaya jalanan (street style) di Jepang. Di Indonesia sendiri komunitas ini sudah mulai merebak. Event-event yang mempertemukan atau melombakan gaya pakaian Harajuku Style ini diadakan tiap tahunnya.

Bunga Sari Siregar, lulusan S2 Desain Institut Teknologi Bandung (ITB) ini mengangkat Harajuku Style sebagai tesisnya yang berjudul “Kajian Visual Harajuku Style di Indonesia Ditinjau Melalui Pendekatan Unsur – Unsur Fashion”. Gaya Harajuku telah mempengaruhi dunia termasuk Indonesia. Sejauh mana gaya Harajuku tersebut masuk di Indonesia? Bunga mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan tesisnya yang setebal dua ratus lebih halaman.

Harajuku, merupakan salah satu sentral street style di Jepang yang kini sangat menarik minat anak muda dunia, termasuk Indonesia. Gaya, pilihan warna, dan motif pakaian yang dikenakan para kaum muda di seputar Harajuku banyak ditiru oleh kalangan muda di Indonesia. Umumnya, mereka memiliki perhatian khusus pada produk budaya pop Jepang seperti anime, cosplay, komik, makanan, film, majalah, dan juga musik serta bahasa Jepang. Para kaum muda ini hadir membawa produk persilangan budaya baru yang merupakan perpaduan Jepang – Indonesia.

Bunga menjelaskan bahwa Harajuku Style sendiri terbagi menjadi sub-sub gaya, yakni Harajuku Style, Lolita, Visual Kei, Gothic, Cosplay, Ganguro, Gyaru, dan Kogal. Namun sub gaya Harajuku yang masuk di Indonesia antara lain yaitu Harajuku Style, gothic, fruits, visual kei, cosplay, dan Lolita.

“Pada dasarnya fashion Harajuku ini sangat bertolak belakang dengan fashion system masyarakat pada umumnya. Artinya, di Harajuku Style ini kita menemukan fashion system yang baru,” kata Bunga.

Parameter yang digunakan dalam penelitian Harajuku Style ini adalah unsur-unsur fashion, yakni bentuk (silhouette), garis, detail, bahan, tekstur, motif, dan warna. Selain itu digunakan juga prinsip-prinsip fashion meliputi proporsi, keseimbangan, pengulangan, aksentuasi, dan keselarasan.

Harajuku Style mengalami dekonstruksi berbusana, di mana gaya tersebut mengalami pergeseran nilai-nilai, dalam fashion umumnya. “Umumnya baju kan simetri, kalau Harajuku Style itu banyakan asimetri. Antara sebelah kanan dan kiri ukurannya berbeda, sebelah ada tangan, sebelah lagi nggak ada. Kanan pajang, kiri lebih pendek. Sebelah kanan ada kerah, sebelah kiri terbuka,” papar Bunga.

Gaya Harajuku asalnya merupakan pemberontakan dan pelarian, diadopsi menjadi tren yang meriah di sekitar kita. Harajuku, sebuah area di Tokyo, menjadi tempat anak muda berkumpul untuk melepaskan tekanan hidup sehari-hari. Setiap akhir Minggu, mereka berkumpul dan berdandan luar biasa ekstrim. Baju jadi celana, celana jadi baju, sepatu jadi ikat pinggang, baju dari plastik warna-warni, ekspresi gaya Gothic, Lolita, peniruan tokoh-tokoh komik Jepang, manga, dan animasi bertebaran di kawasan ini. Yang penting, mereka menjadi sosok yang berbeda dari kehidupan sehari-hari yang cenderung membosankan.

Tiarma Sirait, fashion artist yang selama tiga tahun menjadi Artist In Residency di Fukuoka Asian Art Museum dalam diskusi Iketaru Harajuku pada 26 September 2006 bertempat di Hall The Japan Foundation Jakarta mengatakan, “fashion cuma alat saja buat mereka untuk melepas stres dan lari dari kepribadian mereka setelah sebelumnya mereka bekerja dengan disiplin.”

Memakai busana ataupun berdandan gaya Harajuku di Indonesia tidak harus merasa memberontak terhadap suatu apapun. Berdasarkan penelitian kepada seratus responden, faktor utama yang memotivasi anak muda Indonesia dalam bergaya Harajuku adalah kebebasan berekspresi. Motivasi lain yakni kreativitas, meningkatkan kepercayaan diri, pemberontakan, dan agar dapat diterima oleh kelompok tertentu.

Visualisasi Harajuku Style Indonesia dalam meniru, mencontoh, dan mengadopsi Harajuku Style tidak bisa sama persis seperti yang di Jepang sana karena ada faktor-faktor tertentu. Faktor yang mempengaruhi totalitas tersebut yakni faktor persediaan barang yang terbatas, faktor ekonomi, faktor agama, iklim, dan lain-lain.

“Kalau di Indonesia, gothic hanya memakai kemeja hitam dan celana hitam. Padahal gothic yang sesungguhnya itu dari atas sampai bawah, mulai dari aksesoris seperti kalung sampai kuteks,” tutur Bunga.

“Saya juga observasi tentang warna. Ternyata bisa diambil kesimpulan bahwa warna Harajuku Style di Jepang lebih bright, lebih panas. Warna-warna panas itu seperti merah, kuning, oranye. Di Indonesia digunakan warna-warna dingin, seperti biru, hijau, putih. Mungkin karena adanya perbedaan iklim,” terangnya. “Dari segi rambut, kalau Harajuku Style di Jepang, mereka mengecat permanen dan mereka sehari-hari seperti itu. Di Indonesia masih temporary, pakai wig atau bahkan rambut biasa aja. Selain itu make-up Harajuku Style Jepang lebih totalitas. Bibir dihitamkan, pakai piercing (tindikan). Kalau di sini anak mudanya nggak berani piercing, karena harus ke sekolah lagi.”

Sub gaya Harajuku Style yang dominan di Indonesia yakni Harajuku Style itu sendiri. Alasannya, konsep lebih bebas, memadu-padankan baju-baju yang sudah ada. Kemudian gothic, nggak hanya di Indonesia, di luar juga sangat suka gothic. Decora/fruits yang lucu. Lolita kayak Pinkan Mambo.

Gaya Harajuku di Indonesia mengalami transformasi. Di mana ketika gaya Harajuku di Jepang merupakan gaya jalanan/street sedangkan di Indonesia gaya tersebut mengalami proses adopsi secara Horizontal-Flow Theory yaitu gaya tersebu diimitasi atau ditiru untuk distribusi massal. Bahkan menjadi Upward-Flow Theory, yaitu gaya tersebut diadopsi oleh kaum muda Indonesia untuk dipakai di acara-acara tertentu saja atau fashion show.

“Gaya Harajuku di Jepang merupakan gaya jalanan. Yang memakai pun bukan kalangan atas seperti buruh, kalangan-kalangan bawah, orang-orang yang tidak berpendidikan. Tapi begitu masuk ke negara-negara lain, seperti Indonesia, hal tersebut malah menjadi panggung massal. Malah jadi tren sehingga sering di-fashion show-kan,” kata Bunga.

Komik dapat dikatakan media awal yang sangat berpengaruh dalam masuknya gaya Jepang dan banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia. Awal 1990-an, PT Elex Media Komputindo meluncurkan komik Jepang, Candy – Candy yang meledak di pasaran. Setelah itu, Elex juga mengeluarkan komik Jepang lain seperti Kungfu Boy, Doraemon. Pengaruh ini semakin merasuk pada dunia remaja ketika didukung oleh filmnya. Kemudian menyusul banyaknya anak muda di Jakarta yang juga demam game online di Jepang seperti Ragnarok, Get Amped, dan Rising Force. Hal ini dibuktikan oleh Andi Suryanto, Executive Editor Lyto, perusahaan pemilik lisensi tiga game asal Jepang tersebut mengatakan bahwa ada empat juta gamer di seluruh Indonesia (Kontan, Rabu 2 Januari 2008, Angga Aliya).

Harajuku Style booming di Indonesia sekitar tahun 2006, yakni ketika Duo Ratu sedang populer di Indonesia. Selain itu ada Agnes Monica, Pinkan Mambo yang bergaya Lolita, dan juga band anak muda J-Rocks. Tidak kalah menarik ternyata tidak hanya publik figur saja yang mengikuti gaya street style ini, tetapi juga kalangan anak muda yang bergabung menjadi suatu komunitas atau dikenal dengan harajuku-ers. “Gaya Harajuku membuat anak muda lebih kreatif dan percaya diri. Tidak peduli terlihat aneh. Yang penting tampil maksimal, unik, dan beda,” ujar Roy, harajuku-ers di Bandung.
Oleh : Dina TSH

Jatinangor sebagai kawasan pendidikan memiliki berbagai universitas mulai dari Universitas Padjadjaran (UNPAD), Univeritas Winaya Mukti (UNWIM), hingga Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN). Tapi, tahukah Anda dibalik kota pendidikan yang dihiasi pertokoan dan kos-kosan mahasiswa tersebut, masih banyak terdapat petani penggarap yang terhimpit sempitnya lahan pertanian?

Bapak Ade Bisri misalnya. Bapak berumur 59 tahun ini adalah salah satu petani penggarap di Desa Sayang, Jatinangor. Ditemani istrinya, Ibu Entar, ia tengah menyelesaikan tugasnya menanam padi di tengah terik matahari. Saat itu kira-kira pukul 12 ketika ia menceritakan kehidupannya sebagai satu dari banyak buruh tani di Desa Sayang.

Sudah lama ia menjadi buruh tani dengan bermodalkan lahan yang diberi oleh seorang dosen dari Bandung. “Saya tidak diberi upah menggarap. Hanya saja, saya harus membayar pajak setahun sekali ke desa. Tapi tanah ini sendiri sebenarnya akan dijadikan kos-kosan. Jadi saya juga hanya sementara menggarap tanah. Hasilnya hanya cukup digunakan untuk makan sehari-hari,” ujar Pak Ade.

Dengan penghasilan tidak menentu setiap bulan, beliau mengaku menerima Bantuan Langsung Tunai dari pemerintah. “Waktu itu orang Kabupaten datang ke rumah dan melihat barang-barang didalamnya. Di rumah saya mah kosong, nggak ada barang apa-apa jadinya saya terdaftar menerima BLT,” ujarnya seraya menunjukkan rumahnya yang terbuat dari bilik.

Rumah dari bilik di atas adalah rumah Bapak Ade Bisri, petani penggarap di Desa Sayang, Jatinangor. Terlihat sang istri sedang beraktivitas di dapur yang terletak di luar rumah pada Selasa (25/11).

Lain halnya dengan Nana Rukmana, pria berusia 46 tahun ini tengah menggarap sawah yang sebenarnya harus dilakukan kakaknya. Namun karena sang kakak sedang ada pekerjaan di bangunan maka ia disuruh menggantikannya dengan upah Rp 15 ribu per hari. Nana tidak memiliki pendapatan tetap. Biasanya ia hanya menunggu apabila ada orang yang memanggilnya untuk bekerja, baik di sawah maupun proyek bangunan. “Kalau musim kemarau kan nggak bisa tani. Ada yang nyuruh ngaduk semen ya saya kerjakan. Kerja apa saja saya kerjakan yang penting halal untuk makan anak-istri,” kata Nana.

Sama halnya dengan Bapak Ade, bapak dua anak ini juga menerima BLT dari pemerintah, ”BLT yang telah saya terima tahun ini Rp 700 ribu. Tahun lalu Rp 1,2 juta setahun. Sebenarnya kepengen saya bukan uang tapi lapangan kerjanya. Pemerintah sekarang jangan ngomong doang. Dibantu rakyat kecil misalnya, satu tahun 1,2 juta, sehari berapa coba. Tapi kalau ada lapangan kerjanya, rakyat bisa dibina. Rakyat kecil jangan dipermainkan terus,” ujar Nana dengan nada tinggi.

Nana Rukmana (46), salah satu dari banyak buruh tani Jatinangor yang sedang menggarap sawah pada Selasa (25/11). Sewaktu-waktu lahan yang sedang digarapnya bisa hilang karena dibangun menjadi kos-kosan atau dijual ke tangan pemilik lain dengan harga tinggi.

Begitulah gambaran nasib para petani di Jatinangor. Memang, Jatinangor bukan lagi daerah pertanian. Namun masih banyak tersisa para petani yang dulunya adalah pemilik dari lahan pertaniannya sendiri. Lihat sekarang, tak seorang pun petani yang memiliki lahan pertanian. Mereka ini disebut buruh tani atau petani gurem.

Menurut Ahli Ekonomi Pertanian Ronnie S. Natawidjaja, fenomena tersebut terjadi karena terbatasnya lahan yang mengakibatkan tingginya harga tanah di Jatinangor. Tanah yang tadinya merupakan lahan pertanian akhirnya berubah fungsi menjadi tempat bisnis.

Semua bermula pada saat berkembang kampus seperti UNPAD, UNWIM di Jatinangor. Kemudian kampus itu didatangi mahasiswa, regional maupun nasional. Timbul berbagai kebutuhan hidup mahasiswa seperti kebutuhan makan, hiburan, dan sebagainya. Hal itu mendorong perkembangan ekonomi yang mendukung.

“Petani diiming-imingi harga jual tanah yang tinggi. Orang-orang kota dari Bandung berdatangan mengatakan “jual saja ke saya sekian juta”. Si petani terdorong menjual dengan harga sekian. Akibatnya yang punya lahan-lahan sekarang adalah orang-orang kota. Karena belum punya uang untuk membangun kos-kosan, sementara tanah tersebut digarapkan petani yang dulunya adalah pemilik,” ujar Ronnie.

Fenomena seperi itu tidak hanya terjadi di Jatinangor tetapi juga di daerah-daerah yang peralihan dari daerah pertanian dengan daerah pertumbuhan ekonomi. “Sebetulnya penggunaan lahan itu ada aturannya. Hanya saja, peraturan Bappeda belum ketat,” lanjutnya.

Pertanian di Jatinangor hanya dilakukan untuk mengisi waktu. Pemilik tanah belum mau membangun sehingga yang dilakukan oleh para petani gurem sifatnya kontemporer. “Setiap saat, lahan pertanian bisa hilang. Kalau tidak dibangun, ya dijual. Jadi, mereka hidupnya tidak ada kepastian. Dan saya rasa, mereka juga sudah tahu. Salah satu resiko tinggal di perbatasan di daerah pertanian dan pertumbuhan perekonnomian. Mereka memang statusnya kelas masyarakat yang tadinya kelas pertanian, tergeser, karena menjual lahannya kemudian uangnya dibelikan motor dan lain-lain kemudian dijual lagi karena kebuthan hingga akhirnya nggak punya apa-apa,” jelas Ronnie.

Ronnie menjelaskan bahwa petani pun bisa kaya, seperti petani di daerah Pangalengan atau Garut. “Ada petani yang punya Mercy, Jeep Wrangler. Memang, ada stereotype di masyarakat bahwa pertanian itu kumuh. Mereka membayangkan bertani itu bekerja di sawah, pake kerbau. Tapi sebetulnya pertanian itu tidak sekumuh itu.”

Harusnya yang dilakukan pemerintah adalah memberi pilihan dan memberi kepastian pada petani yang tinggal di daerah peralihan. Apabila dirinya masih mau bertani, maka dipindahkan ke daerah yang memang menjadi daerah pertanian. Namun, apabila si petani tidak ingin mejadi petani lagi, hendaknya diberi pelatihan keahlian di sektor lain.

“Di daerah-daerah peralihan si petani itu ditingkatkan keahliannya. Diberi informasi, kalau di kota, cara bertaninya sudah beda. Yakni bisa di dalam pot, media yang digantung atau di green house dengan media terkendali. Kalau rumah bertingkat, lahan bertanian juga bisa bertingkat. Tapi kan petani nggak bisa sendiri. Harus diajari. Tugas pemerintah adalah memberikan training-nya.”

Banyak komoditas-komoditas di daerah perkotaan yang bisa menguntungkan seperti bunga-bungaan dan buah-buahan. Hidroponik bisa dijual dengan harga tinggi. Sehingga meski sedikit kalau harga jualnya tinggi masih tetap bisa memberikan kehidupan. “Kalau yang ditanam kacang-kacang tanah juga ya hasilnya sedikit,” imbuhnya.
Dulu sempat naro satu feature yang jadi tugas kuliah Penulisan Feature di blog ini. Nggak nyangka ada yang make buat blognya =) Padahal kalau saya baca feature tersebut kurang ada koherensi antar paragraf. Untuk kuliah tersebut saya mendapat nilai C (Cukup Bagus) T_T

Hahaha. Baiklah saya akan ngulang mata kuliah tersebut semester depan. Nanggung udah pernah naro satu tulisan, sekalian saja saya taruh sisanya di blog ini. Jangan dibaca lah. Kasihan sama yang baca soalnya. Mengingat waktu itu saya ngerjainnya udah dekat banget deadline gila-gilaan. Udah saya ingetin loh ya. Jangan dibaca.

Sunday, March 07, 2010

Halo! Saya ingin menulis hal-hal menarik yang saya temukan di media cetak belum lama ini.

Pertama, saya temukan di majalah Esquire bulan Februari. Wahyu Soeparno Putro yang dulu bernama Dale Collin Smith, dan lebih kita kenal melalui program TVnya, Diary si Bule dan Rahasia Sunnah. Di majalah tersebut, Wahyu yang berasal dan besar di Australia berkata, “Kalau dari kecil semuanya teratur dan rapi justru membosankan. Dilihat dari banyak sisi, Indonesia memang ribet sekali. Tapi justru itu menjadi tantangan. Dari keadaan kacau itu bisa memberi sesuatu yang baru bagi diri sendiri, salah satunya toleransi.”

Hal menarik lainnya saya temukan di Koran Tempo edisi Rabu, 3 Maret 2010. Di kolom Pendapat, terdapat tulisan berjudul “SOS, Selamatkan Sidoarjo!”. Tulisan tersebut memberitahukan bahwa tiga petinggi Lapindo mencalonkan diri sebagai bakal calon Bupati Sidoarjo. Whatda... baca di baca, memasuki tahun keempat, semburan lumpur Lapindo belum terselesaikan secara tuntas dan adil. Bahkan dampak buruk semburan lumpur semakin meluas. Dan Bupati Sidoarjo Win Hendrarso kerap kali mendesak PT Minarak Lapindo Jaya untuk menepati janjinya membayar uang jual-beli aset korban lumpur Lapindo yang tersisa.

Lalu, di edisi yang sama, saya menemukan koreksi tentang berita Koran Tempo hari Minggu. Koreksi berasal dari Sekolah Cikal di Cilandak. Intinya, sekolah tersebut mengemukakan bahwa antikorupsi adalah bagian dari program pendidikan Sekolah Cikal, yang diintegrasikan dalam kurikulum sekolah. Kegiatan kampanye antikorupsi yang mereka lakukan bukan diprakarsai Indonesia Corruption Watch,ICW berperan sebagai pendukung saja. Wow, keren banget ya tuh Sekolah Cikal. Jadi pengen sekolah di sana ^^!

Ya ya sebenarnya yang saya perhatikan (dan juga banyak saya pikir) akhir-akhir ini adalah masalah nasionalisme. Nasionalisme di negara carut-marut kayak Indonesia bukanlah hal yang mudah. Kalo kamu tanya saya nasionalis apa nggak, saya sendiri bingung. Kayaknya nasionalisme saya tuh udah kayak puing-puing berserakan yang siap diterbangkan angin. Well, jadinya akhir-akhir ini saya tertarik dengan isu orang-orang yang berjuang demi kebaikan Indonesia, maupun orang-orang yang berusaha merusaknya (lagi).

Lihat artikel si Wahyu tadi, memang benar sih. Indonesia dari segala aspek, kacau banget. tapi dia melihat dengan sudut pandang yang berbeda, yang tidak terpikirkan oleh saya sebelumnya. Wahyu mencari kesulitan. Karena dari kesulitan itulah yang memperkaya dirinya. Kalo kamu lihat sekeliling, banyak banget yang bisa dilakukan untuk Indonesia ini. Nyari pahala gampang. Coba di negara yang udah rapi dan sejahtera. Mungkin mau bikin pahala kamu harus bikin sesuatu yang ‘wah’ dulu. Bikin yayasan, jadi sukarelawan sesuatu, atau jadi ilmuwan. Karena masyarakatnya sudah ajeg, solid.

Kalo di Indonesia, coba kalo kamu keluar rumah, widih banyak banget kejadian yang kamu alami mulai dari keluar rumah sampai tiba di tempat tujuan. Emosi udah pasti dateng tiap hari. Saya yakin, tiap warga Indonesia punya kejadian yang kerap kali menampar nuraninya. Pahala tersedia di penjuru mata. Juga dosa, gampang banget dibuat. Tapi hei, kalo semua orang buat dosa, kita bikin dosa jadi nggak gitu menantang bukan. Di tempat yang kacau, paling menantang kalo kamu berbuat kebaikan. Karena ngga semua orang mampu melakukannya.

Lalu, tentang petinggi Lapindo yang mencalonkan diri jadi Bupati Sidoarjo. Hmm.. begitulah sifat manusia. Saya baca juga, si Inul Daratista yang kerap kena pencekalan dari berbagai daerah karena goyang nge-bornya, kini mencalonkan diri menjadi Bupati Malang. Haha cerdas. Jadi inget film Watchmen *Singing: Everybody Wants to Rule the World*

Terakhir, Sekolah Cikal. Memang sewajarnya tiap sekolah sekarang punya kurikulum antikorupsi (dan kurikulum yang ngajarin tentang kearifan lokal di daerahnya masing-masing). Lihat aja pelajar jaman sekarang, nyontek udah jadi kebiasan sehari-hari dan nggak tabu lagi. Nyontek merupakan contoh dari perbuatan korupsi kecil-kecilan. Tapi nggak lama lagi yang ‘kecil-kecilan’ itu berubah jadi sesuatu yang besar.

See, kayaknya budaya korupsi masih akan berakar di Indonesia sampe ratusan tahun yang akan datang *optimis dikit dong, Din!

Tuesday, March 02, 2010

Bulan Februari sudah berakhir. Pertama-tama, mari kita panjatkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Javamusikindo yang telah mendatangkan Placebo ke Jakarta. Awesome meeennnnnnn…!!! Meski tahun 2010 masih akan panjang, at least, I already have one of the greatest night this year.. Once more, thank you.

Bulan Februari ini juga tidak selalu menyenangkan. Salah satu temanku berulangtahun di bulan ini. Saya sudah punya sebuah kado dan sebuah kartu ucapan yang dari jauh-jauh hari sudah saya beli. Tapi akhirnya belum saya kasih dan entahlah, apakah akan saya kasih atau nggak. Barang-barang itu teronggok begitu saja di sudut kamarku. Masalahnya sepele; komunikasi. ya ya saya bukan orang yang pandai memulai dan mempertahankan hal-hal seperti komunikasi dengan seseorang, sekalipun orang itu special. Terlebih, dia juga sama saja.

Sometimes I try to reach him via sms but all I get is just ignorance. Haha. Sebenarnya nggak apa-apa dan nggak masalah juga si. Hal-hal yang sifatnya on-off itu biasa banged dalam pertemanan. Dan saya juga suka melakukah hal tersebut terhadap teman-teman saya. hanya saja, kali ini agak berbeda. Kenapa yaa.. saya juga nggak ngerti. Saya gampang banget nurutin emosi. Saya cuma.. capek. Hahaha padahal nggak ngapa-ngapain.

Maksudnya capek dengan semua orang yang saya pertahanin, yang saya pikir, mereka ini udah lama mengenal saya dan tahu diri saya so saya berusaha mempertahankan mereka untuk tetap berada di sekeliling saya. karena saya begitu malas membuat pertemanan baru. Malas memulai hari dari awal. Berkenalan dengan orang baru, “halo, nama saya Dina. Namamu siapa?” abis itu dengan proses yang cukup lama kita jadi dekat dan barulah mengenal satu sama lain. MALES BANGET HARUS KAYAK GITU LAGI.

Tapi, akhirnya saya nyerah juga. Karena betapapun usaha saya untuk membuat mereka tetap berada di sekeliling saya, teman-teman saya itu -yang sudah lama mengenal saya- kita menempuh jalan yang berbeda. Cuma itu problemnya. Sesimpel itu, dan kenapa rasanya complicated banget. ya ya sekarang saya lebih terbuka untuk mengenal dunia, untuk membuka hari yang baru dengan orang baru, kalo kata Paulo Coelho, If you are brave to say "good bye", life will reward you with a new "hello".. well I try to learn that way and make every single moments, kind of interesting to live.. A new “hello” isn’t that bad, I guess.
Oia, bulan Februari juga terkenal dengan bulan penuh cinta. Haha taik kucing banget. Waktu itu 14 Februari malam, seseorang yang sudah lama tidak catch up maupun melakukan komunikasi dengan saya, tiba-tiba sms. Isinya, “tau bahasa inggrisnya jengkol dan pete nggak?” haha gubrak.

Sms yang nggak banget dan nggak penting. tapi, you know, saya juga suka bertingkah nggak penting. See, we’re meant to be, right? Haha jadi ngaco deh. Bukan bukan itu. jadi yang saya soroti adalah: ada banyak malam yang kamu lewati sejak sms terakhir kita, saya juga yakin ada banyak malam yang kamu lewatin di perjalanan Jakarta – Bandung, tapi kenapa kamu sms saya malam itu? haha geer banget ya saya. tapi bener loh, kita jadi smsan lagi kann meski cuma satu malam.

Manusia sebelum melakukan komunikasi selalu punya motif. Baik kamu yang sms saya malam itu maupun saya yang menulis tentang kamu saat ini. Mungkin saya tertarik sama kamu. Mungkin. Tapi kalo saya pikir lagi, betapa hidup ini penuh misteri, saya hanya tidak ingin terburu-buru dengan semua kemungkinan yang tampaknya nyata banget di kepala. Padahal belum tentu kemungkinan di kepalamu itu benar.

Saya selalu suka dengan caramu yang penuh kejutan dan isi kepalamu yang nggak ketebak. Kamu yang muncul tiba-tiba di suatu malam hanya untuk menyapa. Sungguh menyenangkan. Saya juga jadi teringat seseorang yang mendeskripsikan saya dengan cara yang menyenangkan di blog pribadinya. Wow. Jadi tersanjung huehehehe. Belum ada yang melakukan yang hal seperti itu kepada saya.

Jadi, ya gitu. Betapa saya.. amazed dengan arus nasib yang namanya jodoh. Ada perkenalan, proses, lalu saya pikir saya telah menemukan orangnya. Tapi saya salah. Saya belum bertemu dengannya atau mungkin, sudah bertemu. Hanya saja, dia yang menjadi jodoh saya mungkin saat ini masih bersama perempuan yang ia pikir satu-satuya buat dia. Padahal bukan. Dia bersama orang yang salah. It’s funny when I think about that.

Ya, segitu aja Februari.