Dina's Journal

daily thoughts and activities

Thursday, March 19, 2020


Kehamilan saya termasuk kehamilan yang sulit di trimester awal. Bulan pertama hingga keempat, saya bahkan tidak sanggup melakukan perjalanan naik mobil. Tapi karena saya ngekos dekat kantor selama hamil, seminggu 2x saya harus menjalaninya dengan penuh penderitaan.

Bulan ke-5 dan ke-6 adalah saat yang sudah lumayan enak. Saya sudah merasa fit dan tidak mual-mual sehingga ketika ada kesempatan dinas dari kantor, saya mengiyakan.

Penerbangan pertama yakni ke Bangka Belitung menggunakan Batik Air. Saya menelepon call center untuk menanyakan informasi perihal persyaratan ibu hamil naik pesawat. Di luar ekspektasi saya, petugas call center maskapai agak gagap mengenai informasi tersebut dan meminta saya untuk menunggunya di telepon untuk mencari informasi persyaratan tersebut. Lama sekali saya menunggu di telepon hingga akhirnya ia kembali dan memberi tahu persyaratan mengenai ibu hamil untuk bisa terbang. Dari informasinya (dan cek internet), untuk kehamilan di bawah 28 minggu saya hanya diminta untuk mengisi Form of Indemnity (FOI) dan tidak dibutuhkan surat keterangan dokter untuk bisa terbang.

Sebenarnya, saya sudah mengantongi surat tersebut sekitar h-7 sebelum saya terbang. Jadi kalau diminta pun saya sudah siap. Hanya ingin memastikan saja.

Di hari keberangkatan, saya datang lebih awal ke bandara untuk jaga-jaga apabila ada pemeriksaan lebih lanjut atau butuh waktu lebih untuk mengisi formulir tertentu (ibu hamil harus check-in melalui counter, tidak bisa check-in online kecuali perut Anda masih kecil dan tidak ketahuan sedang hamil). Petugas counter check-in Batik Air menanyakan usia kehamilan saya, lalu saya jawab sesuai dengan surat keterangan dokter, yakni 21 minggu. Yang lucunya, petugas agak bingung dengan hitungan minggu.. “Err jadi kalo 21 minggu berapa bulan ya?” Terus dia nanya koleganya yang ada di counter sebelah. Lah mbak, kan tinggal dibagi 4 aja toh. 21 minggu dibagi 4 sama dengan sekian bulan -___-

Kemudian ia memberi saya formulir untuk ditandatangani. Secara cepat form tersebut telah ia isi, ceklist bahwa kita tidak akan menuntut maskapai apabila ada resiko kehamilan dan juga kita tidak akan merugikan maskapai dengan kondisi penerbangan penumpang hamil.  Saya diminta memberikan form tersebut ke petugas di gate Batik Air (waktu itu tentu saja saya di Terminal 2 Soetta). Easy.

Pulang dari Bandara Tanjung Pandan beda cerita. Saya bersama teman-teman check-in sebagai group. Tentunya saya standby karena hendak melapor kehamilan saya. Ketika saya tunjukkan surat keterangan dokter tersebut, saya diminta untuk mengecek kesehatan saya di KKP (Kantor Kesehatan Pelabuhan). Saya jadi kurang enak dengan group karena kami datang dengan waktu yang ngepas dan saya harus “diculik” dulu. Agak bingung sih sebenarnya, saya di Babel cuman 5 hari, lalu mengapa prosedur bisa begitu berbeda. Saya utarakan hal tersebut kepada petugas KKP, katanya surat dokter saya hampir berusia 2 minggu jadi sudah kelamaan sehingga harus dicek ulang tensi, suhu tubuh, dsb. Padahal kan kalau lewat 2 minggu pun usia kehamilan saya masih di bawah 28 minggu. Tapi ya sudahlah. 

Usai pemeriksaan kesehatan, saya mendapat form untuk layak terbang. Lalu ketika saya kembali ke counter check-in untuk menyerahkan form tersebut, ternyata teman-teman saya masih menunggu di sana. Waduh, jadi nggak enak. Mereka simpati sama saya hehe.

Penampakan hamil dari belakang di Pantai Tanjung Tinggi, Babel

Pengalaman kedua, saya naik Garuda Indonesia. Saya browsing mengenai aturan ibu hamil terbang di website mereka. Sepertinya easy peasy. Saya tes telepon call center, mereka juga tergagap ketika saya ingin menanyakan usia kehamilan untuk terbang. Lagi-lagi saya ditinggal petugas call center untuk memberi mereka waktu mencari informasi yang saya tanyakan tersebut. Bedanya dengan call center Batik, call center Garuda lugas menjawab tidak membutuhkan surat keterangan dokter (sampai di bawah usia kehamilan 32 minggu kalau tidak salah).

Saya datang ke Terminal 3, lapor di counter check-in lalu diarahkan untuk check-in di counter penumpang dengan kebutuhan khusus. Lalu saya cuma disuruh isi form dengan singkat (tulis data sendiri beserta tanda tangan) lalu langsung boleh masuk gate. Pulangnya juga begitu. Sepertinya kalau petugas lapangannya lebih tanggap dan terbiasa dengan ibu hamil.

Hanya saja, tidak ada perlakuan khusus juga tuh. Saya pikir kalau ibu hamil dan dapat seat di belakang akan dipindah ke agak depan hahahah. Nggak juga. Dan ketika naik Batik Air maupun Garuda sama-sama tidak ada petugas yang inisiatif membantu saya dengan koper cabin saya. Di kedua perjalanan tersebut, saya minta tolong atau inisiatif ditolong oleh penumpang lain yang melihat keadaan saya (kondisi seat mencar-mencar dengan teman kantor).

Oh, pas perjalanan pulang dari Belitung, Mbak Tunjung sempat bilang sih ada pramugari yang memanggil-manggil nama saya, sepertinya ingin membantu barang bawaan saya, tapi saya tidak dengar tuh karena saya duduk di seat yang agak belakang. Jadi tetap saja saya tidak merasa dibantu oleh petugas Batik Air maupun Garuda. Ditambah pengalaman repot saya pas turun dari pesawat, gataunya ga pake garbarata dan petugas cuma senyam-senyum aja lihat saya gotong koper turun tangga dengan perut yang mulai buncit.

Jadi, opsi yang paling baik bagi ibu hamil untuk melakukan perjalanan menggunakan pesawat terbang adalah tetap saja didampingi dengan suami :)

Udah kelihatan buncit hamil belum? 

Sunday, July 08, 2018

There once was a little boy who had a bad temper. His father gave him a bag of nails and told him that every time he lost his temper, he must hammer a nail into the back of the fence.

The first day the boy had driven 37 nails into the fence. Over the next few weeks, as he learned to control his anger, the number of nails hammered daily gradually dwindled down. He discovered it was easier to hold his temper than to drive those nails into the fence.

Finally the day came when the boy didn’t lose his temper at all. He told his father about it and the father suggested that the boy now pull out one nail for each day that he was able to hold his temper. The days passed and the young boy was finally able to tell his father that all the nails were gone.

The father took his son by the hand and led him to the fence. He said, “You have done well, my son, but look at the holes in the fence. The fence will never be the same. When you say things in anger, they leave a scar just like this one. You can put a knife in a man and draw it out. It won’t matter how many times you say I’m sorry, the wound is still there.”

Read more: Nails in the Fence: A Story About Anger


Sunday, March 11, 2018

(Kejadian ini berlangsung sudah cukup lama. Siapa tahu di kemudian hari ada part 2-nya)

Suatu malam di hari kerja urusanku sudah beres, jam menunjukkan pukul 20.25. Aku pun bergegas ke tempat parkir sembari menyusuri pinggiran Jalan Kemanggisan Raya yang macet itu. Tak lama ada langkah kaki kecil yang dengan gesitnya melewatiku dari arah bersebrangan. Cepat seperti angin.

Aku menoleh ke belakang untuk melihat gerangan yang baru saja melangkah sebegitu cepatnya. Kulihat anak kecil bertelanjang kaki dengan karungnya membuka tutup tong sampah dan mengais-ngais dalam tong tersebut. Aku pun melanjutkan langkahku.

Kepikiran.

Aku sudah begitu dekat dengan kendaraan hingga akhirnya aku memutar arah menyusuri jalan yang sama. Anak itu tidak terlihat lagi. Apa iya secepat itu meninggalkan Jalan Kemanggisan Raya ini? Aku bertanya pada Bapak-Bapak yang sedang duduk di warung pinggir jalan.

“Pak, lihat anak kecil yang bawa karung barusan lewat sini tidak? Pergi ke arah mana ya dia?”

“Oh anak kecil pemulung yang suka bawa karung ya Dek? Tadi kayaknya saya liat deh. Tapi saya nggak perhatikan dia ke mana. Memang dia jam segini jalan di daerah sini.”

“Baik, Pak. Terima kasih.”

Kususuri jalan itu sekali lagi. Dan ketika ada gang aku menoleh ke gang tersebut. Gotcha! Di sanalah dia lagi memilah tumpukan sampah.

Usai memilah sampah, dia berjalan keluar gang menuju ke arahku.
“Halo Dek, sudah makan belum? Makan yuk sama kakak.”

Dia memperhatikanku beberapa detik. Lalu menjawab “Boleh”

Ternyata di Jalan Kemanggisan malam itu rumah makan sedang tutup. Yang tersisa hanya tempat makan yang terang nan kekinian namun yang dijual hanyalah indomie, roti bakar, dan sebangsanya.

“Yang buka hanya ini , Dek. Pilih saja kamu mau makan apa. Kakak pesan minum saja, sudah makan koq”

Ia memilih indomie dan susu Milo dingin.

Dimas. Begitu dia mengatakan namanya usai memesan makanan. Dimas bersekolah kelas 2 SD dan tinggal di perkampungan pemulung di daerah Jakarta Barat.

Makanan datang dan aku mengutuk mengapa orang yang memasak hal sepele seperti Indomie saja tidak bisa. Mienya sudah mekar bagai sudah tergenang di mangkok beberapa jam. Melihatnya saja aku sudah tidak nafsu. Dan benar, Dimas tidak menghabiskan makanannya. Tapi dia menghabiskan Milo dinginnya.

“Maaf, Kak tidak habis. Udah kenyang”
“Ya. Tidak apa-apa. Apa rumah Dimas jauh dari sini?”
“Ya, masih lumayan. Tapi nanti dijemput Bapak”
“Dijemput di mana?”
“Nanti ketemu di tengah jalan. Bapak Dimas kan mulung juga. Nanti pasti ketemu. Tiap malam kayak gitu koq.”
“Kalau ga ketemu gimana?”
“Pasti ketemu koq.”
“Trus kamu tiap hari pulang semalam ini, besoknya kan sekolah. Apa nggak capek di sekolah?”
“Nggak koq. Kan Bapak pake gerobak. Jadi nanti kalo udah ketemu Bapak, Dimas tidur di gerobak sampe rumah. Biasanya juga udah ga bangun lagi, Bapak yang gendong ke tempat tidur.”

Jleb.

Langsung terbayang jaman aku macet-pacitan di daerah Jakarta, terus ga sengaja lihat Ibu2/Bapak2 yang dorong gerobak beserta anak-anaknya yang sedang tertawa-tawa senang di atas gerobak yang sedang didorong itu. Di tengah ibukota. Di tengah lautan motor dan mobil.

Mereka masih kecil hingga tak terlalu memusingkan mengapa orang lain bawa motor, bawa mobil, sedang mereka naik gerobak. Namun kalau sudah besar, mereka akan sadar dan lebih besar kemungkinan menjadi minder sehingga menutup pemikiran untuk maju dan bercita-cita. Begitulah biasanya lingkaran kemiskinan mengulang.

Di satu sisi, aku juga malu. Pada waktu itu aku lagi merengek ingin ganti mobil sedangkan bagi Dimas, dia tidak komplen gerobaknya merupakan kendaraannya yang bisa membuatnya tertidur pulas sembari ayahnya mengantarkannya ke rumah. Betapa aku termasuk kaum yang tidak bersyukur.

“Lalu bagaimana Ibumu? Dimas punya kakak atau adik?”
“Ibu sama Bapak sudah pisah. Ibu pergi dari rumah bareng kakak-kakak Dimas. Dimas anak paling kecil. Cuma Dimas yang tinggal sama Bapak. Semuanya ikut dengan Ibu.”

Aku udah speechless bagian ini. Ingin rasanya menangis. Tapi nggak mungkin lah depan anak kecil ini. Teringatku data-data perceraian di Indonesia yang tidak semuanya terdata. Karena bercerai, bahkan menikah pun butuh uang. Apa kabar bagi mereka yang miskin?

“Dimas, Kakak ada beberapa buku anak-anak. Kakak akan pinjamkan ke Dimas. Besok malam Kakak tunggu di Circle K ya dari jam 8 atau kalau Dimas sampe jam setengah 9 pun ga masalah. Kita juga bisa makan lagi”

Dimas tidak menjawab dan dia pun tidak menatapku. Pandangannya lurus dan seperti sedang mengawang-awang. Mungkin dia tidak tertarik buku. Mungkin juga dia pikir aku bohong. Mungkin dia akan datang. Atau juga tidak.

Esok malam, usai pulang kerja aku menunggu di Circle K dengan beberapa buku dan snack juga susu. Dua jam lebih aku menunggu hingga hampir pukul 10 malam. Dimas tidak datang.

---

Di pekerjaan baruku, saya punya harapan bisa berkontribusi dalam membantu atau bahkan meminimalisir Dimas-Dimas lain. Memang masih terlalu awal untuk mengatakan ini. Tapi tulisan ini juga sebagai pengingat mengapa saya berada di posisi sekarang, apa yang membuat saya termotivasi untuk bekerja lebih dan positif sekaligus optimis sebagai solusi dari Dimas. Semoga.

Thursday, February 22, 2018

Saturday, February 03, 2018

Lagi iseng browsing Youtube, nemu video ini:


Dream wedding gue banget ini siiiiiiih!!!!!

Ehm, yes, I’ve already married.

Throwback to my wedding day compared to that awesome wedding vid.

Pertama, venue. Saya suka banget pantai. Namun karena menikah di Tangerang jadi mustahil banget nikah di pantai (Pantai Tanjung Kait, anyone?)

Teringat dulu ceritanya bener-bener mau ngurus pernikahan berdua saja sama Faisal. Tanggal sudah ditetapkan. Kita nyari venue tiap weekend. Tiap abis survey, ditanyain laporannya sama Mamah dan kita selalu belum nemu yang pas. Akhirnya Mamah gemes sendiri, hingga beliau ngikut survey weekend berikutnya. Dan kita langsung deal hahahaha.

Kedua, tamu undangan. Pengennya siiih.. keluarga dekat dan teman-teman aja. TAPI KELUARGA AKUH BATAK. Ya gimana dong.. pasrah lah itu tamu undangan udah pasti paling banyak dari orangtua, mertua, sisanya penganten. Pasrah.

Ketiga, baju. Pengen sih saya pake gaun yang laid-back gitu macam di video kawinan di atas. Tapi baju adat saya juga suka koq. Jadi ga terlalu ekstrim lah ini. I still wore my dream wedding dress.

Keempat, ya wedding singer-nya lah! Gilak! Kalo kawinan saya dinyanyiin sama Jens Lekman bisa pingsan kali, trus bangun lagi, trus joget-joget lupa hari itu mau kawin. So damn lucky nih penganten YouTube. So sweet gitu lagi spouse-nya yang contact Jens Lekman. Mungkinkah suatu hari Faisal ngasih surprise kek gitu ke gua HAHAHHAHAHHAHA *baper.

Ada yang lucu sih tentang band di kawinan saya. Jadi dulu saya dan Faisal suka nge-date di mall-mall Tangsel dan kami suka liat band yang selalu bawain lagu The Beatles lengkap dengan seragam ala-alanya. Band-nya bawain lagunya bagus pokoknya spesialis The Beatles banget deh (lupa namanya siapa). Kita udah sepakat pengen pake band tsb pas kawinan. Namun pas disodorin paket Wedding udah include sama band yah akhirnya kita iyain aja (mureh).

Nah, saya diminta bikin playlist tuh sama EO-nya. Buat list maksimal 20 lagu kalo ga salah yang kemungkinan sih ngga akan dimainin semua. Sekitar belasan lah, jadi buat priority gitu. Hal tsb bagian yang menyenangkan sekaligus membingungkan. Untung saya anaknya masih Top 40 gitu kan, jadi ga Peer banget nyuruh anak orang latian lagu baru semua sampe 20 lagu hahahha.

Pas udah buat list-nya, saya liat request lagu saya ini terlalu beragam. Kan biasanya kalo kawinan tuh pilihannya antara pake grand piano atau acoustic-an gitar. Dari playlist yang saya buat, lagu-lagunya itu fifty-fifty: setengah bagusan pake piano, setengah pake gitar. 

Mengingat di venue tuh disediakan grand piano segede gaban. Otomatis saya berpikir nggak mungkin disia-siakan lah itu aset kawinan. Akhirnya saya memutuskan untuk memangkas lagu-lagu gitaran dan fokus sama lagu-lagu melodius yang cantik kalo dimaenin pake piano. Dan menyisakan satu lagu pamungkas di akhir, itu adalah.. “Rude”-nya Magic hahahahhaha.

“Saturday morning jumped out of bed..and put on my best suit..” Asik beet lah

Udah kasih note segala ini poko’e lagu pamungkas paporit penganten yang harus dimaenin pas akhir acara.

Mungkin si pemain band-nya pada bingung kenapa pake lagu itu ya, apa nih penganten ga direstuin orangtua hahahha bodo ah. Saya emang suka aja lagu itu. 

Dan seperti yang diduga, karena lagunya tuh banyak melodi yang putus-putus gitu kayak tet tet tet tet yang cuma enak kalo dimaenin pake gitar. Begitu dimaenin pake piano.. jadinya garing 

*antiklimaks*

Overall, despite all the imperfections of my wedding day, i still feel grateful for that day. The day when i married to someone I love, best partner in life God has given.


"If I had to choose a moment in time

To take with me into eternity
I would choose this,
This moment with you in my arms"

(Into Eternity - Jens Lekman)

Sunday, December 10, 2017

I feel very lucky whenever I get tired going back home from work, I still can smell and cuddle with my husband. Then I feel the most relaxing feeling in the world.

Suddenly “Your Arms Around Me” by Jens Lekman plays in my mind.




Sunday, December 03, 2017

Hola!

Mau update blog tapi nggak tahu mau nulis apa. Saking banyaknya kisah yang sudah terlewat lol. Life, work, marriage, relationships, feelings, self-development (ah ya, saya lagi tertarik dengan topik ini). Berhubung lagi bersihin bookmarks Chrome, nemu quote Good Will Hunting. Saya taruh di akhir postingan ini yaa.

Good Will Hunting, lupa lupa inget film tentang apa. Matt Damon yang nulis script sekaligus pemainnya. Duet sama sahabatnya, Ben Affleck. Kalau ga salah, tentang Will, orang jenius yang karena dia hidup sebagai kelas pekerja, orang2 pada awalnya meremehkannya. Hingga akhirnya dia ketemu mentor, seorang professor gitu. Konflik dengan sahabatnya, Ben Affleck and the genk. Dan Will yang socially awkward ini juga punya masalah percintaan. Doi menolak jadi vulnerable because of love. Semacam itu lah.

 “Sometimes I wish I had never met you, because then I could go to sleep at night not knowing there was someone like you out there.” 
― Gus Van SantGood Will Hunting

Friday, December 16, 2016

Pertanyaan sejuta dolar (kalau ada yang mau ngasih).

Sebagai pasutri menikah 2 tahun, saya lumayan mengalami berbagai situasi yang dihadapkan dengan pertanyaan di atas. Berikut sampel jawaban-jawaban yang bisa digunakan sebagai referensi. Ada yang berdasar kenyataan maupun referensi internet. Semoga bermanfaat.

Ini nemu di blog orang. Jawaban epic yang masih cocok diberikan sebagai respons ke orang yang lebih tua

Hong: Kong, Kapan kamu hamil?
Kong: Minggu depan, Tante. Kalau nggak hujan.
--

Jawaban kalau lagi nggak mood tapi masuk akal (banget).

Hong: Kong, Kapan lo punya anak?
Kong: Lah elo, kapan mati?

Sesungguhnya manusia lahir, menikah, hamil, dan mati adalah rahasia Allah. Jadi sah-sah aja sih jawab begitu. Ngerasa ditanya balik kapan mati kasar? Jadi kapan ngelahirin nggak kasar ya? Hmm, persoalan.
--

Dua jawaban epic itu belum pernah saya pake sih. Tapi mayan buat referensi kalo kepepet. Saya sendiri mengalami pertanyaan sejuta dolar itu beberapa kali. Yang berikutnya tanya jawabnya dari pengalaman pribadi ya :)

Mantan teman sekantor dulu pernah nanya one million dolar question tersebut 3 bulan sejak saya menikah.

MT (Mantan Teman) : Din, udah hamil belom lu?
SC (Saya Cantik) : Belom.
MT : Napa lo belom hamil? Sengaja nunda?
SC : Hmm, ya begitulah.
MT : LAAH NGAPA NUNDA?? KARMA LU nanti mandul ga bisa punya anak!
SC : ...

Tersinggung nggak? Iya, sedikit. Lebih banyak KASIANNYA sih sama orang narrow-minded kek gitu. Secara saya cantik dan pintar, jadi saya mengerti bahwa semua orang itu punya resiko dalam kehidupan ini. Mau nikah cepet nikah atau lama kek, hamil umur 16 atau umur 50 kek, resiko seperti mandul, keguguran, hamil kembar 6, melahirkan anak dengan kebutuhan khusus, dan  sebagainya adalah bagian dari roda kehidupan. Everyone has their own battle in marriage. So just keep your mouth shut because you don’t really know what other marriage couples have gone through.

Waktu masih tinggal di Karawaci, salah satu security menyapa gue,

Security (SC): Selamat siang, Ibu.
Saya (S) : Siang, Pak.
SC : Jam segini belum berangkat, Bu. Suami Ibu udah berangkat. Ibu kerja di mana?
S : Di Jakarta, Pak.
SC: Anaknya kok nggak dibawa, Bu?
S: Saya belum punya anak, Pak.
SC: Oh, maafkan saya, Bu. Saya nggak bermaksud menyinggung.
S: Nggak apa-apa (sambil senyum ramah, no hard feeling at all)
SC: Maafkan saya Bu
S: ....
SC: Sekali lagi maafkan saya, Bu. *sambil bungkuk-bungkuk*
S: .....

Udeh orang kayak gini nggak usah di apa-apain lagi dan nggak penting diceramahin. Dia beda frame sama kita dan entah kenapa dia udah nggak enakan duluan. Daripada gue komentar nambah rasa nggak enak dia, yaudah diriku berlalu dengan senyum saja. Maafkan aku juga, Pak.

Atau beberapa kasusnya seperti ini
Teman (T) : Din, udah hamil belom?
Saya (S) : Belum
Teman (T) : Gini nih caranya.. Pas lu gituan sama laki lo, posisi lu blabalala, atau balbala. Manjur dah!

Atau saran untuk gue perlu ke dokter secepatnya buat cek kenapa belum hamil juga setelah dua bulan menikah --“

Iyah itu pas awal-awal menikah gue masih polos. Dan kenapa yah kalau gue jawab “belum” dengan maupun tanpa kasih keterangan lanjutan terkadang masih aja dibahas di moment tertentu.
--

Akhirnya saya menemukan jurus (lumayan) ampuh untuk menghadapi situasi tersebut,
Question (Q): Din/Mbak, udah punya anak?
Answer (A): Belum Bu/Mbak/Cin AHAHAHA *itu loh ketawa awkward yang bener ketawanya kek baca teks AHAHAHA
Q: Kenapa?
A: AHAHAHHA
Q: Nunda ya?
A: AHAHAHHA
Q: ... (udah males nanya)

Lebih ampuh lagi kalo ada suami saya deketan. Jadi biasanya saya sama suami akan pandang2an sambil ketawa AHAHAHHA dan si penanya akan merasa awkward dan ganti topik AHAHAHHA.

Lebih sering juga, saya yang ditanya trus suami saya yang kebetulan lagi deket dan denger langsung jawab, “ini saya udah” sambil ngelus2 perut buncitnya. Suami saya tuh tuh sebel kalau di rumah saya panggil gendut, sekalipun dengan nada manja. Tapi di tengah2 orang untuk menghindari saya dari situasi awkward dia mengorbankan diri dengan memamerkan perut buncitnya di depan umum *terharu
--

Kalau lagi asik.
Teman (T) : Din, udah hamil belom?
Saya (S) : Belum. Mau namatin majalah Cosmopolitan dulu.
T : ?
S : 12 gaya bercinta dalam setahun. Jadi tiap bulan ada 1 gaya baru.
T : HAHHAHAHHAHABANGKEEEEE HAHHAHAHAan****%$I&^65w8745e67w

Btw ini majalahnya.


Saturday, June 21, 2014

Minggu, mama dan papa minta diajak ke tanah abang. Mau beli sarung untuk acara adat di rumah sekaligus cari juga buat THR karyawan. Kami bertiga berencana naik KRL (Kereta Rel Listrik atau yang biasa disebut commuterline). Pukul 10 kami melaju ke stasiun Rawa Buntu, parkir mobil, lalu membeli tiket KRL.

Ini pengalaman pertama mama papa masuk stasiun Rawa Buntu, biasanya mentok nganter saya di parkiran stasiun. Tak lama menunggu, kereta datang. Udah padat manusia, kami pun berdiri. Hehehe kasian juga sih bawa orangtua baru pertama kali naik KRL langsung nyoba situasi berdiri. Yah, tapi memang begitulah keadaannya.

Mama yang kayaknya antara shock sekaligus excited nggak henti-hentinya nanya ini itu ke saya mengenai situasi di dalam KRL. Hingga akhirnya seorang penumpang memberi tempat duduk ke mama saya karena sepertinya ia tahu mama perdana naik KRL. Hehe, thanks mbak.

Sampai di pusat perbelanjaan Tanah Abang, kami menuju basement 1 blok A. Putar-putar sebentar kami pun menawar 2 kodi sarung di sebuah toko yang bisa memberi harga yang paling miring. Nggak miring-miring amat sih, tapi dia kasih harga paling murah lah dibanding kios-kios lain. Nama tokonya Yassir, letak di Blok A Lt. B1 Los B No. 36 Tanah Abang.

Toko Yassir, sedia sarung, sajadah, baju koko, dll

Berhubung 2 kodi kain sarung itu banyak banget, masing-masing dari kita bertiga udah banyak tentengan. Tapi si mamah sempet-sempetnya nanya mamang-mamang sarung di mana tempat belanja nyari bahan. Eh buset, saya dan si papah liat-liatan dan langsung mencerahkan si mamah bahwa BAWAAN KITA UDAH BANYAK BANGET GITU LOH DAN INI NGANGKOT, EH NGRETA. Alhamdulillah, si mamah insyaf dan setuju untuk bergegas pulang.

Kami memutuskan naik bajaj ke stasiun Tanah Abang. Tarifnya 15 ribu (kalo dari pintu yang paling ujung). Cuma muterin satu blok jalan doang sih. Terus naiklah ribuan tangga menuju stasiun Tanah abang. Abis beli tiket buat mama papa yang antriannya puanjang rek, kita buru-buru masuk peron ngejar kereta menuju Serpong. Udah mana banyak banget bawa belanjaan, lari-lari ngejar kereta, eh pas udah tinggal lompat masuk kereta, saya dan mama baru nyadar,si papa dari tadi nggak ngikutin kita di belakang...

Saya langsung taruh belanjaan, buru-buru naik ribuan tangga dan menyapu pandangan ke sudut stasiun. Antara panik tapi geli. Panik karena hadeh bawa aki-aki ke Tanah Abang malah ngilang. Geli karena iya, ini ilangnya di stasiun Tanah Abang yang 2 menit lalu kita lari bertigaan ngejar kereta. Kalo ilang di stasiun Tugu Jogja atau di bandara JFK USA mungkin saya akan pusing setengah mati. Tapi ini di stasiun di daerah Jakarta yang si papah lebih paham Jakarta dibanding saya, Tanah Abang gitu. Hehehe.

Pas saya lagi scanning orang-orang di stasiun terlihatlah si papah datang menghampiri dengan muka tertawa geli. Saya tertawa balik. Kami buru-buru turun dan menghampiri mamah yang jagain belanjaan. Kami akhirnya keburu naik kereta dan tertawa terpingkal-pingkal sambil berdiri di KRL. What a shiny day..