daily thoughts and activities

Thursday, March 19, 2020


Kehamilan saya termasuk kehamilan yang sulit di trimester awal. Bulan pertama hingga keempat, saya bahkan tidak sanggup melakukan perjalanan naik mobil. Tapi karena saya ngekos dekat kantor selama hamil, seminggu 2x saya harus menjalaninya dengan penuh penderitaan.

Bulan ke-5 dan ke-6 adalah saat yang sudah lumayan enak. Saya sudah merasa fit dan tidak mual-mual sehingga ketika ada kesempatan dinas dari kantor, saya mengiyakan.

Penerbangan pertama yakni ke Bangka Belitung menggunakan Batik Air. Saya menelepon call center untuk menanyakan informasi perihal persyaratan ibu hamil naik pesawat. Di luar ekspektasi saya, petugas call center maskapai agak gagap mengenai informasi tersebut dan meminta saya untuk menunggunya di telepon untuk mencari informasi persyaratan tersebut. Lama sekali saya menunggu di telepon hingga akhirnya ia kembali dan memberi tahu persyaratan mengenai ibu hamil untuk bisa terbang. Dari informasinya (dan cek internet), untuk kehamilan di bawah 28 minggu saya hanya diminta untuk mengisi Form of Indemnity (FOI) dan tidak dibutuhkan surat keterangan dokter untuk bisa terbang.

Sebenarnya, saya sudah mengantongi surat tersebut sekitar h-7 sebelum saya terbang. Jadi kalau diminta pun saya sudah siap. Hanya ingin memastikan saja.

Di hari keberangkatan, saya datang lebih awal ke bandara untuk jaga-jaga apabila ada pemeriksaan lebih lanjut atau butuh waktu lebih untuk mengisi formulir tertentu (ibu hamil harus check-in melalui counter, tidak bisa check-in online kecuali perut Anda masih kecil dan tidak ketahuan sedang hamil). Petugas counter check-in Batik Air menanyakan usia kehamilan saya, lalu saya jawab sesuai dengan surat keterangan dokter, yakni 21 minggu. Yang lucunya, petugas agak bingung dengan hitungan minggu.. “Err jadi kalo 21 minggu berapa bulan ya?” Terus dia nanya koleganya yang ada di counter sebelah. Lah mbak, kan tinggal dibagi 4 aja toh. 21 minggu dibagi 4 sama dengan sekian bulan -___-

Kemudian ia memberi saya formulir untuk ditandatangani. Secara cepat form tersebut telah ia isi, ceklist bahwa kita tidak akan menuntut maskapai apabila ada resiko kehamilan dan juga kita tidak akan merugikan maskapai dengan kondisi penerbangan penumpang hamil.  Saya diminta memberikan form tersebut ke petugas di gate Batik Air (waktu itu tentu saja saya di Terminal 2 Soetta). Easy.

Pulang dari Bandara Tanjung Pandan beda cerita. Saya bersama teman-teman check-in sebagai group. Tentunya saya standby karena hendak melapor kehamilan saya. Ketika saya tunjukkan surat keterangan dokter tersebut, saya diminta untuk mengecek kesehatan saya di KKP (Kantor Kesehatan Pelabuhan). Saya jadi kurang enak dengan group karena kami datang dengan waktu yang ngepas dan saya harus “diculik” dulu. Agak bingung sih sebenarnya, saya di Babel cuman 5 hari, lalu mengapa prosedur bisa begitu berbeda. Saya utarakan hal tersebut kepada petugas KKP, katanya surat dokter saya hampir berusia 2 minggu jadi sudah kelamaan sehingga harus dicek ulang tensi, suhu tubuh, dsb. Padahal kan kalau lewat 2 minggu pun usia kehamilan saya masih di bawah 28 minggu. Tapi ya sudahlah. 

Usai pemeriksaan kesehatan, saya mendapat form untuk layak terbang. Lalu ketika saya kembali ke counter check-in untuk menyerahkan form tersebut, ternyata teman-teman saya masih menunggu di sana. Waduh, jadi nggak enak. Mereka simpati sama saya hehe.

Penampakan hamil dari belakang di Pantai Tanjung Tinggi, Babel

Pengalaman kedua, saya naik Garuda Indonesia. Saya browsing mengenai aturan ibu hamil terbang di website mereka. Sepertinya easy peasy. Saya tes telepon call center, mereka juga tergagap ketika saya ingin menanyakan usia kehamilan untuk terbang. Lagi-lagi saya ditinggal petugas call center untuk memberi mereka waktu mencari informasi yang saya tanyakan tersebut. Bedanya dengan call center Batik, call center Garuda lugas menjawab tidak membutuhkan surat keterangan dokter (sampai di bawah usia kehamilan 32 minggu kalau tidak salah).

Saya datang ke Terminal 3, lapor di counter check-in lalu diarahkan untuk check-in di counter penumpang dengan kebutuhan khusus. Lalu saya cuma disuruh isi form dengan singkat (tulis data sendiri beserta tanda tangan) lalu langsung boleh masuk gate. Pulangnya juga begitu. Sepertinya kalau petugas lapangannya lebih tanggap dan terbiasa dengan ibu hamil.

Hanya saja, tidak ada perlakuan khusus juga tuh. Saya pikir kalau ibu hamil dan dapat seat di belakang akan dipindah ke agak depan hahahah. Nggak juga. Dan ketika naik Batik Air maupun Garuda sama-sama tidak ada petugas yang inisiatif membantu saya dengan koper cabin saya. Di kedua perjalanan tersebut, saya minta tolong atau inisiatif ditolong oleh penumpang lain yang melihat keadaan saya (kondisi seat mencar-mencar dengan teman kantor).

Oh, pas perjalanan pulang dari Belitung, Mbak Tunjung sempat bilang sih ada pramugari yang memanggil-manggil nama saya, sepertinya ingin membantu barang bawaan saya, tapi saya tidak dengar tuh karena saya duduk di seat yang agak belakang. Jadi tetap saja saya tidak merasa dibantu oleh petugas Batik Air maupun Garuda. Ditambah pengalaman repot saya pas turun dari pesawat, gataunya ga pake garbarata dan petugas cuma senyam-senyum aja lihat saya gotong koper turun tangga dengan perut yang mulai buncit.

Jadi, opsi yang paling baik bagi ibu hamil untuk melakukan perjalanan menggunakan pesawat terbang adalah tetap saja didampingi dengan suami :)

Udah kelihatan buncit hamil belum?