daily thoughts and activities

Sunday, August 26, 2012

Happy Eid Mubarak, semuanya! Telat banget yah, Ramadhannya udah lewat baru mau cerita tentang puasa. Haha biarin deh, mungkin kemarin tuh Ramadhan terakhir saya bisa melakukan ritual yang menyenangkan selama di rumah. Tahun depan nggak bisa lagi karena sudah bekerja (amiiinnn).

Selama Ramadhan lalu, pukul tiga sore saya biasanya meluncur menuju supermarket untuk beli buah-buahan (Soalnya waktu itu belum pede belanja di pasar dan mempraktekkan jurus tawar-menawar). Jam empat sore saya sudah di rumah lagi, solat, ngangkatin jemuran, lalu ngerokin buah-buahan yang tadi saya beli untuk jadi sop buah. Sop buah favorit keluarga ini mudah banget. Saya biasanya pakai melon, pepaya, buah naga, semuanya di potong bulat. Lalu biar ada campuran masam saya tambahkan strawberry diiris sedikit. Tambah syrup susu ros-nya Marjan. Segeeer..

Setelah urusan sop buah beres, saya nganget-ngangetin makanan, udah nggak masak-masak lagi karena masak udah beres pagi. Saya belum bisa masak yang canggih-canggih hehe, jadinya biasanya Mama jadi chef dan saya jadi sous chef-nya.  Paling sore-sore gitu saya goreng-goreng tempe atau ayam. Berhubung makanan yang mau diangetin suka banyak macemnya namun kompor cuma ada dua tungku, jadinya saya bahagia bisa mengandalkan doi satu ini.

Menurut namanya sih, doi itu microwave oven tapi saya nggak ngerti di mana letak oven-nya. Karena kalo oven harusnya bisa baking yah. Tapi si doi ini cuma bisa reheating, defrosting sama simple cooking kayak bikin pop corn sama nasi.

Biar dikata cuma bisa nganget-ngangetin juga saya senang karena bener-bener mempermudah pekerjaan banyak dalam waktu singkat. Tsaah, nggak perlu nungguin depan kompor buat cek api, dll. Nggak perlu bersin-bersin kesedak kalo ngangetin sambel. Nggak perlu bolak-balik nyuci peralatan dapur karena ngangetinnya langsung di mangkok hidangan. Bisa joget-joget dulu di ruang TV sambil nungguin bunyi “bip bip biiippp” pertanda waktu yang di-set buat ngangetin makanan udah beres. Ooh senangnya hatiku.

Abis ngangetin makanan, nyiapin teh manis, lalu cuci-cuci piring kotor. Kelar urusan nyiapin buka-bukaan, saya menyiram tanaman tomat kesayangan dan gunting-gunting dikit kalo ada dahan yang ga guna (udah layu atau terlalu kecil dahannya sehingga ngalangin jalannya air ke dahan yang produktif dan menghasilkan buah). Katanya sih kalo mau nyiram tanaman sore hari bagusnya jam lima ke bawah, lupa alasannya kenapa hehe.

 penampakan pohon tomat kesayangan
Itu padahal modelnya udah jungkir balik ga keruan karena beberapa kesalahan yang saya lakukan pas nanemnya. Harusnya itu pake pot yang gede sekalian hehe, terus dari awal harusnya di kasi penunjang batang soale batangnya lumayan besar untuk ditunjang sendiri sama si akar, apalagi kalo udah berbuah, tambah berat bukan?

Dulu juga saya sekali pake pupuk NPK yang bulet-bulet merah kayak pakan ikan ternyata lebih efektif pake pupuk cair yang semprot. Hmm padahal saya udah sembrono gitu ya tapi dia masih aja berbuah untuk kedua kalinya *peluk pohon tomat >.<*. 

Biasanya selesai semua ritual tersebut bertepatan dengan adzan di televisi dan masjid-masjid sekitar rumah
berkumandang. Gonna miss those lovely afternoons.

Tuesday, August 14, 2012

Sara: What do you have against relationships?
Ben: Uhm. Expensive. Boring. Brunch. Feelings. Responsibility. Conversations. Her parents. Sex and the City DVDs.
Sara: I get it.
Ben: Hiding your porn. Ski trips. Getting fat. Remembering her birthday. Game night.
Sara: Ben, stop…
Ben: Sample sales. Questions during football games. Passive aggressive news article clippings…

(Taken from Friends with Benefits TV Series)

Saturday, August 11, 2012

Nyambung postingan sebelumnya, belum lama ini saya baca buku ini:


Ada hal yang sangat mengganggu yang diutarakan sang pengarang, Dewi Lestari (Dee) dalam sebuah scene penting dalam buku tersebut.

“..angin ajaib tadi telah meniupkan arah matanya untuk tertumbuk pada sebuah jendela. Tepat di seberang rumahnya.
 

Ada seseorang di sana. Seorang perempuan, duduk menekuk, memeluk lutut, setengah menunduk. Cantik. Dengan bingkai malam yang penuh bintang, ia malah kelihatan tidak nyata. Seperti lukisan.... 
.... 
Sampai akhirnya, sang Objek Lukisan sekonyong-konyong mendongakkan kepala. Mungkin ingin menatap langit. Sinar lampu jalan pun mendapati wajah cantik itu tepat di bawah sorotnya. Memberikan kejelasan pada air mata yang mengalir rapi.”

Scene itu ANEH BANGET. Secaraaa Dee bilang di awal, kalau mereka tuh tinggal di real estate mewah. Jarak antar rumah yang berseberangan aja (apalagi di perumahan mewah), sekitar, hmm, plus garasi ada lah  lebih dari 10 meter. Liat-liatan antar jendela dengan fokus mata sampe keliatan air matanya tuh nggak masuk akal. Banget.

Ck, saya sampe kesal kalau mikirin bagian dari buku itu.

Eh ada lagi. Ceritanya kan tokoh utama di sini, Ferre (kesatria), cinta mati sama Rana (Putri). Lalu si ksatria patah hati sama sang puteri dan memutuskan mati. Nggak jadi. Empat hari kemudian, si kesatria udah jatuh hati lagi sama perempuan lain. Gimana siii, katanya cinta matiii? Patah hatinya cetek bener cuma tiga hari.

Eh tapi, si kesatria ini kan udah sempat memutuskan bunuh diri ya pas ditinggal sang puteri. Doi diceritakan udah memasuki kesadaran antara ingin tetap hidup dan menyerah ingin mati. Kesadaran yang cuma dimiliki sama orang yang yang punya pengalaman nyaris bunuh diri. Jadi wajar aja sih, setelah kesadaran ingin hidup itu menang daripada keinginan mati maka dia lahir menjadi manusia baru. Patah hati bukan lagi jadi isu besar bagi orang yang telah menjalani pengalaman eksistensi antara hidup dan mati.

Jadi hal yang non-sense itu cuma satu deng, yang liat-liatan dari jendela padahal rumahnya berseberangan dan tinggal di real estate mewah.

Novel ini tetep dapat rating lumayan dari saya. Dibanding novel macam chicklit teenlit yang a la sinetron itu. Etapi chicklit teenlit ada pun masi alhamdulillah yah. Karena mereka lah anak muda bangsa terus berkeinginan berkarya (hingga suatu hari lahir masterpiece) dan dari mereka lah penerbit-penerbit buku tetap hidup.

Tuesday, August 07, 2012

Saya orang yang jarang membaca. Beruntung, karena sedang skripsi (iya, saya belum lulus), minat baca saya perlahan mulai tumbuh lagi (baca novel tapi, buku-buku yang menunjang kemajuan skipsi saya tidak tersentuh).

Buku yang baru-baru saya baca adalah Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh. Jilid pertama dari tetralogi Supernova karya Dewi Lestari. Membaca buku yang bagus sama seperti ada yang menekan tombol di otak saya. Imajinasi menari dan tak berhenti dalam putaran dansanya. Jadilah saya akan meracau seperti dalam postingan ini.

“Perlahan, Reuben mengangkat kedua tangannya, dan ia pun tercekat. Ternyata, dirinya pun diselimuti kabut itu. Fisiknya adalah gambar proyeksi semata. Dan, apabila ia mampu mengidentifikasi dirinya dengan pixel-pixel itu, bukan tubuh seorang pria bernama Reuben, maka berarti dirinya.. immortal.
 

Tidak ada awal dan akhir. Tidak ada sebab dan akibat. Tidak ada ruang dan waktu. Yang ada hanyalah Ada.”

Kalo mau diperdebatkan line tersebut ya bisa sih. Banyak kemungkinan. Mungkin maksudnya kita itu hakikinya adalah jiwa alias roh. Sedangkan raga itu, cuma, yah.. wujud jasad aja. Objek materiil. Namun kalo “tidak ada awal dan akhir. Tidak ada sebab dan akibat. Tidak ada ruang dan waktu. Yang ada hanyalah Ada” itu seperti... tidak mengenal Tuhan.

Briefly, kasian banget kalo alasan kita hadir di dunia ini hanya karena kita ada. Lalu berhenti sampai situ saja. Tak lagi ada pertanyaan mengapa kita ada. Percaya adanya Tuhan sebenarnya malah bisa menguatkan manusia untuk menghadapi apapun di dunia ini. Yah, karena dia tahu semuanya yang terlihat oleh mata sifatnya hanya materi di sini.

Lalu di manakah tempatnya jiwa/roh dan segala sesuatu yang lebih hakiki? Kalo memang di dunia ini hal-hal tersebut tidak terlihat (physically), bukankah berarti ada tempat lain untuk segala yang kasat mata sekarang?

Tuhan ada dimana-mana
Jaman sekarang, banyak orang berdalih atheis maupun monotheis karena nggak percaya sama konsep agama yang termanifestasi dalam wujud penyembahan alias ibadah. Beberapa percaya Tuhan ada dalam dirinya sendiri. Dalam balutan celana jeans. Makan sushi tei. Dalam bar-bar yang menyediakan minuman beralkohol.

Saya pikir Tuhan tidak berwujud objek saja. Dia semuanya. Dia ada ketika pria dan wanita bisa saling mencintai. Dia ada bagai telapak tangan dan punggungnya, semua yang berpasangan, wanita pria, baik buruk, jelek bagus, kaya miskin, semua itu menunjukkan adanya Tuhan.  Kita sebagai manusia yang cenderung menyukai keindahan menunjukkan adanya Tuhan.

Sedang yang dimaksud Tuhan ada di mana-mana, ya dia memang berada di mana saja. Termasuk di dalam bar-bar yang menyediakan alkohol. Ia ada ketika dalam hati kita ada keraguan untuk menenggak segelas dua gelas yang berujung sebotol dua botol.

Terus pernah nggak sih, kalo mau berbuat jelek/jahat, ada saja hal yang membuat kita enggan untuk melakukannya, semacam sanubari atau kebetulan terjadi di depan mata sehingga ada pertentangan dulu sebelum memutuskan melakukan hal jelek/jahat tersebut. Di sanalah Tuhan campur tangan.

Tuhan nggak peduli kita masuk surga atau tidak, tapi dia juga tidak membiarkan kita masuk neraka.

Saya pikir, Tuhan itu Pencipta paling baik sedunia (akhirat). Jangankan kita yang berbuat baik di dunia, yang terus-terusan berbuat dosa pun masih diurusin sama Tuhan.

“Dia telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah yang nyata” (An-Nahl (yang artinya lebah): 4)

Kalau di kepala saya tuh, bandinginnya kayak di film Lord of the Rings. Si Saruman menciptakan Orcs buat jadi hamba-hambanya, udah mana proses penciptaannya menjijikkan begitu (semacam dari lumpur berlendir, kasi api dikit, terus mereka muncul dari bejana). Kalo penciptaan manusia itu kan indah yah, pake cinta dua orang (yah kalo nggak pake cinta juga, at least proses mengandung 9 bulan dan melahirkan bayi itu sesuatu yang menakjubkan dalam arti positif).

Nah, Orcs ini kerjaan mereka di dunia kan nggak ada yang lain selain jadi pasukan si Saruman. Ngikutin order. Suruh jalan belok kanan, belok kanan (literally yah). Nggak ngapa-ngapain lagi deh.

Kalo kita, hmm yah punya order juga sih. Rukun islam dll. Tapi, di antaranya, boleh punya hobi dan menekuninya, menikahi pria/wanita yang kita suka, disuruh jalan-jalan melihat dunia, boleh memiliki barang apapun, melakukan profesi apapun, dll.

Tuhan yang Esa ini Maha Baik sejagadraya.

Sunday, June 10, 2012

by Roco on January 22, 2012













Ever since the Sherlock series 2 finale fans have been speculating how the master detective pulled off one of his most impressive feats yet. We think we’ve got the answer.

HOW DID SHERLOCK ESCAPE DEATH?

We all saw him jump, but there’s little doubt that he’s alive by the end of the episode, watching Watson mourn his passing at his own funeral. So how did he Sherlock survive the Reichenbach Fall?

Before we look at the possible explanation, let’s quickly go over some less likely alternatives:

1. Watson thought he saw Sherlock fall to his death because the clever detective administered him with the fear toxin from the secret research base in “The Hounds Of Baskervilles.”

2. Sherlock didn’t jump at all and instead threw Moriarty’s ‘dead’ body from the roof, where it was switched with a Sherlock lookalike after hitting the ground. This would involve the help of Molly, Mycroft or the Homeless Network.



Now here’s what we think happened:

•    Before meeting Moriarty on the roof, we see Sherlock ask Molly for her help.


•    Being a medical professional, she would be able to help falsify his death, especially if Mycroft is also in on the ruse.

 

Sherlock, who seems genuinely shocked by Moriarty’s ‘suicude’, puts his plan into action. We believe it could well consist of the following steps:

•    He gives an emotional goodbye to Watson so that the good doctor believes Sherlock is going to jump to his death — essentially planting an unkillable idea in his mind (a concept foreshadowed earlier in the episode).

•    He ensures that Watson stands a certain distance away from thee building, so that he doesn’t make it to the landing spot in time to see everything.

•    Sherlock jumps from the building onto a pre-arranged truck (above) filled with ‘rubbish bags’ (presumably containing something to break his fall).

•    Molly/Mycroft then apply blood to his face before he lies down on the ground, the truck still obscuring the full extent of the ruse.

•    While this is happening (remember, we’re dealing with seconds here), a biker hired by Sherlock intentionally bumps into Watson, knocking him to the ground where he hits his head and becomes disorientated — his narrative is now unreliable, as he’s missed at least a 5-10 seconds. That’s all Sherlock needs.

 

•    The truck conveniently drives away with Molly/Mycroft having performed their part of the ruse.

•    Disorientated, Watson makes his way over to Sherlock’s ‘dead body’, where a crowd of Sherlock-arranged passers by (The Homeless Network) have already gathered.

•    The combination of the crowd’s reaction and Watson’s disorientation means he doesn’t perform a proper check for Sherlock’s pulse and succumbs to the unkillable idea that Sherlock is dead.

•    Sherlock is carted away extremely quickly by ‘paramedics’ hired by Sherlock (Molly/Mycroft would be able to falsify his death report).

•    Watson, and crucially, the assassins, believe that Sherlock is dead.

 

But of course, he isn’t dead — just his legend (for now)..

There’s some wiggle-room in there for Sherlock to have been carried away in the truck after making the jump, with Molly/Mycroft rolling a dead corpse onto the ground where he would have landed. This corpse would presumably be the Sherlock lookalike that Moriarty hired to kidnap the kids, or someone altered to look like Sherlock, of which there’s already a precedent when Irene Adler faked her death by using a body double, so it’s not impossible that Sherlock could have done something similar, with the aid of Molly/Mycroft.

Whether there was any of that fear toxin used within this ruse is up for debate. I’m not sure it’s necessary, but it could have been used on Watson and/or the assassins to further fool/distract them.

I also think it’s important to note that even at the funeral, Watson has a nagging belief (hope) that Sherlock isn’t dead. Perhaps in the subconscious recesses of his mind the actual narrative of events is trying to break through?

Now, all of that could be way off the mark, and we accept that one or two aspects of the explanation might be a bit of a reach. We also recognize that there are one or two other curious moments that might come into play (Sherlock throwing his phone on the roof before jumping, Moriarty’s supposed suicide, etc), so there’s plenty of room for anyone to refute or build on this possible explanation. In the meantime, what a cracking finale it was, eh?

*Originally posted: http://seriable.com/sherlock-reichenbach-escape-explained/#ixzz1vHxfkAuV (read comments there to see more alternative arguments about "the trick”)

Tuesday, June 05, 2012

Bandung. Soetta. Gili Trawangan-Gili Meno-Gili Air. Senggigi. Mataram. Kuta. Legian. Tanah Lot. GWK. Antonio Blanco Museum. Padang-Padang Beach. Malioboro. Bandung (again).

Sunday, May 06, 2012

Lama ga liat gigs bareng si Faisal. Akhirnya saya beli tiket acaranya anak ESP Unpad yang berjudul Espose (28/4). Terakhir liat live music sama si Faisal tuh Rufio di Score Ciwalk dan Naif yang nggak sengaja kita tonton abis datengin acara pemutaran film Akira Kurosawa di ITB. Dua-duanya berkesan. Plus malam minggu lalu.

Jam setengah tiga sore berangkat dari Nangor. Lewat tol Cileunyi keluar Buah Batu bisi macet di Pasteur (biar murah juga sih). Ga taunya pas lewat Gede Bage hujan deras disertai angin kencang menerpa tol. Huhu serem, berusaha dengan hati-hati dan pasrah sama Tuhan.

Bandung lewat dari Buah Batu kering, nggak hujan sama sekali. Kita ke Toga Mas dulu, Faisal cari buku. Kilat. Beneran kilat, baru saya masuk toko buku, dia udah ngantri di kasir buat bayar --“ Menuju Sabuga, tukar tiket, masuk venue lewatin lorong bagus yang disponsori rokok terkenal di kalangan anak muda.

Kita masuk venue jam setengah lima sore dan Tesla Manaf sodaranya Sherina Munaf (bukan deng) bareng Maha Gotra Ganesha (maenin gamelan) lagi perform. Seneng, dateng di saat yang tepat. Waktu itu dalam Sabuga masih sepi.

“Dear, asiiikkk sekarang lagi Tesla Manaf!! (girang) .....walaupun gue nggak tahu dia siapa”

Kita duduk, slow, nikmatin Tesla Manaf dari kejauhan. Lumayan sih. Instrumental gitu. Lagunya panjang-panjang, suka heran kalo ngga ada liriknya pada hapal berapa bar dll.

 Foto dari kejauhan sambil duduk santay

Abis Tesla, yang dinanti-nanti perform, The Trees and The Wild. Beranjak dari tempat duduk, berdiri gabung sama penonton lain. Ternyata TTATW ga sedahsyat yang saya harapkan. Bisa dibilang, asik sendiri. Berasa nontonin mereka lagi jamming di studio ketimbang di panggung depan penonton. Senyam-senyum lirak-lirik antar personel, bisa dibilang mereka kayak nggak peduli gitu ada kita yang nonton ataupun nggak ada. Mana playlist lagu yang mereka mainin nggak gue suka, Cuma suka dua lagu. Yang dari album Rasuk sama lagu terakhir. Faisal nggak suka sama suara synthesizer-nya.

Untung abis TTATW, Gugun Blues Shelter tampil. Woohoo! Bagi saya Gugun tuh bonus aja sih, dateng ke sini penasaran sama TTATW yang (ternyata) buat saya kecewa. Tapi super terhibur sama Gugun Blues Shelter. Sayang, belum pernah dengerin album barunya. Saya cuma tahu lagu Turn It On dari album pas mereka masih bernama Gugun Bluesbug. So far, suka semua sih sama playlist yang dimainin. Kagum sama band ini. Beruntung akhirnya bisa liat mereka perform. Masak orang Inggris aja udah pernah nonton mereka pas tampil jadi pembuka Bon Jovi tapi saya belum. Tapi sekarang udah, yeah!

Drummernya seru juga diliatin. Maennya udah kayak lagi mau beranak. Muka menjerit kayak mau nangis di tiap lagu. Pemain bassnya orang bule. Biar begitu, aura si Gugun lah yang melegitimasi dia sebagai pusat gravitasi dari GBS. Saya lihat dua orang personel lainnya berusaha keras menyeimbangkan permainan gitarnya si Gugun. Kalo pernah liat orang lagi sembahyang saking khidmatnya sampe merem gemetaran keringatan sekaligus kayak lagi ‘lepas’ gitu, nah Si Gugun itulah citranya, tapi lagi maen gitar loh yah, bukan sembahyang. Kalo kata Faisal, kayak lagi orgasm. Well, apapun yang terjadi antara Gugun dan gitarnya, Cuma Gugun dan Tuhan yang tahu.

Abis Gugun, di rundown Tulus performer selanjutnya. Kita keluar venue, sholat dan beli minum. Masuk lagi Tulus lagi perform. Ngantuk. Bingung di mana spesialnya. Cewek-cewek satu venue udah pada paham bener sama si Tulus ini. Bukan selera saya sih. Sebenernya lagu si Tulus ini nggak yang mendayu-dayu bikin galau amat. Tapi ada potensi bikin galau *apeu* Ketahuilah para cewek, “Lagu-lagu cengeng dan film-film horor membuat serotonin di otak berkurang. Sehingga kita mudah pesimis dan memperkecil impian...” (Ippho Santosa). Stop being menye-menye. Sorry, nggak tau hubungannya juga tapi tetep aja pengen nulis begini.

cuma motret kalo bukan performer yang saya nikmati sungguh2

Abis Tulus, ada Ipang. Bergabung lagi sama crowd. Seneng lagu-lagu di OST Realita Cinta dan Rock n Roll banyak dibawain seperti Akhirnya Jatuh Cinta, Ada Yang Hilang, Sekali Lagi, Gak Ada Takutnya. Apalagi nontonnya bareng pacar, hihi.

“Sangat kunikmati mencintaimu. Sangat kunikmati, bersamamu....”
(Akhirnya Jatuh Cinta – Ipang)

Ipang kelar, pegel. Duduk lagi. Tebak-tebakan. The Groove atau Maliq n d’Essentials dulu. Ya pasti Maliq lah. Fanbase-nya lebih banyak. Saya sih udah sering liat Maliq, Faisal belum. Tapi kita sepakat pulang duluan aja biar bisa cari makan dan nggak pulang kemalaman. Setelah satu lagu dari The Groove yang kayak udah lama ga nge-jam bareng (tapi Rieka Roeslan suaranya tetep bagus), kita cabut.

Nyoba makan di Cafe Halaman setelah siang tadi ngirit dengan makan soto 6000 rupiah hehe. Di cafe Halaman malam Minggu buka 24 jam. Rame juga. Pesan lumpia seafood yang enyak tapi porsinya dikiiiit banget, yamin manis spesial yang ternyata pake babat (nggak suka babat >.< ), dan sekoteng yang enak di perut. Habis makan, pulang ke peraduan masing-masing. Bobok. Eh, nonton Predator dulu di RCTI yang kayaknya udah tayang lebih dari 10x. Terus bobok.

Hari yang menyenangkan untuk saya dan Faisal yang jarang merayakan dan tidak begitu peduli sama yang namanya Malam Minggu.

Tuesday, April 10, 2012

Gara-gara si Faisal, saya jadi ketularan dengerin lagi lagu-lagu Nirvana.


Pas lagi iseng nonton The Voice (tayang di AXN), saya lihat episod battle yang seru. Suka banget sama interpretasi mereka. Mengutip komentar Adam Levine, "delightfully creepy performance" :)