daily thoughts and activities

Sunday, July 08, 2018

There once was a little boy who had a bad temper. His father gave him a bag of nails and told him that every time he lost his temper, he must hammer a nail into the back of the fence.

The first day the boy had driven 37 nails into the fence. Over the next few weeks, as he learned to control his anger, the number of nails hammered daily gradually dwindled down. He discovered it was easier to hold his temper than to drive those nails into the fence.

Finally the day came when the boy didn’t lose his temper at all. He told his father about it and the father suggested that the boy now pull out one nail for each day that he was able to hold his temper. The days passed and the young boy was finally able to tell his father that all the nails were gone.

The father took his son by the hand and led him to the fence. He said, “You have done well, my son, but look at the holes in the fence. The fence will never be the same. When you say things in anger, they leave a scar just like this one. You can put a knife in a man and draw it out. It won’t matter how many times you say I’m sorry, the wound is still there.”

Read more: Nails in the Fence: A Story About Anger


Sunday, March 11, 2018

(Kejadian ini berlangsung sudah cukup lama. Siapa tahu di kemudian hari ada part 2-nya)

Suatu malam di hari kerja urusanku sudah beres, jam menunjukkan pukul 20.25. Aku pun bergegas ke tempat parkir sembari menyusuri pinggiran Jalan Kemanggisan Raya yang macet itu. Tak lama ada langkah kaki kecil yang dengan gesitnya melewatiku dari arah bersebrangan. Cepat seperti angin.

Aku menoleh ke belakang untuk melihat gerangan yang baru saja melangkah sebegitu cepatnya. Kulihat anak kecil bertelanjang kaki dengan karungnya membuka tutup tong sampah dan mengais-ngais dalam tong tersebut. Aku pun melanjutkan langkahku.

Kepikiran.

Aku sudah begitu dekat dengan kendaraan hingga akhirnya aku memutar arah menyusuri jalan yang sama. Anak itu tidak terlihat lagi. Apa iya secepat itu meninggalkan Jalan Kemanggisan Raya ini? Aku bertanya pada Bapak-Bapak yang sedang duduk di warung pinggir jalan.

“Pak, lihat anak kecil yang bawa karung barusan lewat sini tidak? Pergi ke arah mana ya dia?”

“Oh anak kecil pemulung yang suka bawa karung ya Dek? Tadi kayaknya saya liat deh. Tapi saya nggak perhatikan dia ke mana. Memang dia jam segini jalan di daerah sini.”

“Baik, Pak. Terima kasih.”

Kususuri jalan itu sekali lagi. Dan ketika ada gang aku menoleh ke gang tersebut. Gotcha! Di sanalah dia lagi memilah tumpukan sampah.

Usai memilah sampah, dia berjalan keluar gang menuju ke arahku.
“Halo Dek, sudah makan belum? Makan yuk sama kakak.”

Dia memperhatikanku beberapa detik. Lalu menjawab “Boleh”

Ternyata di Jalan Kemanggisan malam itu rumah makan sedang tutup. Yang tersisa hanya tempat makan yang terang nan kekinian namun yang dijual hanyalah indomie, roti bakar, dan sebangsanya.

“Yang buka hanya ini , Dek. Pilih saja kamu mau makan apa. Kakak pesan minum saja, sudah makan koq”

Ia memilih indomie dan susu Milo dingin.

Dimas. Begitu dia mengatakan namanya usai memesan makanan. Dimas bersekolah kelas 2 SD dan tinggal di perkampungan pemulung di daerah Jakarta Barat.

Makanan datang dan aku mengutuk mengapa orang yang memasak hal sepele seperti Indomie saja tidak bisa. Mienya sudah mekar bagai sudah tergenang di mangkok beberapa jam. Melihatnya saja aku sudah tidak nafsu. Dan benar, Dimas tidak menghabiskan makanannya. Tapi dia menghabiskan Milo dinginnya.

“Maaf, Kak tidak habis. Udah kenyang”
“Ya. Tidak apa-apa. Apa rumah Dimas jauh dari sini?”
“Ya, masih lumayan. Tapi nanti dijemput Bapak”
“Dijemput di mana?”
“Nanti ketemu di tengah jalan. Bapak Dimas kan mulung juga. Nanti pasti ketemu. Tiap malam kayak gitu koq.”
“Kalau ga ketemu gimana?”
“Pasti ketemu koq.”
“Trus kamu tiap hari pulang semalam ini, besoknya kan sekolah. Apa nggak capek di sekolah?”
“Nggak koq. Kan Bapak pake gerobak. Jadi nanti kalo udah ketemu Bapak, Dimas tidur di gerobak sampe rumah. Biasanya juga udah ga bangun lagi, Bapak yang gendong ke tempat tidur.”

Jleb.

Langsung terbayang jaman aku macet-pacitan di daerah Jakarta, terus ga sengaja lihat Ibu2/Bapak2 yang dorong gerobak beserta anak-anaknya yang sedang tertawa-tawa senang di atas gerobak yang sedang didorong itu. Di tengah ibukota. Di tengah lautan motor dan mobil.

Mereka masih kecil hingga tak terlalu memusingkan mengapa orang lain bawa motor, bawa mobil, sedang mereka naik gerobak. Namun kalau sudah besar, mereka akan sadar dan lebih besar kemungkinan menjadi minder sehingga menutup pemikiran untuk maju dan bercita-cita. Begitulah biasanya lingkaran kemiskinan mengulang.

Di satu sisi, aku juga malu. Pada waktu itu aku lagi merengek ingin ganti mobil sedangkan bagi Dimas, dia tidak komplen gerobaknya merupakan kendaraannya yang bisa membuatnya tertidur pulas sembari ayahnya mengantarkannya ke rumah. Betapa aku termasuk kaum yang tidak bersyukur.

“Lalu bagaimana Ibumu? Dimas punya kakak atau adik?”
“Ibu sama Bapak sudah pisah. Ibu pergi dari rumah bareng kakak-kakak Dimas. Dimas anak paling kecil. Cuma Dimas yang tinggal sama Bapak. Semuanya ikut dengan Ibu.”

Aku udah speechless bagian ini. Ingin rasanya menangis. Tapi nggak mungkin lah depan anak kecil ini. Teringatku data-data perceraian di Indonesia yang tidak semuanya terdata. Karena bercerai, bahkan menikah pun butuh uang. Apa kabar bagi mereka yang miskin?

“Dimas, Kakak ada beberapa buku anak-anak. Kakak akan pinjamkan ke Dimas. Besok malam Kakak tunggu di Circle K ya dari jam 8 atau kalau Dimas sampe jam setengah 9 pun ga masalah. Kita juga bisa makan lagi”

Dimas tidak menjawab dan dia pun tidak menatapku. Pandangannya lurus dan seperti sedang mengawang-awang. Mungkin dia tidak tertarik buku. Mungkin juga dia pikir aku bohong. Mungkin dia akan datang. Atau juga tidak.

Esok malam, usai pulang kerja aku menunggu di Circle K dengan beberapa buku dan snack juga susu. Dua jam lebih aku menunggu hingga hampir pukul 10 malam. Dimas tidak datang.

---

Di pekerjaan baruku, saya punya harapan bisa berkontribusi dalam membantu atau bahkan meminimalisir Dimas-Dimas lain. Memang masih terlalu awal untuk mengatakan ini. Tapi tulisan ini juga sebagai pengingat mengapa saya berada di posisi sekarang, apa yang membuat saya termotivasi untuk bekerja lebih dan positif sekaligus optimis sebagai solusi dari Dimas. Semoga.

Thursday, February 22, 2018

Saturday, February 03, 2018

Lagi iseng browsing Youtube, nemu video ini:


Dream wedding gue banget ini siiiiiiih!!!!!

Ehm, yes, I’ve already married.

Throwback to my wedding day compared to that awesome wedding vid.

Pertama, venue. Saya suka banget pantai. Namun karena menikah di Tangerang jadi mustahil banget nikah di pantai (Pantai Tanjung Kait, anyone?)

Teringat dulu ceritanya bener-bener mau ngurus pernikahan berdua saja sama Faisal. Tanggal sudah ditetapkan. Kita nyari venue tiap weekend. Tiap abis survey, ditanyain laporannya sama Mamah dan kita selalu belum nemu yang pas. Akhirnya Mamah gemes sendiri, hingga beliau ngikut survey weekend berikutnya. Dan kita langsung deal hahahaha.

Kedua, tamu undangan. Pengennya siiih.. keluarga dekat dan teman-teman aja. TAPI KELUARGA AKUH BATAK. Ya gimana dong.. pasrah lah itu tamu undangan udah pasti paling banyak dari orangtua, mertua, sisanya penganten. Pasrah.

Ketiga, baju. Pengen sih saya pake gaun yang laid-back gitu macam di video kawinan di atas. Tapi baju adat saya juga suka koq. Jadi ga terlalu ekstrim lah ini. I still wore my dream wedding dress.

Keempat, ya wedding singer-nya lah! Gilak! Kalo kawinan saya dinyanyiin sama Jens Lekman bisa pingsan kali, trus bangun lagi, trus joget-joget lupa hari itu mau kawin. So damn lucky nih penganten YouTube. So sweet gitu lagi spouse-nya yang contact Jens Lekman. Mungkinkah suatu hari Faisal ngasih surprise kek gitu ke gua HAHAHHAHAHHAHA *baper.

Ada yang lucu sih tentang band di kawinan saya. Jadi dulu saya dan Faisal suka nge-date di mall-mall Tangsel dan kami suka liat band yang selalu bawain lagu The Beatles lengkap dengan seragam ala-alanya. Band-nya bawain lagunya bagus pokoknya spesialis The Beatles banget deh (lupa namanya siapa). Kita udah sepakat pengen pake band tsb pas kawinan. Namun pas disodorin paket Wedding udah include sama band yah akhirnya kita iyain aja (mureh).

Nah, saya diminta bikin playlist tuh sama EO-nya. Buat list maksimal 20 lagu kalo ga salah yang kemungkinan sih ngga akan dimainin semua. Sekitar belasan lah, jadi buat priority gitu. Hal tsb bagian yang menyenangkan sekaligus membingungkan. Untung saya anaknya masih Top 40 gitu kan, jadi ga Peer banget nyuruh anak orang latian lagu baru semua sampe 20 lagu hahahha.

Pas udah buat list-nya, saya liat request lagu saya ini terlalu beragam. Kan biasanya kalo kawinan tuh pilihannya antara pake grand piano atau acoustic-an gitar. Dari playlist yang saya buat, lagu-lagunya itu fifty-fifty: setengah bagusan pake piano, setengah pake gitar. 

Mengingat di venue tuh disediakan grand piano segede gaban. Otomatis saya berpikir nggak mungkin disia-siakan lah itu aset kawinan. Akhirnya saya memutuskan untuk memangkas lagu-lagu gitaran dan fokus sama lagu-lagu melodius yang cantik kalo dimaenin pake piano. Dan menyisakan satu lagu pamungkas di akhir, itu adalah.. “Rude”-nya Magic hahahahhaha.

“Saturday morning jumped out of bed..and put on my best suit..” Asik beet lah

Udah kasih note segala ini poko’e lagu pamungkas paporit penganten yang harus dimaenin pas akhir acara.

Mungkin si pemain band-nya pada bingung kenapa pake lagu itu ya, apa nih penganten ga direstuin orangtua hahahha bodo ah. Saya emang suka aja lagu itu. 

Dan seperti yang diduga, karena lagunya tuh banyak melodi yang putus-putus gitu kayak tet tet tet tet yang cuma enak kalo dimaenin pake gitar. Begitu dimaenin pake piano.. jadinya garing 

*antiklimaks*

Overall, despite all the imperfections of my wedding day, i still feel grateful for that day. The day when i married to someone I love, best partner in life God has given.


"If I had to choose a moment in time

To take with me into eternity
I would choose this,
This moment with you in my arms"

(Into Eternity - Jens Lekman)