daily thoughts and activities

Sunday, March 11, 2018

(Kejadian ini berlangsung sudah cukup lama. Siapa tahu di kemudian hari ada part 2-nya)

Suatu malam di hari kerja urusanku sudah beres, jam menunjukkan pukul 20.25. Aku pun bergegas ke tempat parkir sembari menyusuri pinggiran Jalan Kemanggisan Raya yang macet itu. Tak lama ada langkah kaki kecil yang dengan gesitnya melewatiku dari arah bersebrangan. Cepat seperti angin.

Aku menoleh ke belakang untuk melihat gerangan yang baru saja melangkah sebegitu cepatnya. Kulihat anak kecil bertelanjang kaki dengan karungnya membuka tutup tong sampah dan mengais-ngais dalam tong tersebut. Aku pun melanjutkan langkahku.

Kepikiran.

Aku sudah begitu dekat dengan kendaraan hingga akhirnya aku memutar arah menyusuri jalan yang sama. Anak itu tidak terlihat lagi. Apa iya secepat itu meninggalkan Jalan Kemanggisan Raya ini? Aku bertanya pada Bapak-Bapak yang sedang duduk di warung pinggir jalan.

“Pak, lihat anak kecil yang bawa karung barusan lewat sini tidak? Pergi ke arah mana ya dia?”

“Oh anak kecil pemulung yang suka bawa karung ya Dek? Tadi kayaknya saya liat deh. Tapi saya nggak perhatikan dia ke mana. Memang dia jam segini jalan di daerah sini.”

“Baik, Pak. Terima kasih.”

Kususuri jalan itu sekali lagi. Dan ketika ada gang aku menoleh ke gang tersebut. Gotcha! Di sanalah dia lagi memilah tumpukan sampah.

Usai memilah sampah, dia berjalan keluar gang menuju ke arahku.
“Halo Dek, sudah makan belum? Makan yuk sama kakak.”

Dia memperhatikanku beberapa detik. Lalu menjawab “Boleh”

Ternyata di Jalan Kemanggisan malam itu rumah makan sedang tutup. Yang tersisa hanya tempat makan yang terang nan kekinian namun yang dijual hanyalah indomie, roti bakar, dan sebangsanya.

“Yang buka hanya ini , Dek. Pilih saja kamu mau makan apa. Kakak pesan minum saja, sudah makan koq”

Ia memilih indomie dan susu Milo dingin.

Dimas. Begitu dia mengatakan namanya usai memesan makanan. Dimas bersekolah kelas 2 SD dan tinggal di perkampungan pemulung di daerah Jakarta Barat.

Makanan datang dan aku mengutuk mengapa orang yang memasak hal sepele seperti Indomie saja tidak bisa. Mienya sudah mekar bagai sudah tergenang di mangkok beberapa jam. Melihatnya saja aku sudah tidak nafsu. Dan benar, Dimas tidak menghabiskan makanannya. Tapi dia menghabiskan Milo dinginnya.

“Maaf, Kak tidak habis. Udah kenyang”
“Ya. Tidak apa-apa. Apa rumah Dimas jauh dari sini?”
“Ya, masih lumayan. Tapi nanti dijemput Bapak”
“Dijemput di mana?”
“Nanti ketemu di tengah jalan. Bapak Dimas kan mulung juga. Nanti pasti ketemu. Tiap malam kayak gitu koq.”
“Kalau ga ketemu gimana?”
“Pasti ketemu koq.”
“Trus kamu tiap hari pulang semalam ini, besoknya kan sekolah. Apa nggak capek di sekolah?”
“Nggak koq. Kan Bapak pake gerobak. Jadi nanti kalo udah ketemu Bapak, Dimas tidur di gerobak sampe rumah. Biasanya juga udah ga bangun lagi, Bapak yang gendong ke tempat tidur.”

Jleb.

Langsung terbayang jaman aku macet-pacitan di daerah Jakarta, terus ga sengaja lihat Ibu2/Bapak2 yang dorong gerobak beserta anak-anaknya yang sedang tertawa-tawa senang di atas gerobak yang sedang didorong itu. Di tengah ibukota. Di tengah lautan motor dan mobil.

Mereka masih kecil hingga tak terlalu memusingkan mengapa orang lain bawa motor, bawa mobil, sedang mereka naik gerobak. Namun kalau sudah besar, mereka akan sadar dan lebih besar kemungkinan menjadi minder sehingga menutup pemikiran untuk maju dan bercita-cita. Begitulah biasanya lingkaran kemiskinan mengulang.

Di satu sisi, aku juga malu. Pada waktu itu aku lagi merengek ingin ganti mobil sedangkan bagi Dimas, dia tidak komplen gerobaknya merupakan kendaraannya yang bisa membuatnya tertidur pulas sembari ayahnya mengantarkannya ke rumah. Betapa aku termasuk kaum yang tidak bersyukur.

“Lalu bagaimana Ibumu? Dimas punya kakak atau adik?”
“Ibu sama Bapak sudah pisah. Ibu pergi dari rumah bareng kakak-kakak Dimas. Dimas anak paling kecil. Cuma Dimas yang tinggal sama Bapak. Semuanya ikut dengan Ibu.”

Aku udah speechless bagian ini. Ingin rasanya menangis. Tapi nggak mungkin lah depan anak kecil ini. Teringatku data-data perceraian di Indonesia yang tidak semuanya terdata. Karena bercerai, bahkan menikah pun butuh uang. Apa kabar bagi mereka yang miskin?

“Dimas, Kakak ada beberapa buku anak-anak. Kakak akan pinjamkan ke Dimas. Besok malam Kakak tunggu di Circle K ya dari jam 8 atau kalau Dimas sampe jam setengah 9 pun ga masalah. Kita juga bisa makan lagi”

Dimas tidak menjawab dan dia pun tidak menatapku. Pandangannya lurus dan seperti sedang mengawang-awang. Mungkin dia tidak tertarik buku. Mungkin juga dia pikir aku bohong. Mungkin dia akan datang. Atau juga tidak.

Esok malam, usai pulang kerja aku menunggu di Circle K dengan beberapa buku dan snack juga susu. Dua jam lebih aku menunggu hingga hampir pukul 10 malam. Dimas tidak datang.

---

Di pekerjaan baruku, saya punya harapan bisa berkontribusi dalam membantu atau bahkan meminimalisir Dimas-Dimas lain. Memang masih terlalu awal untuk mengatakan ini. Tapi tulisan ini juga sebagai pengingat mengapa saya berada di posisi sekarang, apa yang membuat saya termotivasi untuk bekerja lebih dan positif sekaligus optimis sebagai solusi dari Dimas. Semoga.